DUA kali konflik terbuka antara masyarakat dengan aparat, akhirnya menyeret Rempang jadi pembicaraan kembali. Tidak hanya di lini massa media sosial dan isu nasional. Pemberitaan soal Rempang ramai hingga menarik perhatian dunia internasional.
GERAKAN massa di aksi bela Rempang jilid II, pada 11 September lalu, berubah. Tidak hanya diikuti oleh warga Rempang yang bakal terdampak relokasi oleh proyek ecocity. Tapi sudah menarik warga lainnya, bahkan hingga luar Batam.
Ada yang menyebut, itu bentuk perlawanan orang Melayu di Indonesia atas upaya perebutan kuasa atas tanah. Lahan yang didiami oleh nenek-moyang orang Melayu di Kepri sejak ratusan tahun lalu itu, dianggap mereka sedang diupayakan berpindah tangan ke pemerintah.
Protes bukan cuma dari Melayu Rempang dan Batam. Yang datang mengikuti aksi kedua, ada yang berasal dari Riau, Jakarta, Jambi, Sulawesi, bahkan dari Kalimantan.
“Ya Allah, jika keputusan ini baik bagimu, ya Allah, langkahkanlah apa yang mereka (pemerintah) inginkan. Tetapi, jika keputusan ini menzalimi rakyat, umatmu semua, ya Allah, perlihatkan balasan yang setimpal atas apa yang mereka inginkan,” begitu bunyi doa dalam orasi yang dipanjatkan oleh Iswandi bin M Yakup alias Bang Long. Orang Rempang yang ikut dalam aksi kedua beberapa hari lalu.
Soal keterlibatan warga di luar pulau Rempang, juga dibenarkan oleh Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad. Dalam aksi kedua yang berujung ricuh itu, polisi mengamankan puluhan orang.
“Ini informasi dari Kapolresta Barelang sebagai penanggung jawab wilayah, jadi pada saat bentrokan fisik Senin lalu telah diamankan 43 orang. Dari 43 orang itu yang memenuhi unsur pidana hanya 34 orang dan telah di tetapkan sebagai tersangka,” ujar Kabid Humas Polda Kepri Kombes Pol Zahwani, dikutip GoWest.ID beberapa hari kemarin.
Pandra menjelaskan, para tersangka tersebut dikenai Pasal 170 KUHP ayat 1 karena secara bersama-sama menyerang atau melakukan kekerasan terhadap orang atau barang.
“Dari jumlah 43 orang yang diamankan kemarin, hanya lima orang yang diketahui sebagai warga Rempang. Mereka yang bukan warga Rempang ini, saat pemeriksaan, mengaku terbawa emosi, saat mendapat informasi dari media sosial,” jelasnya.
Sementara Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Muhammad Rudi menduga, ada banyak provokator di tengah konflik yang bergejolak di Pulau Rempang. Keberadaan provokator pula yang diduga menjadi penyebab timbulnya kerusuhan saat masyarakat melakukan unjuk rasa pada Senin (11/9/2023) lalu.
“Saya kira itu petugas yang tahu. Setelah kami dapat laporan bahwa bukan orang Rempang yang demo kedua itu,” ujar Rudi saat rapat di DPR RI, Jakarta, Rabu, 13 September 2023.
Soal dua demonstrasi di Rempang belakangan ini,.menurutnya, demo pertama memang dilakukan oleh 80 persen warga Rempang terdampak, tetapi tidak dengan demo kedua.
Menurutnya, demo kedua yang pecah di Rempang dilakukan bukan warga lokal. Ia mengatakan mungkin hanya sisa 10 persen warga Rempang yang demo, sisanya orang dari luar wilayah tersebut.
“Dari koordinator umum sampai ke bawah, mereka bukan orang Rempang. Ini menjadi masalah. Pengalaman (demo) pertama mungkin agak bereaksi para aparatnya, tapi tidak ada sampai luka,” katanya.
Dalam aksi penolakan pada Senin (11/9/2023) lalu itu, warga yang datang memang lebih bervariasi. Tidak hanya warga asli Rempang. Solidaritas aksi, dinilai terbangun melalui jejaring sosial, soal perjuangan warga Rempang yang memilih bertahan dan menolak tawaran relokasi. Mereka kemudian bertemu di dalam aksi damai yang berujung ricuh tersebut
Soal orang-orang yang melempar batu hingga melakukan pemukulan kepada aparat, seorang massa pendemo saat itu, Agustian mengaku, tak mengetahuinya. Ia bahkan menduga bahwa mereka yang merusuh itu tak masuk dalam massa yang ingin melakukan aksi damai.
“Kita lihat pakaiannya. Ada yang pakai hoodie, yang jelas kami tidak tau mereka (perusuh) datang dari mana. Saya yakin itu bukan dari kami massa yang menjalankan aksi damai,” ujarnya saat itu.
Tokoh Melayu di Aksi Tolak Relokasi Warga pulau Rempang
Variasi pada aksi demo menolak relokasi warga Rempang pada Senin (11/9/2023) juga terlihat dari kehadiran beberapa orang yang dianggap tokoh Melayu. Di antaranya adalah Raja Malik, ia merupakan cucu dari Raja Haji Fisabilillah. Raja Malik datang dari Pulau Penyengat, Tanjungpinang. Kemunculannya juga disertai orasi.
“Rempang, Galang, adalah satu tempat yang punya sejarah yang sangat panjang. Tercatat dalam sejarah sejak abad ke-15, Rempang dan Galang adalah masyarakatnya memainkan peran ketika zaman Melaka dulu,” katanya.
Kala itu, Malik menyampaikan semangat lewat sejarah Rempang dan Galang yang menjadi bagian dari tentara Melayu dalam imperium yang begitu hebatnya dimasa itu. Dia turut menyebutkan beberapa nama pejuang yang ikut berperan memerangi penjajah, mulai dari Raja Haji Fisabilillah, Panglima Galang, sampai Batin Limat bin Limbang.
“Yang ditakuti oleh penjajah, namanya Raja Alam di Laut. Raja Alam di Laut ini sangat ditakuti oleh penjajah Inggris dan Belanda, sehingga dia diperangi dengan begitu hebatnya. Dan dia syahid pada perjuangan di Galang pada tahun 1836,” ujarnya.
Kemudian, Batin Limat bin Limbang, adalah nama yang terpatri terus di hati orang Melayu Kepri, yang mengajak perang kepada Sultan Abdurrahman ketika menentang penjajah Belanda. Orang-orang di Galang, Bintan, serta Rempang adalah yang dulu diantaranya ikut terlibat pada satu pasukan yang namanya Gyutai pada zaman Jepang.
“Gyutai ini kemudian membentuk batalyon Kepulauan Riau pada 1949, cikal bakal perjuangan kemerdekaan Indonesia yang melibatkan orang Rempang dan Galang. Itu tidak bisa dipungkiri dari sejarah. Jadi ingatlah, apa kurangnya kami lagi? Sumbangan apa yang kurang bagi orang Melayu. Dari orang Melayu untuk Indonesia ini. Sehingga kami di-anaktirikan di tanah kami sendiri,” ujar Malik.
Nama moyangnya pun tak lepas dari sebutan. Perjuangan Raja Haji Fisabilillah senantiasa dikenang dan bersebati di hati orang-orang Melayu memperjuangkan hak atas tanah meski mengorbankan nyawanya sendiri.
“Datuk moyang saya namanya Raja Haji Fisabilillah. Mati dengan peluru menembus dadanya, syahid fisabilillah ketika memperjuangkan tanah ini. Beliau ikut menggabungkan Riau ini ke Republik Indonesia Serikat. Dan saya tidak rela, sebagai cucunya, ketika Indonesia tidak adil pada kami orang-orang Melayu,” tegas Malik.
Dukungan Tolak Relokasi Atas Nama Melayu?
Sejak wacana penggusuran warga Rempang, Galang mencuat, berbagai organisasi sampai LSM yang mengatasnamakan Melayu timbul. Macam-macam jenis, beda nama lain juga orangnya. Biar pun begitu, lamun mereka tetap sama: membela.
Yang paling terbilang ialah Aliansi Pemuda Melayu. Sejak awal, perkumpulan ini begitu vokal menentang pemerintah dan kroni-kroninya atas percobaan penggusuran 16 kampung adat di Rempang. Eh, sekonyong-konyong berubah.
Ceritanya dimulai pada Minggu (10/9) malam, saat Polresta Barelang melakukan konferensi pers terkait penangguhan penahanan delapan orang warga yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kericuhan yang terjadi di Jembatan IV Barelang, tempo hari. Dalam jumpa pers, Aliansi Pemuda Melayu mengagetkan banyak pihak lantaran membatalkan aksi damai kedua yang sebelumnya telah direncanakan.
“Kami sebelumnya melayangkan surat pemberitahuan demo, dan hari ini saya mewakili seluruh aliansi yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Melayu, bahwasanya pada Senin tanggal 11 September, kami membatalkan aksi unjuk rasa secara damai di Kantor BP Batam,” kata Koordinator Umum (Kordum) Aliansi Pemuda Melayu, Dian Arniandi, memberi keterangan yang didampingi Walikota sekaligus Kepala BP Batam, Muhammad Rudi dan Kapolres Kombes Pol Nugroho Tri Nuryanto.
Tentunya, lanjut dia, keputusan tersebut diambil dengan banyak pertimbangan. Sebab, yang akan ikut aksi bukan hanya dari anggota yang tergabung dalam aliansi dan warga tempatan, melainkan dari masyarakat di luar Batam dan LSM-LSM yang lain sehingga ia tidak mau terjadi benturan serta hal yang tak diinginkan.
“Kami dari Aliansi Pemuda Melayu berharap ingin menciptakan situasi yang kondusif, ketenteraman, humanis di Bandar Dunia Madani ini,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan kepada seluruh kerabat dan masyarakat luas, bahwa pergerakan Aliansi Pemuda Melayu tidak pernah ditunggangi oleh pihak manapun. “Pergerakan kami tidak pernah ditunggangi sama sekali. Ini perlu saya tegaskan. Kami berangkat dari keresahan bersama, kami berangkat dari keresahan masyarakat Rempang dan Galang. Kami harap ada solusi terbaik dari pemerintah untuk masyarakat Rempang dan Galang,” kata pria yang akrab disapa Pian itu.
Dia pun turut melayangkan permintaan maaf kepada TNI/Polri dan tim terpadu yang bertugas atas peristiwa bentrok yang telah terjadi sebelumnya. “Saya mewakili keluarga besar aliansi pemuda melayu memohon maaf kepada TNI/Polri, tim terpadu atas kejadian-kejadian sebelumnya. Mungkin dari aksi pertama terjadi pelemparan batu dan sebagainya, bahkan sampai hari ini. Saya percaya hari ini TNI/Polri bersinergi dengan masyarakat,” ujar dia.
Ucapan terimakasih turut dia layangkan kepada seluruh masyarakat, terkhusus orang Melayu di Kepri dan di luar Kepri yang telah tiba di Batam yang rencananya bakal ikut aksi damai.
“Jadi saya mohon maaf juga kepada teman-teman, puak-puak Melayu, aksi besok tidak jadi mengingat pertimbangan yang saya sampaikan tadi. Demi Allah, demi Rasul, tidak ada tekanan sama sekali. Kami mengedepankan kekeluargaan dan persaudaraan. Maka hari ini kami sepakat untuk tidak mengadakan aksi pada 11 September besok,” pungkas Pian. Walau pun begitu, unjuk rasa tetap terlaksana, tanpa keikutsertaan Aliansi Pemuda Melayu. Ada beberapa poin yang jadi pertimbangan dia dan rekan-rekan untuk membatalkan aksi secara buka-bukaan.
Aksi Damai Tolak relokasi warga Rempang pada Senin (11/9/2023) yang akhirnya tetap digelar, berujung ricuh. Variasi asal massa termasuk kepentingan, tidak bisa diprediksi.
Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad menuturkan, ada 1.000 massa yang mengaku dari Markas Besar Gagak Hitam Kepri yang ikut demo di depan kantor BP Batam. Mereka menyampaikan serangkaian tuntutan meliputi penolakan relokasi, pembebasan tersangka yang telah ditahan, penolakan pendirian pos terpadu, dan penarikan tim terpadu dari Rempang.
“Akibat insiden ini, 26 personel pengamanan memerlukan perawatan medis. Baik observasi di tempat maupun dievakuasi ke rumah sakit,” kata Pandra, dalam keterangan tertulis, Selasa, (12/9/2023) lalu.
Tentang Solidaritas Kemanusiaan
Tim GoWest.ID berbincang dengan salah seorang yang bergerak dalam aksi damai kedua, beberapa hari kemarin. Pria bernama Zul Fahmi. Dia ikut dalam barisan ‘damai’ di aksi itu bersama dengan orang-orang Melayu dari luar Batam lain.
Zul sendiri merupakan seorang Melayu asal Riau. Atas dasar kemanusiaan, ia datang menyambangi Bandar Dunia Madani untuk berdemonstrasi.
“Kalau tak kuat mental, tak kuat iman, jangan coba-coba, lah, bergerak bawa nama Melayu. Takut nanti malu. Menepuk air di dulang, kena juga muka sendiri,” singgungnya terhadap akhir dari pergerakan Aliansi Pemuda Melayu. Sepertinya Zul kecewa atas apa yang terjadi. Ia menilai, di zaman sekarang ini telah banyak yang menciderai marwah dan martabat bangsa Melayu.
“Yang buat seperti itu (kerusuhan) bukan orang lain, orang kita (Melayu) juga. Apa nak jadi kalau sudah begini? Saya tulen Melayu, tapi tak sanggup melihat seperti zaman sekarang ini. Malu kita jadi Melayu,” ujarnya.
Zul tak banyak mengomentari tentang polemik di Rempang. Baginya, pakar sudah terlalu banyak memandang. Hanya saja, ia menanggapi sikap Aliansi Pemuda Melayu yang dianggapnya gugur sebelum berperang. Belum lagi menyoal permintaan maaf mereka ke polisi dan pemerintah.
“Kita (Melayu) itu punya identitas jelas. Moyang kita itu mulutnya masin, mentalnya pedas. Sudahlah, lupakan saja soal pembatalan aksi. Bagusnya sejak awal jangan bawa nama Melayu sebab berat, yang dipikul itu atas nama bangsa,” kata Zul.
Kemudian, ia juga menyorot sikap lembaga adat dan sikap hamba rakyat kepada lembaga adat itu sendiri. Ruh dari tetua bangsa semacam dipandang sebelah mata. Rasa segan akan lembaga adat sudah mulai luntur.
“LAM (Lembaga Adat Melayu) adalah orangtua yang dituakan di setiap daerah-daerah Melayu. Ketika mereka sudah mengambil sikap, hamba rakyat mestilah taat setia. Terkait maklumat itu tidak digubris oleh pihak terkait, mereka harus dipanggil. Bak orangtua memanggil anaknya,” katanya.
LAM, baik di tingkat provinsi dan kota, berhak memanggil seluruh lini yang terlibat, tak pandang mereka itu siapa, darimana, dan jabatannya apa. Semuanya harus bertabik ke petuah adat. Dengan begitu, lanjut Zul, menunjukkan bahwa negeri ini masih bertuan. Lantas apakah maklumat dari LAM digubris oleh Wali Kota? ” tegasnya.
Zul juga menilai bahwa Kepala BP Batam, Muhammad Rudi tak salah sepenuhnya dalam polemik soal Rempang ini.
“Terlajak perahu. Sekali mulut berbunyi, apapun akibatnya mesti dinanti. Tangan mencencang, bahu memikul,” tegas Zul.
Sementara itu, polemik soal relokasi warga di pulau Rempang, masih bermunculan hingga pekan ini. Warga di sana yang menolak, juga masih berharap-harap cemas soal keberadaan kampung mereka. Deadline pengosongan tinggal hitungan hari.
Pemerintah menargetkan 28 September 2023 sebagai batas akhir pengosongan warga dari pulau Rempang untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City tersebut.
(Jun/ahm)