NEGERI Fajar, tanah Jantan itu sudah lebih berkembang secara otonomi. Sejak dimekarkan jadi kabupaten sendiri pada 2009, pengelolaan dan pengembangan wilayah lebih terlihat.
Oleh: Bintoro Suryo
SAYA mengunjungi bandar kecil ini 20 tahun lalu dan baru kembali lagi saat ini. Sudah banyak yang berubah. Jalan-jalan di perkotaannya sudah lebih tertata rapi. Banyak berdiri usaha dan deretan rumah toko baru atau pengembangan dari yang sudah ada. Ditata lebih modern. Walau begitu, tetap menyisakan tapak dan jejak sejarah masa lalu.
Rumah tinggal warga di perkotaan yang didominasi orang Tionghoa di ruas-ruas utama, masih mempertahankan bentuk bangunan sejak didirikan leluhur mereka di sini.
Aktifitas perdagangan di pelabuhannya memang tidak seperti dulu. Saat lalu lintas kapal dan barang asing masih begitu bebas singgah dan membongkar muat barang. Tapi, kondisinya lebih tertata berkat otonomi.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2023/09/InShot_20230926_172839625-1024x576.jpg)
Bandar kecil ini memang tidak terlalu ramai bila dibandingkan Batam sekarang, misalnya. Tapi, akan menjadi sangat riuh di tiap awal tahun penanggalan China. Saat para diaspora Tionghoa yang sudah menjadikan wilayah ini sebagai kampung halaman, pulang ke sana. Mirip seperti mudik lebaran pada perayaan Idul Fitri umat muslim.
Ada kerinduan yang dalam terhadap Selatpanjang di sanubari mereka. Negeri para leluhur menapakkan kaki pertama kali di bumi Nusantara.
“Kami ini Indonesia, cinta negeri ini,” kata Aan, ketua PSMTI Selatpanjang yang kami temui.
Soal sumber daya alam, selain dikenal sebagai pemasok sagu terbesar di Indonesia karena memiliki perkebunan sagu, wilayah hasil pemekaran kabupaten Bengkalis itu ternyata mempunyai potensi pertambangan minyak bumi dan gas alam.
Ada lokasi penambangan di kawasan pulau Padang. Di kawasan ini telah beroperasi PT Kondur Petroleum S.A yakni di daerah Kurau Desa Lukit (Kecamatan Merbau). Melansir dari situs Liputan6, Perusahaan ini mampu produksi 8500 barel/hari. Selain minyak bumi, juga ada gas bumi sebesar 12 MMSCFD (juta kubik kaki per hari). Sejauh ini, aktifitas pertambangan dikelola melalui pemerintah pusat. Pemerintah daerah mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pengelolaannya.
Di sektor perkebunan, luas area tanaman sagu di kabupaten ini sekitar 44,657 hektare. Merupakan 2,98 persen luas tanaman sagu nasional. Perkebunan sagu menjadi sumber penghasilan utama hampir 20 persen masyarakat di sini.
Ada banyak turunan usaha dari aktifitas pengolahan sagu di sini. Salah satunya adalah pengolahan mie sagu melalui industri rumahan. Kami sempat menemui salah satunya.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2023/09/InShot_20230926_171934299-1024x576.jpg)
Nuraini, ibu empat anak di jalan Banglas, kota Selatpanjang. Ia mengolah tepung sagu hasil produksi setempat menjadi mie sagu yang siap diolah menjadi berbagai kuliner. Saat ini Nuraini tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (Kube) Rumbia Lestari.
Sektor perikanan ternyata juga menyimpan potensi. Walau sebagian perairan lautnya berbeda dari wilayah lain karena diliputi lumpur hasil sedimentasi, Kabupaten Meranti tercatat memiliki potensi perairan air tawar seluas 60,5 ribu hektar, sumber air payau seluas 1300 hektar dan perairan lautnya 1900 hektar (data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, pen). Total hasil tangkapan untuk sektor perikanan di sini mencapai 2.206,8 ton/tahun.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2023/09/InShot_20230926_172935138-1024x576.jpg)
“Gimana, udah selesai putar-putar?” tanya Acai saat kami singgah di toko-nya lagi.
“Belum semua, tapi rasanya cukuplah untuk sementara ini”, kata saya.
Acai kemudian mengajak kami makan di sebuah rumah makan Padang, berjarak beberapa ruko dari tempat usahanya.
“Kita makan di sini dulu, banyak yang bilang masakannya enak. Aku juga sering pesan kalau isteri sedang tak masak”, katanya ramah.
Persis di depan deretan ruko di jalan Merdeka ini, ada sebuah bangunan kantor milik pemerintah kabupaten Meranti. Kantor satuan polisi pamong praja.
“Dulu di situ sekolah China. Tapi sudah lama sekali tak beroperasi, sejak bapak aku kecil lagi”, jelas Acai.
Pada masa sebelum kemerdekaan hingga akhir dekade 1950-an, warga Tionghoa yang tinggal di Selatpanjang lazim menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Tionghoa yang terhubung langsung dengan pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Banyak warga Tionghoa di sini yang juga mengantongi dwi kewarganegaraan, Indonesia dan China, pada masa orde lama.
Seiring terbitnya aturan pemerintah Indonesia yang melarang Dwi kewarganegaraan, sekolah itu perlahan berhenti dioperasikan. Warga yang mengantongi dwi kewarganegaraan di sini juga diminta memilih salah satunya.
Ada yang memilih bertahan dengan kewarganegaraan China, kemudian kembali ke kampung halaman di daratan Tiongkok. Namun, banyak yang akhirnya menjadi warga Indonesia dan memperkaya heterogenitas budaya, kepercayaan hingga peran mereka di negeri ini.
(*)
Selesai
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com
Videography : Bintoro Suryo, Pardomuan