“Dalam rentang tahun 1838 – 1853 menurut catatan pejabat keuangan Hindia Belanda, E.De Waal, sistem pemerintahan pribumi yang berada di bawah kesultanan Riouw Lingga, belum berjalan sebagaimana disepakati dalam perjanjian tanggal 29 Oktober 1830 di pulau Penyengat.”
“Sementara untuk wilayah Kepulauan Batam, seperti tertera dalam catatan pejabat dalam negeri Kolonial Belanda, Baron Van Hoevel, baru mulai ada Kepala di sana atas nama Raja Yakub sebagai perwakilan kerajaan di kampung Nongsa. Ia menangani sebagian wilayah pulau utama Batam, sekitar tahun 1856 …“
“Pengembangan desentralisasi pemerintahan pribumi yang lambat di wilayah kesultanan Riouw Lingga hingga 1882 menurut J.G. Schot, pada akhirnya justeru berdampak positif pada ketertiban pemerintahan secara umum. Kondisi itu memudahkan pemerintah Belanda untuk melakukan pengawasan yang tepat dan memberikan pengaruh yang baik.”
Oleh: Bintoro Suryo
PEMERINTAHAN oleh Kesultanan Riouw Lingga paska perjanjian London 1824, diatur sesuai dokumen kebijakan yang disepakati pada tanggal 29 Oktober 1830 di pulau Penyengat. Ketetapannya terintegrasi dalam sistem pengawasan dan pengelolaan pemerintahan oleh Residen Riouw Lingga di Tandjoeng Pinang. Sebagai wilayah kesultanan protektorat di bawah kolonial Belanda, Kesultanan Riouw Lingga menjalankan kewenangan baru sebagai kesultanan protektorat di bawah pemerintahan residensi paska pemisahan wilayah di perjanjian London tahun 1824.
Kesultanan dan Residen Riouw Lingga dalam Perjanjian 29 Oktober 1830
SECARA umum, paska perjanjian 29 Oktober 1830, negeri Riouw Lingga pada masa itu dibagi menjadi dua bagian pengelolaan:
1.) pemerintahan kolonial yang menangani hampir seluruh aspek tata kelola pemerintah, mengontrol pemerintahan kesultanan, termasuk pertahanan dan keamanan.
2.) pemerintahan pribumi kesultanan Riouw Lingga yang di bawah pemerintah Kolonial: menangani aspek ekonomi dan kemasyarakatan, tata kelola konsesi wilayah serta penanganan ancaman keamanan oleh pribumi.
Aturan pada 29 Oktober 1830, ditandatangani Yang Dipertuan Muda (YDM) Radja Ja’far mewakili kesultanan baru Riouw Lingga dan Residen Belanda di Riouw Lingga, P.J. Ellout, menjadi awal sistem tata kelola pemerintahan di negeri baru bernama kesultanan Riouw Lingga.
Di antara isinya :
- Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar menerima Perjanjian Inggris-Belanda 1824 yang membagi wilayah kesultanan Johor Pahang Riouw Lingga menjadi dua kesultanan: kesultanan Johor Pahang Singapura dan Kesultanan Riouw Lingga.
- Johor, Pahang dan Singapura tidak lagi berada di bawah naungan Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah yang kini menjadi Sultan Riouw Lingga.
- Perubahan status hubungan antara Belanda dan Kesultanan Riouw Lingga, dari status awal “bersahabat” sesuai perjanjian tahun 1818, menjadi status baru “di bawah naungan Belanda”.
- Kedudukan Yang Dipertuan Muda diperkukuhkan lagi dengan status sebagai pentadbir utama Riouw Lingga melalui perjanjian ini.
- Hanya waris Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar sahaja yang dapat menjabat jawatan Yang Dipertuan Muda Riau.
Sesuai hasil perjanjian tersebut, mahkamah Tinggi Pemerintah Kolonial Belanda masa itu, kemudian menetapkan hukum tata aturan pemerintahan yang baru di negeri Riouw Lingga. Keputusan dan kebijakan yang diambil pada masa sebelumnya, dianggap sudah tidak berlaku lagi, kecuali pada pasal-pasal yang ditentukan.
SAAT awal ditetapkan, aturan berlaku di seluruh wilayah Karesidenan Riouw, tapi tidak termasuk wilayah utama Residen Riouw di Tanjungpinang serta Kerajaan Inderagiri dan bentang wilayah Reteh, Kateman, Mandah dan wilayah Sumatera Timur lainnya.
Berdasarkan buku panduan ‘Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie‘ (Wilayah dan Etnologi Negeri Hindia Belanda) bagian pertama edisi cetak ke-5, tahun publikasi 1895, aturan berlaku mulai 29 Oktober 1830 di wilayah kesultanan Riouw Lingga yang meliputi : Kepulauan Bintan, Kepulauan Lingga, Kepulauan Batam, Kepulauan Karimon, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Anambas, Kepulauan Natoena dan Kepulauan Serasan.
Pada bab kedua buku panduan tersebut: De Residente Riouw En Onde biioorigheden (Residen Riouw dan Wilayah Depensinya) yang disusun oleh J.J. Holander, tertulis;
“… Toen echter bij het Londensche Tractaat van 1824 bepaald werd dat»het Nederlandseh Gouvernement nimmer op eenig gedeelte van het schiereiland Malaka een kantoor mag oprichten of tractaten sluiten met eenige »der inlandsche Vorsten of Staten op dat schiereiland gevestigd”, ontstond er ten opzichte van den Sultan eene groote moeilijkheid, welke men uit den weg ruimde door eenvoudig te verklaren, dat Djohor en Pahang, op de vaste kust gelegen, niet meer tot zijn rijk behoorden. In dezen geest werd den 29 October 1830 een nieuw verdrag met den Sultan gesloten en hem een geldelijke schadeloos-
stelling toegezegd.
Terjemahannya :
“… namun, Perjanjian London 1824 menentukan bahwa Pemerintah Belanda tidak boleh lagi mendirikan kantor atau mengadakan perjanjian dengan bangsawan di Semenanjung Malaka. Hal ini menimbulkan kesulitan besar terkait kewenangan Sultan (Riouw Lingga, pen), yang telah dinyatakan bahwa wilayah Johor dan Pahang, terletak di daratan (Semenanjung Malaya, pen) tidak lagi bagian dari kerajaannya. Dalam semangat ini, perjanjian baru dengan Sultan (Riouw Lingga, pen.) ditandatangani pada 29 Oktober 1830 dan memberinya kompensasi keuangan …”
Naskah Perjanjian 29 Oktober 1930 Antara Pemerintah Kolonial – Kesultanan Riouw Lingga
NASKAH resmi perjanjian Belanda – Kesultanan Riouw Lingga paska perjanjian London antara Belanda Inggris pada 1824, menjadi titik mula sistem pengelolaan pemerintahan di negeri pecahan Kesultanan Johor Pahang Riouw Lingga, seperti termaktub dalam dokumen ‘Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschapen‘.
Paska kesepakatan ini, tata aturan pengelolaan sistem kepemerintahan di negeri Riouw Lingga dan Wilayah Depensinya disusun oleh kedua belah pihak.
Isi Perjanjian :
“Perjanjian Persahabatan dan Persekutuan Abadi antara Pemerintah Hindia Belanda dan Padoeka Sri Sulthan Abd’oelRachman Sjah, Penerus Padoeka Sri Sulthan Mahmoed Sjah, Raja Lingga, Riouw, dan Daerah-Daerah di Bawahnya.
Pemerintah dan Sultan, dengan mempertimbangkan bahwa, sebagai akibat dari pembagian Kerajaan Johor, perlu untuk mengubah perjanjian yang ada, menunjuk wakil masing-masing:
- Letnan Kolonel Residen C.P.J. Elout, dari pihak Pemerintah,
- Wakil Raja Riouw, Radja Djafar, dari pihak Sultan.
Pasal 1.
Semua kontrak dan perjanjian sebelumnya dinyatakan tidak berlaku, namun perjanjian tanggal 10 November 1784 dan November 1818 diadopsi sebagai dasar hubungan timbal balik.
Pasal 2.
Perdamaian dan persahabatan abadi antara kedua belah pihak.
Pasal 3.
Sultan menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa ia hanya memiliki kekuasaan atas kerajaan sebagai bawahannya, dan melalui kebaikan Pemerintah, dan berjanji setia kepada Raja dan Gubernur Jenderal. Teman-teman Pemerintah adalah teman-temannya, dan musuh-musuh Pemerintah adalah musuh-musuhnya. Jika diminta, ia akan membantu Pemerintah dengan pasukan dan kapal.
Pasal 4.
Jika Sultan meninggal, ahli warisnya yang sah akan menggantikannya. Jika tidak ada ahli waris, tidak ada orang yang dapat dipilih tanpa persetujuan Pemerintah. Penguasa baru akan setiap kali, saat menerima kekuasaan, mengucapkan sumpah setia dan menerima kontrak ini.
Pasal 5.
Sultan tidak akan menyerahkan bagian mana pun dari kerajaannya kepada kekuatan lain atau membuat kontrak dengan mereka tanpa persetujuan Pemerintah.
Pasal 6.
Pemerintah tinggi akan melindungi kerajaan Lingga, Riouw, dan daerah-daerah di bawahnya.
Pasal 7.
Pemerintahan atas kerajaan akan dijalankan, di bawah Sultan, oleh seorang Wakil Raja atau Radja Muda dari keluarga Boegis. Jika Wakil Raja meninggal, Sultan akan menunjuk orang lain dengan persetujuan Pemerintah. Sebisa mungkin, orang tersebut akan dipilih dari keluarga Radja Djafar.
Pasal 8.
Seorang Residen Belanda akan tinggal di Tanjung Pinang, dan sebisa mungkin akan dipilih seorang pejabat yang familiar dengan adat istiadat dan kebiasaan setempat.
Pasal 9.
Jika Sultan memiliki keberatan terhadap Residen, ia dapat langsung menghubungi Pemerintah. Dalam kasus lain, Sultan dan Wakil Raja akan memandang Residen sebagai wakil Pemerintah, dan akan berkomunikasi dengan Pemerintah melalui Residen.
Pasal 10.
Pelaksanaan hukum dalam semua kasus sipil yang melibatkan semua penduduk Riouw dan Lingga akan diserahkan kepada Sultan dan Wakil Raja, dengan ketentuan bahwa semua hukuman yang menyakitkan dan merusak akan dihapuskan, dan dalam semua kasus penting, Sultan akan meminta pendapat dan saran Residen.
Pasal 11.
Namun, Eropa, Amerika, dan bangsa Barat lainnya, serta warga negara Pemerintah yang berada di wilayah Sultan, terutama penduduk Tanjung Pinang, akan tetap tunduk pada yurisdiksi Residen. Tidak ada orang yang dapat menetap di tempat ini tanpa sepengetahuan Residen.
Pasal 12.
Selain itu, semua penduduk Bintan akan tetap tunduk pada yurisdiksi Residen dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan pajak, sewa, dan lain-lain.
Pasal 13.
Semua kasus perdagangan yang melibatkan Eropa atau orang-orang serupa akan diselesaikan dengan kesepakatan bersama antara Residen dan Wakil Raja.
Pasal 14.
Jika kapal Eropa atau Cina karam, Residen akan segera diberitahu; Sultan atau Wakil Raja tidak akan memiliki hak atas kapal-kapal tersebut.
Pasal 15.
Di tempat-tempat di mana pejabat Belanda ditempatkan, Pemerintah dapat menetapkan hak-hak dan pajak-pajak sesuai dengan keinginannya. Di tempat-tempat lain, hak tersebut tetap ada pada Sultan, yang tidak akan meningkatkan atau memperkenalkan hak-hak yang ada tanpa kesepakatan dengan Wakil Raja dan Residen.
Pasal 16.
Pemerintah memiliki hak untuk membeli kayu dan bahan bangunan lainnya dari hutan-hutan di wilayah Sultan.
Pasal 17.
Pemerintah menjamin bahwa Wakil Raja akan menerima kompensasi untuk kerugian yang dialaminya karena penyerahan hak-hak pajak. Jika pada masa depan, pendapatan Wakil Raja berkurang karena kehadiran Pemerintah, maka ia akan menerima kompensasi yang adil. Tidak akan ada pasukan atau pejabat yang ditempatkan di Lingga atau Penjingat tanpa persetujuan Sultan atau Wakil Raja.
Pasal 18.
Sultan akan berusaha dengan segala kekuatan untuk mencegah perompakan, tidak memberikan tempat persembunyian bagi perompak, dan membantu Pemerintah dengan pasukan dan kapal jika diperlukan.
Pasal 19.
Kapal-kapal yang berlayar di bawah bendera Sultan dan memiliki surat-surat laut yang dikeluarkan oleh Sultan dan disahkan oleh Residen, akan memiliki hak-hak yang sama dengan kapal-kapal Belanda di Hindia Belanda.
Pasal 20.
Kapal-kapal tersebut harus memiliki izin tahunan yang dikeluarkan oleh Residen.
Pasal 21.
Mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian ini dan yang perlu diatur, kedua belah pihak akan berusaha untuk mencapai kesepakatan yang damai.
Dibuat di Penjingat pada tanggal 29 Oktober 1830.
IKHWAL kesepakatan pada 29 Oktober 1830, juga dicatat dalam dokumen Belanda yang ditulis R. Van Eck: ‘Beknopt Leerboek Der Geschiedenis, Staatsinrichting en Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie (Buku Ajar Ringkas Sejarah, Konstitusi dan Negara serta Etnologi Hindia Belanda)’:
“… gewichtige gebeurtenis had plaats in 1824 toen, ten gevolge van het Engelsen-Nederlandsen Tractaat, Djohor van Riouw werd afgescheiden en de bezittingen van Sultan Abdurrahman binnen de grenzen van de tegenwoordige Residentie Riouw werden teruggebracht. Hij en zijne opvolgers, die sedert den titel voerden van Jang Dipertoewan besar of Sultan van Lingga, hebben zich bovendien bij beëedigd contract verbonden de Nederlandsche opperheerschappij …“
Terjemahannya:
“… Peristiwa penting terjadi pada tahun 1824, sebagai akibatnya Perjanjian Inggris-Belanda, menjadikan Djohor van Riouw dipisahkan, termasuk harta benda Sultan Abdurrahman yang berada di dalam batas-batas Residentie Riouw saat ini, menjadi berkurang. Dia dan penerusnya, yang sejak itu menggunakan gelar Jang Dipertoewan Besar atau Sultan Lingga, juga ikut bergabung dalam perjanjian sumpah yang mengikat supremasi Belanda …“
Pemerintahan oleh Kesultanan Riouw Lingga
PADA Beleid dokumen ‘Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie’ (Wilayah dan Etnologi Negeri Hindia Belanda)’, dijelaskan tentang kebijakan hak dan kewenangan pemerintahan kesultanan Riouw Lingga Paska kesepakatan tanggal 29 Oktober 1830.

Pemerintahan pribumi tertinggi di kesultanan Riouw Lingga bertumpu pada Yang Dipertuan Besar Sultan Riouw Lingga. Sultan disebutkan mengelola wilayah di Kesultanan Riouw Lingga yang dipinjamkan dari pemerintah kolonial Belanda sesuai kewenangan yang diberikan. Pemerintah kolonial memiliki yurisdiksi mencopot dan mengganti posisi Sultan. Namun, mereka mengaku akan berusaha semaksimal mungkin untuk memilih pengganti/penerus Sultan berdasar garis ahli waris. Atau jika tidak memungkinkan, posisi pengganti Sultan akan ditentukan pemerintah Kolonial dari garis keturunan bangsawan kesultanan sejak masa kesultanan Malaka di era Protektorat Portugis..
Hak dan Kewenangan Sultan
Untuk tugas dan kewenangan yang diberikan kepada Sultan Riouw Lingga, pemerintah kolonial memberikan gaji sebesar 9400 Gulden per tahun untuk penanganan keamanan pribumi, terutama kelompok bajak laut (lanun) yang kerap menyulitkan para mitra dagang pemerintah kolonial di perairan wilayah kesultanan.
Pendapatan lain Sultan Riouw Lingga adalah uang sebesar 35.000 Gulden per tahun sebagai kompensasi pernyataan sewa wilayah Kesultanan Riouw Lingga yang diserahkan untuk digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Sementara itu, dalam pembaharuan dokumen Beleid yang dibuat oleh seorang Lektor dari Akademi Militer Kerajaan Belanda, R. Van Eck di edisi cetakan kelima tahun 1895, tunjangan penanganan keamanan pribumi untuk penanganan bajak laut/lanun bagi Sultan Riouw Lingga telah dicabut sejak tahun 1869. Sultan saat itu, dianggap gagal dalam penanganan bajak laut di perairan wilayah kesultanan.
“… Hij genoot vroeger jaarlijks van het Gouvernement 9400 tot beteugeling van den zeeroof, welke toelage echter in 1869 is ingetrokken terwijl hem eene jaarlijksche som van 35000 is gelaten als schadeloos stelling voor aan het Gouvernement afgestane pachten …”
Terjemahannya :
“… Ia (Sultan, pen) biasanya menerima 9.400 setiap tahunnya dari Pemerintah untuk memberantas pembajakan, namun tunjangan ini ditarik pada tahun 1869, sementara ia hanya mendapat uang tahunan sebesar 35.000 sebagai kompensasi atas sewa yang diserahkan kepada Pemerintah….“
Pihak kesultanan melalui Sultan Riouw Lingga, sesuai dokumen, juga bertugas mengelola dan menangani Ikhwal perekonomian masyarakat pribumi serta kaum Tionghoa. Untuk pajak toko orang Tionghoa, pihak kesultanan menerima sebesar 3 Gulden per tahun dari tiap toko (kedai, pen).
“… penghasilannya terdiri dari sewa toko atau pasar orang Tionghoa, berupa pajak sebesar ƒ3 setahun untuk setiap toko (kedai), hak setiap pikoel gambir dan lada yang diekspor dan selanjutnya dari pajak-pajak yang dipungut atas rakyatnya, sesuai dengan kontrak dengan Pemerintah; dan akhirnya dari hasil wilayahnya, yang dia pinjamkan kepadanya saudara sedarah atau pihak lain…” (R. Van Eck – Beknopt Leerboek Der Geschiedenis, Staatsinrichting en Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie)
Dalam aturan juga disebutkan bahwa pihak kesultanan dilarang memungut pajak dari rakyatnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada rakyat. Sultan juga dilarang menyewakan atau memberi konsesi lahan ke pihak luar kesultanan (negara lain, pen) tanpa seizin dari pemerintah kolonial Belanda.
Rincian kewenangan dan hak sultan Riouw Lingga :
Kewenangan dan Hak
- Mengelola keamanan pribumi, terutama menangani kelompok bajak laut (lanun) di perairan kesultanan.
- Mengelola dan menangani ekonomi masyarakat pribumi.
- Mengelola dan Mengumpulkan pajak dari toko-toko Tionghoa (3 Gulden/toko/tahun).
- Mengumpulkan dan mengumpulkan pajak dari ekspor gambir dan lada oleh penduduk pribumi dan Tionghoa.
- Mengumpulkan pajak lainnya dari penduduk (dengan pemberitahuan kepada rakyatnya terlebih dahulu).
Kompensasi Tahunan
- Gaji 9.400 Gulden/tahun untuk penanganan keamanan (dicabut tahun 1869).
- Kompensasi 35.000 Gulden/tahun untuk penyewaan wilayah kesultanan kepada pemerintah kolonial.
Larangan
- Tidak boleh memungut pajak tanpa pemberitahuan kepada pemerintah kolonial.
- Tidak boleh menyewakan atau memberi konsesi lahan kepada pihak luar tanpa izin pemerintah kolonial.
Hak dan Kewenangan Yang Dipertuan Muda/Raja Muda
DALAM menjalankan kewenangan dan menerima haknya, Sultan Riouw Lingga dibantu oleh Yang Dipertuan Muda (Raja Muda) yang berasal dari keluarga bangsawan Bugis, mengikuti sistem aturan yang telah berjalan di masa sebelumnya (masa kesultanan Johor Pahang Riouw, pen.). Pengangkatan dan pemberhentian jabatan Yang Dipertuan Muda, dilakukan oleh Sultan Riouw Lingga.

Petikan definisi pengaturan dan kewenangan untuk Yang Dipertuan Muda Riouw Lingga seperti tercantum dalam Dokumen ‘Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie’ (Wilayah dan Etnologi Negeri Hindia Belanda)’:
“… De Onderkoning is gevestigd op het eilandje Penjingat bij Tandjoeng Pinang, en heeft, behalve zijne betrekking als algemeen Rijksbestuurder voor den Sultan, ook het opperbeheer over de eilanden gelegen tnsschen de vaste kust van Soematra, Straat Singapoera, Straat Dempoe en de Chineesche Zee, op welke hij een oud eigendomsrecht schijnt te hebben …”
Terjemahannya:
“Raja Muda adalah terletak di pulau Penjingat dekat Tandjoeng Pinang, dan memiliki, kecuali posisinya sebagai administrator pemerintahan umum kesultanan, juga pengelola tertinggi pulau-pulau yang terletak di antara pulau-pulau di pantai timur Sumatera, Selat Singapura, Selat Dempoe dan laut Cina Selatan, dan sepertinya mereka juga mempunyai hak properti kuno masa lalu di sana.”
Untuk Kewenangan yang diberikan kepada Yang Dipertuan Muda Riouw Lingga, pemerintah kolonial Belanda memberikan kompensasi berupa uang sebesar 97.000 Gulden setiap tahunnya. Yang Dipertuan Muda juga mendapatkan pendapatan sebesar 9000 Gulden per tahun untuk tugas membantu Sultan dalam upaya menekan tindakan pembajakan oleh para lanun. Namun, seperti halnya Sultan Riouw Lingga, kontribusi pendapatan untuk menangani aksi bajak laut, dicabut pemerintah kolonial sejak tahun 1869. Kesultanan Riouw Lingga dinilai tidak mampu menangani gangguan keamanan laut yang disebabkan aksi para bajak laut (lanun).
Kewenangan dan hak Yang Dipertuan Muda Riouw Lingga lainnya adalah kewenangan pengelolaan hasil hutan di wilayah kesultanan Riouw Lingga. Hak yang diperoleh adalah hasil sewa atas hak untuk menebang kayu di hutan di pulau-pulau utama (kelompok kepulauan Bintan, Batam dan Karimun, pen) yang menjadi pengelolaannya, sewa tanah dari lada dan gambir di perkebunan serta mendapatkan kontribusi modal usaha bersama dari penduduk Cina.
Raja Muda merupakan wakil yang berwenang dari Sultan, orang yang bersama Sultan dalam semua hal melakukan negosiasi dengan pemerintah kolonial Belanda.
Rincian kewenangan dan hak Yang Dipertuan Muda Riouw Lingga :
Kewenangan
- Administrator pemerintahan pribumi untuk kesultanan Riouw Lingga.
- Pengelola tertinggi pulau-pulau di antara Sumatera, Selat Singapura, Selat Dempoe dan Laut Cina Selatan.
- Mengelola hasil hutan di wilayah kesultanan.
- Wakil Sultan dalam negosiasi dengan pemerintah kolonial Belanda.
- Mengelola perkebunan lada dan gambir di kelompok pulau-pulau utama (Batam, Bintan dan Karimun).
Hak
- Kompensasi 97.000 Gulden/tahun dari pemerintah kolonial. Termasuk untuk membayar kaki tangannya sesuai kewenangan yang diberikan.
- Pendapatan 9.000 Gulden/tahun untuk menangani bajak laut (dicabut tahun 1869).
- Hasil sewa hak menebang kayu di hutan.
- Sewa tanah perkebunan lada dan gambir.
- Kontribusi modal usaha bersama dari penduduk Cina.
Batasan Wewenang
- Pengangkatan dan pemberhentian jabatan oleh Sultan Riouw Lingga.
- Bertindak sebagai wakil Sultan dalam negosiasi dengan pemerintah kolonial.
Pengelolaan Wilayah di Bawah Sultan dan Yang Dipertuan Muda Setelah 29 Oktober 1830
SULTAN dan Raja Muda, bersama-sama menerima Undang-undang konfirmasi dari Pemerintah Kolonial Belanda. Di bawah Sultan dan Raja Muda, dengan kewenangan yang dimandatkan kepada keduanya, pengelolaan wilayah dengan pengawasan di bawah kepala pejabat Belanda (Residen, Wakil Residen, Controleur, pen.) ditangani oleh Kepala (setara camat ke bawah, termasuk pimpinan tradisional seperti Batin, Penghoeloe, pen.) dengan pengelompokkan sebagai berikut:
- Kelompok Riouw (Kepulauan Bintan dan sekitarnya termasuk kepulauan Batam) dan Karimon, langsung di bawah kendali Yang Dipertuan Muda Riouw Lingga.
- Kelompok Lingga, sebagian oleh Orang Kaja Toemenggoeng dari Mëpar, sebuah pulau yang sangat kecil di seberang kota utama Lingga berlokasi (di bawah kendali Sultan, pen).
- Kepulauan Tambelan, oleh Petinggi Tambelan setempat (di bawah kendali Yang Dipertuan Muda, pen).
- Kepulauan Anambas Barat, oleh Orang Kaja Djemadja (di bawah kendali Yang Dipertuan Muda, pen).
- Kepulauan Anambas Besar, oleh Orang Kaja Siantan (di bawah kendali Yang Dipertuan Muda, pen).
- Kepulauan Natoena Utara, di bagian tepi oleh Orang Kaya Poelau laoet (di bawah kendali Yang Dipertuan Muda, pen).
- Kepulauan Besar Natoena, oleh Orang Kaja Boenguran (di bawah kendali Yang Dipertuan Muda, pen).
- Kepulauan Natoena Selatan, oleh dua Orang Kaja di pulau Soegi (di bawah kendali Yang Dipertuan Muda, pen).
Kepulauan Bajak Laut di Natuna, oleh Orang Kaja Serasan (di bawah kendali Yang Dipertuan Muda, pen).
Catatan dalam dokumen “Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie”:
“Kepala-kepala ini ditunjuk oleh Raja Muda melalui konsultasi dengan Residen (kecuali untuk wilayah Kepulauan Lingga yang ditentukan oleh Sultan, pen). Pendapatan mereka terdiri dari berbagai pajak pungutan, yang melakukan kegiatan di wilayahnya; di sisi lain, itu wajib setiap tahunnya. (Kewenangan yang diberikan) Merupakan penghormatan kepada Raja Muda Riouw atau Sultan Lingga. Mereka (Pemerintah Kolonial, pen) sendiri menyebutkan lagi, (kebijakan yang diterapkan perlu) dengan berkonsultasi dengan rakyat. Yang paling penting, para Pemimpin yang lebih rendah, yang menyandang gelar berbeda-beda di banyak tempat (termasuk Panghoeloe dan Batin) adalah yang paling umum, dikelola dan termasuk di bawah tanggung jawab Yang Dipertuan Muda Penyengat.”
Orang Tionghoa di wilayah kesultanan Riouw Lingga diperintah oleh seorang pemimpin Tionghoa; seorang kapten Tionghoa di Tandjoeng Pinang, seorang Kapten Tionghoa di Lingga, dan delapan Letnan Tionghoa untuk wilayah lain di kesultanan Riouw Lingga. Mereka diangkat dan digaji langsung oleh Pemerintah Kolonial dan berada langsung di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Orang Benoea (termasuk suku hutan yang hidup di pulau-pulau, pen ) secara aturan tunduk pada Ketua pulau-pulau yang mereka huni di bawah pengelolaan tokoh-tokoh mereka sendiri (di luar kesultanan Riouw Lingga dan pemerintah kolonial, pen.).
1830 – 1837, Pembagian Wilayah
PENGELOLAAN pemerintahan di Residen Riouw dan wilayah Depensinya masa itu, secara umum dilakukan oleh kolonial Belanda, termasuk mengontrol administrator kesultanan Riouw Lingga yang dalam hal ini dilakukan oleh Raja Moeda.

Menurut R. Van Eck dalam dokumen ‘Beknopt Leerboek Der Geschiedenis, Staatsinrichting en Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie (Buku Ajar Ringkas Sejarah, Konstitusi dan Negara serta Etnologi Hindia Belanda)’, wilayah Residensi Riouw dan Dependensi pada masa awal ketetapan pada 29 Oktober 1830, dibagi berdasarkan kelompok pulau:
- Kelompok Riouw, yang mencakup antara lain: pulau Bintang (Riouw), Mapor, Senggarang, Penjingat, Batam dan Boelang;
- Kelompok Lingga, dimana Lingga, dan Singkep adalah yang utama;
- Kepulauan Karimon (Karimon Besar dan Kecil), di selatan pintu masuk ke Selat Malaka;
- Kepulauan Anambas, terdiri dari kelompok Anambas Barat dan Besar, dengan Djemadja dan Siantan sebagai pulau-pulau utama;
- Kelompok Tambelan atau Tambilan yang hanya terdiri dari terdiri dari pulau-pulau yang sangat kecil, dan hanya Tambelan Besar saja yang merupakan salah satunya mempunyai penduduk tetap.
- Kepulauan Natoena, terdiri dari tiga pulau terpisah dari kelompok yang ada, Totalnya terdiri dari sekitar enam puluh pulau, Serasan atau Corsairs atau “Pulau Tinggi”, memiliki arti penting untuk kelompok wilayah ini.
Sementara itu, menurut E. Nestcher dalam dokumen yang diterbitkan pada 1854, seiring penetapan kesepakatan pada 29 Oktober 1830, wilayah pemerintahan residensi Riouw Lingga/ kesultanan Riouw Lingga mengalami perubahan dan penambahan dengan masuknya kawasan Inderagiri pada 1837. Hal itu terjadi menyusul pengakuan tentang penguasaan wilayah kolonial Belanda di sana.
Penataan dan pengawasan sistem pemerintahan menjadi lebih jelas dengan penempatan pejabat setingkat Wakil Residen dan Controleur di masing-masing wilayah pembagian oleh pemerintah kolonial.
Secara umum, pembagian wilayah di Residensi Riouw Lingga/ kesultanan Riouw Lingga sejak 1837 berubah menjadi :
- Wilayah Riouw (pada dokumen masa lalu, sering dipakai untuk menjelaskan kawasan Kepulauan Bintan dan sekitarnya dengan fokus utama pada Tandjoeng Pinang dan Penjingat, pen.), sebagai Afdeeling Tandjoeng Pinang (setara kabupaten) dengan kontrol langsung di bawah Residen Riouw Lingga yang juga juga berkedudukan di daerah dengan nama sama.
- Wilayah kepulauan Lingga dan sekitarnya sebagai Afdeeling Lingga (Setara kabupaten) dengan pejabat Wakil Residen (setara Bupati), berkedudukan di Lingga.
- Wilayah Kepulauan Batam dan sekitarnya sebagai Afdeeling (Onder) dengan pejabat Controleur (setara Wedana) berkedudukan di pulau Bojan.
- Wilayah Kepulauan Karimon dan sekitarnya sebagai Afdeeling (Onder) dengan pejabat Controleur (setara Wedana), berkedudukan di pulau Karimon.
- Wilayah Kepulauan Tambelan, Kepulauan Anambas, Kepulauan Natoena dan Kepulauan Serasan sebagai afdeeling depensi khusus dengan pengawasan langsung di bawah Residen.
- Wilayah Inderagiri, Reteh dan sekitarnya sebagai Afdeeling (Onder) dengan pejabat Controleur (setara Wedana), berkedudukan di Inderagiri.
Catatan E. Netscher :
“Pemerintahan Residen Riouw dan daerah-daerah di bawahnya dibagi menjadi enam afdeling yaitu Lingga, Karimon, Batam, Tanjung Pinang, Indragiri, dan Pulau Tujoh.“
- Kekuasaan: Pemerintah Belanda memiliki kekuasaan langsung atas wilayah Riouw-Lingga, terutama atas komunitas Tionghoa yang tinggal di wilayah tersebut.
- Penghasilan: Sultan dan wakilnya menerima subsidi tahunan sebesar ƒ162,000 sebagai kompensasi atas hak-hak yang telah diserahkan kepada Pemerintah Belanda.
- Peradilan: Sultan memiliki kekuasaan untuk menjalankan peradilan di Residen Riau dan daerah-daerah di bawahnya, kecuali untuk kasus-kasus yang melibatkan orang-orang Eropa atau bawahan Pemerintah Belanda.”
1838 – 1864, Gesekan Kekuasaan
DALAM rentang tahun 1838 – 1853 menurut catatan pejabat keuangan Hindia Belanda, E.Dee Waal, sistem pemerintahan yang berada di bawah kesultanan Riouw Lingga, belum berjalan sebagaimana disepakati dalam perjanjian tanggal 29 Oktober 1830 di pulau Penyengat.
Pemerintahan atas seluruh kerajaan Riouw Lingga yang dipercayakan kepada Sultan dan YamTuan Muda melalui kontrak Oktober 1830, tidak pernah dilaksanakan hingga penunjukkan kepala-kepala perwakilan kerajaan sesuai kelompok wilayah yang telah ditentukan. Menurut E. Dee Wall, YamTuan Muda masih mengelola langsung wilayah-wilayah kekuasaannya yang seharusnya didelegasi ke wakil kerajaan. Begitu juga dengan Sultan yang masih mengutus langsung orang istana untuk menangani sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya.

Berdasarkan laporan tahun 1839-48, YamTuan Muda Riouw Lingga masih mengelola langsung kelompok wilayah seperti Bintang, Batam, Gallang, dan Karimon tanpa mendelegasikan melalui wakil kerajaan (kepala Kampung dan Amir). Termasuk di wilayah pulau-pulau antara Selat Dempo, Selat Singapura, dan Laut Cina, serta pulau-pulau yang secara langsung termasuk dalam Sumatra.
Sementara di kelompok wilayah Lingga yang berada dalam kekuasaan Sultan, berdasarkan catatan E. Dee Wall, baru pada tahun 1853, ada seorang kepala yang bernama Orang Kaja Toemenggoeng dari Mepar, serta beberapa bangsawan kerajaan lainnya yang memiliki hubungan langsung dengan sultan.
“…Kepala-kepala pulau di sekitar Laut Cina selatan, kepulauan Tujuh dan Natuna, baru menerima pengangkatan mereka sebagai bawahan raja berdasarkan keputusan pada bulan Oktober 1846.” (E.Dee Wall – Onze Indische Financien, 1884)
Sementara untuk wilayah Kepulauan Batam, seperti tertera dalam catatan pejabat dalam negeri Kolonial Belanda, Baron Van Hoevel, baru mulai ada Kepala di sana sebagai perwakilan kerajaan atas nama Raja Yakub. Ia menangani sebagian wilayah pulau utama Batam, sekitar tahun 1856.
Pada periode ini, kutipan pajak-pajak lebih banyak dibayarkan langsung kepada sultan yang mengutus orangnya untuk mengumpulkan pajak. Belum melalui perwakilan kerajaan yang merupakan orang YamTuan Muda di wilayah-wilayah seperti kepulauan Bintang, Batam, Gallang, dan Karimun.
Residen saat itu melaporkan dalam laporan tahunan, bahwa pejabat YamTuan Muda pada era tahun 1838-57 kehilangan wewenangnya di hadapan Sultan. Terutama pada era kesultanan Riouw Lingga berada di bawah kewenangan sultan Mahmud IV Muzzafar Shah.
“… ia tidak memiliki kualitas” untuk mengendalikan Machmud yang muda, sehingga Machmud “bahkan memperlakukannya dengan penghinaan dan ketidakpercayaan”. Hal ini dapat dipahami mengingat kebencian Machmud terhadap YamTuan Muda (onderkoning) …” (E.Dee Wall – Onze Indische Financien, 1884)
Dalam banyak catatan sejarah, pada era kesultanan di bawah sultan Mahmud IV Muzzafar Shah (1842 – 1864), timbul gesekan antara pemerintah kolonial dengan pihak kesultanan di bawah sultan Mahmud IV yang menginginkan penyatuan kembali kekuasaan kesultanan seperti sebelum perjanjian London 1824. Klimaks era ini ditandai dengan dicopotnya sultan Mahmud IV pada tahun 1857 dan digantikan oleh pamannya, Sultan Sulaiman II Badrul Alam Shah.
Sultan Machmud IV Muzaffar Shah sendiri, akhirnya meninggal dalam pengasingannya di tanah semenanjung Malaya sekitar tahun 1864.
SETELAH ketetapan awal yang menjadi titik awal model pengelolaan wilayah pemerintahan pada 29 Oktober 1830, ada beberapa kali lagi pembaruan ketetapan antara dua pihak tersebut.
Pada tahun 1857, misalnya. Ketetapan diperbaharui. Pada masa ini, pihak Kerajaan Riouw Lingga diwakili oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II bersama Raja Haji Abdullah dan Belanda oleh Residen Riau Frederick Nicholas Johannes. Poin utamanya tetap pada masalah keamanan di jalur perairan Riouw Lingga. Pihak kesultanan diminta kembali berjanji untuk menegahkan perompakan, jika ada yang tertangkap maka mereka harus diserahkan kepada residen Belanda.
Mengapa pemerintah kolonial Belanda begitu bersikukuh untuk memberantas bajak laut sejak awal menancapkan kekuasaannya di wilayah ini?
Sebagaimana banyak dibahas dalam artikel oleh penulis berbeda, perairan Riouw Lingga adalah kawasan penting dalam perdagangan Internasional di masa itu. Aktivitas perdagangan tidak hanya melibatkan para pedagang lokal, melainkan juga pedagang-pedagang yang datang dari Eropa bahkan hingga Amerika.
Pentingnya kawasan ini sebagai nadi perdagangan membuat Belanda berupaya untuk menjaganya tetap stabil. Kemunculan bajak laut adalah masalah yang harus dituntaskan. Sayangnya, hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan, mengingat mereka adalah orang-orang lokal yang memahami geografis wilayah dengan baik dibanding Belanda.
Bajak laut di kawasan Kepulauan Melayu ini juga disebut memiliki kemudahan untuk mengakses senjata dan informasi.
Jalan panjang upaya penaklukkan bajak laut oleh Belanda menjadi dinamika tersendiri dalam sejarah maritim di perairan Kepulauan Riau masa lalu. Upaya untuk melibatkan penguasa lokal pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Sampai akhirnya muncul keputusan penghapusan hak keuangan Sultan dan YamTuan Muda tentang pemberantasan bajak laut di wilayah ini sejak 1869.
1869 – 1899, Pembaruan Kesepakatan
SEIRING pengurangan kewenangan pihak kesultanan beserta kaki tangan di wilayah ini termasuk wilayah apanase kesultanan Riouw Lingga, peran pemerintahan pribumi di bawah kesultanan juga semakin berkurang.
Namun begitu, pada pembaruan kesepakatan antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Kesultanan Riouw Lingga pada 1869, sistem pemerintahan pribumi pada kelompok wilayah kepulauan Bintan, Batam, Karimun, Lingga dan kepulauan Tujuh – Natuna mulai lebih jelas. (Besluit dd. 1 October 1869 no. 5. Reorganisatie 94. van het bestuur in het rijk van Lingga, Riouw en onderhoorigheden).

Berdasarkan putusan tersebut, mulai tanggal 1 Januari 1870, wilayah Kerajaan Lingga-Riau dan Daerah Taklukannya (Residen Riau dan Daerah Taklukannya) dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu:
a. Lingga
b. Karimon
c. Batam
d. Noord-Bintang (Bintang Utara)
e. Zuid-Bintang (Bintang Selatan)
f. Tandjong-Pinang
g. Poeloe-Toedjoe (atau Kepulauan di Laut Cina yang termasuk dalam kerajaan tersebut)
Sejalan dengan reorganisasi umum ini, untuk pemerintahan orang Tionghoa di Riouw Lingga dibagi per wilayah sebagai berikut : 1 kapten dan 2 letnan di Tandjung Pinang; 1 kapten di Daik Lingga; 1 di Sengarang, 2 di Bintan, 1 di Karimon, 1 di Batam, dan 1 di Poeloe Toedjoe.
Kemudian, pada tahun 1875, terjadi lagi perombakan wilayah pemerintahan di wilayah ini. Di luar wilayah Sumatera, pemerintahan di negeri Riouw Lingga kemudian dibagi menjadi lima Afdeeling (bagian):
- Lingga
- Karimun
- Batam
- Tandjoeng Pinang
- Poeloe Toedjoe atau Kepulauan di Laut Cina
Di setiap Afdeeling ini, telah ada seorang Contoleur, kecuali di Lingga, di mana pengawasan dilakukan oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Tandjoeng Boeton, dan di Afdeeling Poeloe Toedjoe, di mana tidak ada pejabat Eropa; sementara itu, di Afdeeling Tandjoeng Pinang, yang mencakup seluruh Pulau Bintan, Controleur dibantu oleh seorang Aspiran Controleur.
Pada era ini, menurut catatan E.De Waal, diwarnai dengan hubungan yang kurang harmonis antara Sultan dan YamTuan Muda Riouw di Penyengat. E.De Waal mencatat pada tahun 1880, residen Riouw di Tanjungpinang, terpaksa memerintahkan YamTuan Muda untuk memecat seorang wakil kerajaan yang ditugaskan di Batam, karena terbukti melakukan penyimpanan kewenangan.
“…Pada tahun 1880, YamTuan Muda Riouw memanggil seorang radja yang dicurigai terlibat dalam perdagangan opium ke Penjingat dan menahannya di sana. Residen berhasil memerintahkan YamTuan Muda untuk memecat wakilnya di Battam tersebut karena telah melakukan tindakan yang tidak pantas …” (E.De Waal – Onze Indische Financhien, 1884).
Dari dokumen catatan seorang Controleur di Kepulauan Batam masa itu, J.G. Schot, wakil Raja di Kepulauan Batam yang dipecat adalah Raja Abdul Hadi, seorang wakil kerajaan yang dipercaya menangani wilayah kepulauan Soelit di Batam. Ia kemudian digantikan oleh saudara sultan bernama Radja Mat Tahir. (De Indische Gid – Battam Archipel, 1882)
PADA masa 1870 – 1880, wilayah kepulauan Batam sebenarnya telah terbagi menjadi tiga wilayah pemerintahan pribumi. Awalnya sebelum tahun 1869, pemerintah Belanda meminta pihak kesultanan Riouw Lingga untuk menunjuk seorang wakil kerajaan di wilayah bagian barat Batam dalam menangani masalah perompakan yang kerap terjadi di sekitar selat Boelang.

YamTuan Muda Riouw di Penyengat kemudian menunjuk satu wakilnya untuk mengawasi perairan itu dengan menunjuk kerabatnya, Raja Osman menangani dari pulau Boeloeh (Buluh). Kemudian menunjuk wakilnya yang lain menangani di sekitar perairan Soelit, Raja Husin. Keduanya bertugas menangani masalah ancaman perompakan yang kerap terjadi di sana sampai sebelum tahun 1869.
Berdasarkan Besluit dd. 1 October 1869 no. 5. Reorganisatie 94. van het bestuur in het rijk van Lingga, Riouw en onderhoorigheden, tiga wilayah di Kepulauan Batam yang telah memiliki wakil kerajaan, diangkat menjadi kepala pemerintahan pribumi di wilayah Kepulauan Batam. Sebelumnya, wilayah Nongsa telah ada wakil pribumi kerajaan sejak sekitar tahun 1856 berdasarkan catatan pejabat dalam negeri Hindia Belanda, Baron Van Hoevel.
Hal ini sejalan dengan Staatblad 1869 yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur sistem pemerintahan di negeri Riouw Lingga. Sesuai ketetapan saat itu, hak keuangan sultan dan Raja Muda yang berhubungan dengan masalah keamanan penanganan bajak laut dihapuskan. Keduanya dianggap pemerintah kolonial gagal dalam penanganan kewenangan pemberantasan bajak laut di sekitar wilayah perairan Riouw Lingga masa itu.
Secara umum, tugas wakil-wakil kerajaan pada sistem pemerintahan pribumi lebih pada penanganan masalah sosial dan pengumpulan pajak untuk kepentingan pihak kesultanan sendiri.
Pada 1870 hingga 1880, wilayah Kepulauan Batam sudah terdiri dari tiga wilayah pemerintahan pribumi setingkat kecamatan yang diawasi oleh pejabat Belanda berstatus Controleur (setingkat Wedana), yakni:
- Bagian paling utara pulau utama Batam, yaitu wakilschap/ Kecamatan Nongsa, adalah wilayah terkecil. Membentang dari muara Sungai Ladi di pantai utara Batam, ke arah timur sepanjang pantai hingga Kampung Bagan di muara Sungai Doeriankang, Kangboi, dan Assiamkang. Batas garis dalam pedalaman ditandai oleh Sungai Ladi dan Doeriankang. Wilayah ini sebelumnya diberikan status apanase kepada seorang wakil raja bernama Raja Yakub yang tinggal di Nongsa. Tetapi karena usia dan ketidakmampuan, ia digantikan oleh putranya, Raja Mohammad Saleh, yang biasa disebut Raja Mahmoed. Yang bersangkutan tinggal di kampung Bagan, dan hanya sesekali berada di di Nongsa. Wilayah Nongsa masih merupakan apanase kerajaan, dimana pengutipan pajak dilakukan melalui wakil kerajaan yang ditugaskan.
- Bagian pulau utama Batam di luar wilayah Wakilschap Nongsa, yaitu wilayah Pulau Boeloeh. Mencakup juga pulau Galang, Rempang, Kepulauan Tandjong Sane, Stoko, Bolang, dan Bolang Këbam, Pulau Blakang Padang dan Tholoep di satu sisi, dan Pulau Metjan di sisi lain. Pada tahun 1880 sesuai catatan J.G. Schot, wilayah ini dipercayakan kepada wakil kerajaan bernama Raja Osman dan tidak berstatus apanase. Segala kutipan pajak langsung dilakukan oleh perwakilan kerajaan dari Penyengat.
- Bagian barat Kepulauan Batam, yaitu Wilayah Wakilschap/ Kecamatan Soelit. Areanya meliputi perairan Selat Tjombol, Petjong, dan Kasoe. Awalnya, wilayah ini ditangani oleh wakil kerajaan bernama Raja Husin. Namun, karena usia, ia kemudian menawarkan puteranya, Raja Hadji Osman untuk menangani dalam status wilayah ini sebagai apanase. Beberapa tahun kemudian, Raja Hadji Osman meninggal dan digantikan kerabatnya, Raja Abdul Hadi. Pada tahun 1880, karena terbukti melakukan penyimpangan kekuasaan, ia akhirnya dipecat. Wilayah kepulauan Soelit, kemudian ditangani oleh wakil kerajaan bernama Raja Ali di bawah wewenang Raja Mat Tahir. Status apanase di wilayah Soelit kemudian dicabut dan pengutipan pajak kembali dilakukan langsung oleh pihak Kerajaan di pulau Penyengat.
Pada tahun 1882, hubungan antara Sultan dan YamTuan Muda dilaporkan membaik. Namun koordinasi antar pemerintahan pribumi di masing-masing Afdeeling seperti yang disarankan pemerintah kolonial Belanda, tidak pernah diindahkan. Pemerintahan lokal pribumi masih berjalan tanpa koordinasi pihak Kerajaan, selain pengutipan pajak.
“… tidak ada perubahan signifikan dalam kondisi kerajaan. Pemerintah Hindia Belanda telah berulang kali menekankan pentingnya mengadakan pertemuan rutin dengan wakil-wakil untuk membahas urusan pemerintahan dan melaporkan kemajuan mereka. Sayangnya, saran ini belum pernah diindahkan …” (E.De Waal – Onze Indische Financhien, 1884).
Menjelang tahun 1882, berdasarkan catatan J.G. Schot, wilayah kepulauan Batam yang sebelumnya terdiri dari 3 Wakilschap, digabung menjadi 2 (dua), yakni Wakilschap/ Keamiran pulau Boeloeh dan Nongsa.
Wilayah pemerintahan pribumi pada Wakilschap pulau Boeloeh dan kepulauan Soelit, disatukan atas perintah Kolonial Belanda di Tandjoeng Pinang dengan pertimbangan kesamaan kepentingan. Kedua wilayah itu juga sudah tidak menangani masalah ancaman perompakan karena telah diambil alih oleh pemerintah kolonial sejak 1869. Tugas penanganan di kedua wilayah tersebut, mulai tahun itu dilakukan secara bersama oleh Raja Mat Tahir, Raja Osman dan Raja Ali yang membagi sendiri area kewenangan mereka di wilayah ini.
“… Namun, belakangan ini, karena Radja Osman dari Boeloeh semakin tua dan kepentingan Boeloeh dan Soelit tidak lagi berbeda, kedua wilayah tersebut diperintah secara bersama-sama oleh Radja Mat Thahir, Osman, dan Ali. Mereka membagi tugas di antara mereka, kadang-kadang berada di Boeloeh, Soelit, atau Tholoep. Radja Osman biasanya berada di Penjingat, sehingga sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh Radja Mat Thahir dan Ali …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882)
Pengembangan desentralisasi pemerintahan pribumi yang lambat di wilayah kesultanan Riouw Lingga hingga 1882 menurut J.G. Schot, pada akhirnya justeru berdampak positif pada ketertiban pemerintahan secara umum. Kondisi itu memudahkan pemerintah Belanda untuk melakukan pengawasan yang tepat dan memberikan pengaruh yang baik.
“… Semakin sentralisasi, semakin sedikit kepala, semakin sedikit perbedaan dalam tindakan pemerintahan, dan semakin mudah pengawasan dan pengaruh …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882)
Tugas utama pemerintahan pribumi secara umum di wilayah kesultanan Riouw Lingga yang merupakan protektorat Belanda adalah mengurus pendapatan Sultan dan YamTuan Muda. Sementara masalah penanganan keamanan dari perompakan, telah diambil alih oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1869.
“Tanpa mana itu, akan mustahil bagi Sultan dan YamTuan Muda untuk memenuhi biaya pemerintahan dan pemeliharaan keluarganya,” catat Schot.
1899 – 1911, Sentralisasi dan Akhir Pemerintahan Kesultanan
PERUBAHAN dinamika politik di negeri Riouw Lingga terjadi pada era ini. Paska kemangkatan YamTuan Muda Riouw X, Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi, jabatan YamTuan Muda dipegang langsung oleh Sultan Abdurrahman II. Ia kemudian juga memindahkan pusat pemerintahan dari Lingga ke pulau Penyengat dan memegang kuasa penuh atas pemerintahan pribumi kesultanan. Pada era ini diikuti dengan penataan kembali sistem pemerintahan di kelompok-kelompok wilayah, terutama kelompok kepulauan Batam dan Karimun.
Pada akhir tahun 1906, pemerintah kolonial Belanda membubarkan sistem pemerintahan di Kepulauan Batam, termasuk pejabat controleurnya yang berada di ibukota kepulauan Batam di pulau Bojan. Sistem pemerintah kepulauan Batam untuk selanjutnya, digabungkan dalam sistem pemerintah Afdeeling Tanjungpinang. Begitu juga dengan kepulauan Karimun yang digabungkan ke Afdeeling yang sama.
Kendali terhadap para Amir (amirschap/wakilschap) di seluruh wilayah Residensi Riouw Lingga juga diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda mulai tahun 1908.
Para Amir dan pemimpin di bawahnya hanya mengelola masalah sosial kemasyarakatan. Sementara pengelolaan pendapatan wilayah, mulai dilakukan oleh sebuah komite pendapatan tersendiri yang dikontrol langsung dari ibukota karesidenan di Tandjoeng Pinang. Para Amir dan pemimpin tradisional digaji oleh pemerintah kolonial melalui sejumlah pendapatan wilayah yang dikelola komite, tidak lagi melalui Raja Muda atau Sultan Riouw Lingga.

Perubahan tata pemerintahan di negeri Riouw Lingga mencapai klimaksnya pada tahun 1911 saat pemerintah kolonial Belanda resmi memecat Sultan Riouw Lingga saat itu, sultan Abdurrahman II dan menyusul pembubaran kesultanan Riouw Lingga secara keseluruhan dua tahun kemudian.
Sejak saat itu, seluruh sistem pemerintahan di negeri Riouw Lingga menjadi di bawah pengelolaan langsung pemerintahan residensi Riouw di Tanjungpinang.
Baca artikel : Hari-Hari Terakhir Kesultanan Riouw Lingga, 1911.
Penataan ulang tata pemerintahan yang diberlakukan pemerintah Kolonial Belanda saat itu, juga berimbas pada penataan ulang hingga para pejabat wilayah setingkat Amir dan di bawahnya yang terdiri dari ketua Kampung, Batin dan pemimpin tradisional lain di wilayah ini.
Dalam sebuah catatan, pemerintah kolonial menyebut perombakan tersebut sebagai menandai era baru dalam reformasi sistem pemerintahan di negeri Riouw Lingga.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com