RUMAH Melayu Limas Potong yang terletak di Kelurahan Batu Besar, Batam dalam kondisi yang memprihatinkan. Meskipun telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Keputusan Wali Kota Batam Nomor 483 Tahun 2022, bangunan ini tampak tidak terawat.
Penampilan rumah kayu bercat coklat itu terlihat kusam, dengan sejumlah bagian yang mulai lapuk. Atap seng merah yang masih terpasang menunjukkan tanda-tanda kerusakan, dengan pinggirannya melengkung dan terkelupas. Di bagian teras, pagar kayu terlihat miring dan ditumbuhi oleh tanaman liar yang merambat ke dinding rumah, sementara pondasi kayu yang menopang rumah panggung tersebut juga tampak rapuh.
Tim GoWest.ID bersama beberapa jurnalis lain yang tergabung dalam pengurus Yayasan Literasi GoWest Indonesia (YLGI), sempat mengunjungi bangunan yang disebut bersejarah tersebut beberapa waktu kemarin. Namun, halaman di sekitar rumah sudah dipenuhi semak belukar dan rumput liar yang tumbuh tinggi. Banyak bagian bangunan yang juga melapuk. Kondisinya terbengkalai.
Sementara di sebelahnya, berdiri papan pemberitahuan dari lembaga anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang status lahan di sebelah bangunan itu.
Menurut Abdul Rashid, salah satu ahli waris rumah ini, kondisi terbengkalai bangunan tersebut telah berlangsung bertahun-tahun. Pada tahun 2011, rumah keluarganya itu dipugar oleh pemerintah kota dengan alasan untuk dijadikan cagar budaya. Proses perawatan sempat dilakukan beberapa tahun setelahnya. Namun sudah dihentikan sejak lebih lima tahun ini.
Sementara papan pemberitahuan KPK yang terpancang di sebelah lahan bangunan tua itu, sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan keberadaan rumah keluarga yang dalam kurun hampir 15 tahun ini dilabeli sebagai rumah Limas potong.

“Itu lahan keluarga juga dulunya, tapi sudah dibeli oleh orang bea cukai yang kasusnya ramai beberapa waktu lalu”, jelas Abdul Rashid.
Ia bercerita, rumah keluarga yang dibangun oleh ayahnya, haji Sain dan berdiri sejak 1959, sempat ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Walikota Batam pada 2011 saat itu, Ahmad Dahlan. Kemudian diperbaharui melalui keputusan walikota Batam tahun 2022.
“Jangan tanya sejarahnya lagi rumah itu. Tidak ada sejarahnya. Itu rumah tinggal keluarga kami saja dulu”, katanya lirih.
Umumnya warga pesisir pada masa lalu yang memiliki kebiasaan hidup berpindah, rumah panggung dari kayu yang dibangun ayahnya itu, baru berdiri pada 1959. Pengerjaan dilakukan secara sederhana, selama lebih kurang setahun. Ayah Abdul Rashid, haji Sain, meminta bantuan temannya Abdul Karim untuk membangunkan rumah baru bagi keluarganya saat itu.
“Bahan baku seadanya saja, dari kayu-kayu. Atapnya dari seng di bagian depan. Bagian belakang rumah dari potongan daun rumbia. Dibuat begitu (seperti Limas terpotong, pen) karena kondisi. Kalau yang benar, atap rumah Melayu itu berbentuk Limas seperti rumah itu”, jelas Rashid sambil menunjuk sebuah bangunan relatif baru di samping kediamannya saat ini.
Atapnya berbentuk Limas sempurna, namun bangunannya bukan rumah panggung.
Sementara itu, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kota Batam, Ardiwinata menyebut bahwa Rumah Limas Potong merupakan cagar budaya. Namun, bangunan tersebut masih dalam kepemilikan keluarga.
“Kepemilikan rumah ini masih atas nama keluarga, sehingga kami sulit melakukan perawatan,” jelas Ardiwinata kepada GoWest.ID beberapa waktu kemarin.
Ia menambahkan, Pemko Batam sedang berupaya untuk mengalihkan kepemilikan rumah tersebut agar dapat dirawat dengan baik.
“Kami berusaha agar rumah ini bisa dialih-tangankan atau dibeli oleh pemerintah. Ada langkah-langkah yang sedang kami lakukan ke arah itu,” tuturnya.
Bekas Bangunan Rumah Tinggal Milik Pribadi
STATUS rumah ini sekarang masih warisan keluarga dari almarhum haji Saing, orang tua Abdul Rashid. Pemko Batam sempat mengungkapkan niatnya untuk membeli rumah dan tanah sejak beberapa tahun lalu. Namun, hal itu selalu terkendala soal kesepakatan harga dan juga dokumen kelengkapannya.
“Kami bilang harganya Rp300 ribu per meter untuk tanah plus rumahnya. Tapi setelah itu sepertinya tak ada respons lagi,” ujarnya.
Menurutnya, dengan kondisi saat ini dimana rumah tersebut sudah terlanjur berlabel bangunan bersejarah, ia menyetujui saja jika suatu saat dialihkan secara resmi menjadi milik pemerintah. Namun, ia sendiri tak bisa memberikan keputusan lagi terkait penggunaan rumah tersebut tanpa perundingan bersama terlebih dahulu dengan pihak keluarga.
Bangunan Rumah yang ada sekarang pembangunan ulang yang ketiga kali nya sejak awal didirikan. Bentuk fisik bangunan rumah panggung ini saat awal dibangun, sudah tidak ada lagi.
Rumah Limas Potong yang berdiri hingga saat ini dibangun pada November 1959 oleh Haji Abdul Karim atas permintaan Haji Sain. Abdul Karim sudah meninggal dunia.
Rumah Adat?
RUMAH yang dibangun oleh keluarga Haji Sain, di kemudian hari dilabeli sebagai rumah Limas Potong, disebut sebagai rumah adat tempo dulu. Rumah ini tepatnya berada di Kampung Teluk, Batubesar, Kecamatan Nongsa.
Berdiri sejak 1 November 1959 sesuai dengan angka yang tertulis di atas pintu masuk. Berdasarkan kesepakatan keluarga, menurut Abdul Rashid, pihaknya memberikan izin kepada Pemerintah Kota Batam melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Batam pada tahun 2011 untuk melakukan renovasi dan rubah suai tapi dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya.
“Pemanfaatan bagian-bagian rumah, salah satunya dimanfaatkan untuk memajang diorama adat perkawinan melayu,” jelas Kepala Disparbud Kota Batam saat itu, Yusfa Hendri pada 2011.
(dha)