LIMA jam lebih, kami menyusuri hutan konservasi ini. Itu waktu yang lama sekali menurut anak pertama saya, Yodha.
Oleh: Bintoro Suryo
“Lama sekali Bah, jalannya aja kayak gitu”, kata Yodha separuh geregetan.
“Ya, Babah kan sekalian menikmati pemandangan, ini bawa Yuma dan Yura juga, kan perlu berhenti-berhenti”, kata saya berdalih.
Beberapa hari sebelumnya, Yodha sempat menyusur hutan ini bersama rekan-rekan sekolahnya. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam, masuk dan keluar.
“Trecking speed, Babah dulu juga bisa”, kata saya cari pembenaran lagi.
Ritme jalan saya sekarang, hampir mirip dengan isteri. Seperti kura-kura dan perlu berkali-kali berhenti untuk beristirahat. Usia kami memang tak muda lagi.
“1270 Mdpl, benar itu titik ketinggiannya?” tanya saya ke seorang wanita setengah baya, di ujung masuk jalan menuju hutan konservasi ini.
“Iya, ada anak-anak muda yang ukur itu dulu, trus bikin plangnya di sini”, kata sang ibu.
“Yang bener?” tanya saya ragu.
Waktu tempuh yang lama kami di dalam hutan konservasi ini, membuat kami jadi banyak mengamati lingkungan sekeliling.
Kami menemukan siput hijau pohon yang menurut penelitian merupakan hewan langka berkategori hampir punah. Penelitian menyebut hewan itu cuma ada di Pulau Manus, Papua Nugini. Siput ini hidup di pohon dan menghuni kawasan hutan hujan hingga ketinggian 112 m (367 kaki) di atas permukaan laut.
Tapi kami menemukannya di hutan hujan konservasi Mukakuning ini!
“Bah, ada katak merah lucu”, teriak isteri saya di satu tempat lain di hutan ini.
“Jangan didekati, ada racunnya”, otak saya langsung men-tracing sebuah informasi tentang hewan jenis itu bertahun-tahun lalu di kepala.
Jangan-jangan ini jenis katak merah beracun yang mendiami hutan hujan tropis. Keberadaannya sudah sangat sulit ditemui dan berkategori sangat langka.
Skip >> Bersambung.
*Belum sempat nulis lagi 😂
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel dan video ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com