PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo, Kamis (6/10) bertolak menuju Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau untuk kunjungan kerja.
Pesawat Kepresidenan Indonesia-1 yang membawa Presiden Jokowi beserta rombongan bertolak dari Base Ops Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menuju Bandara Ranai, Kepulauan Natuna, pada sekitar pukul 07.00 WIB.
Selama berada di Kepulauan Natuna, Presiden Jokowi akan menyaksikan Operasi Angkasa Yudha 2016 yang digelar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam rangka HUT ke-71 TNI . Operasi Angkasa Yudha akan melibatkan 2.200 personel dan 48 unit pesawat tempur.
Dilansir dari kemendagri.go.id, ke-48 unit pesawat tempur itu berasal dari tujuh skuadron udara TNI AU, yaitu Skuadron Udara 3 TNI AU (F-16 Fighting Falcon Block 15OCU/Iswahyudi), Skuadron Udara 15 TNI AU (T50i Golden Eagle/Iswahyudi), Skuadron Udara 1 TNI AU (Hawk 109 dan 209/Pangkalan Udara TNI AU Supadio, Pontianak), dan Skuadron Udara 16 TNI AU (F-16 Fighting Falcon Block 52ID/Pangkalan Udara Utama TNI AU Rusmin Nurjadin, Pekanbaru).
Selain itu, Skuadron Udara 11 TNI AU (Sukhoi Su-27-30MKI Flankers/Pangkalan Udara Utama TNI AU Hasanuddin, Makassar) dan Skuadron Udara 21 TNI AU (EMB-314 Super Tucano/Pangkalan Udara Utama Abdulrahman Saleh, Malang).
Di Natuna, Presiden Jokowi dilaporkan juga sempat ikut dalam kokpit salah satu pesawat tempur milik TNI.
Operasi Angkasa Yudha 2016 digelar di Lanud Ranai, Natuna, kemarin (7/10). Unjuk kekuatan di tengah suhu panas politik luar negeri di Laut Cina Selatan ini sebagai rangkaian akhir dari latihan Angkasa Yudha 2016 oleh TNI AU, yang dilakukan berselang hanya sehari dari HUT ke-71 TNI.
Kegiatan tersebut juga melibatkan 4 pesawat tanpa awak (drone) yang digunakan sebagai sasaran tembak rudal dan pemantauan sasaran dari udara.
Pesawat tempur yang dikerahkan TNI AU dalam latihan puncak tersebut mensimulasikan pertempuran di udara.
Selain itu, pesawat tempur yang didatangkan dari berbagai skuadron di seluruh Indonesia tersebut mempertontonkan penghancuran target dari udara.
Selain memamerkan kemampuan tempur dari pesawat yang dimiliki, TNI AU melalui latihan puncak tersebut juga menampilkan sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) modern.
Di antaranya meriam Oerlikon dan rudal QW 3. Personil yang dilibatkan berjumlah sekitar dua ribu personil dari berbagai satuan di jajaran TNI AU.
Meski dilakukan di tengah krisis politik luar negeri di Laut Cina Selatan, pihak TNI menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan biasa, rutin, dan tidak ada sangkut pautnya dengan situasi yang terjadi di Laut Cina Selatan.
“Latihannya sudah berlangsung dua minggu kok,” kata Kepala Dinas Penerangan AU Marsma Jemy Tri Sonjaya, kemarin, dikutip dari JPNN.
Dia menambahkan bahwa latihan tersebut untuk menguji profesionalisme dan kesiapan prajurit TNI AU dalam menghadapi ancaman.
“Tidak ada hubungannya dengan Laut Cina Selatan,” ujarnya.
Sebelumnya, Gatot juga menyampaikan bahwa unjuk kekuatan TNI AU dalam bingkai latihan puncak tersebut tidak bersifat provokatif terkait Laut Cina Selatan.
Dia menyatakan bahwa TNI tidak akan menggelar latihan militer apapun dan dengan angkatan bersenjata negara manapun di kawasan Laut Cina Selatan.
“Sikap Indonesia adalah menjaga situasi damai dan stabil di Laut Cina Selatan. Jadi kami tidak akan melakukan kegiatan apapun yang akan meningkatkan instabilitas di kawasan itu,” tegasnya.
Hal tersebut juga dipertegas dengan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir. Menurutnya, tidak ada niatan pemerintah untuk pamer kekuatan militer kepada negara tetangga.
Latihan tersebut diakui sama saja seperti latihan militer memperingati ulang tahun TNI tahun-tahun sebelumnya.
’’Tidak benar ada upaya memberi sinyal-sinyal ke negara lain,’’ ungkapnya di Jakarta kemarin (6/10).
Terkait pemilihan lokasi, pria yang akrab disapa Tat tersebut mengaku hal tersebut memang sepenuhnya hak TNI. Dia juga yakin tidak akan ada dampak buruk dari acara tersebut.
Pasalnya, latihan tersebut dilakukan di wilayah kedaulatan Indonesia.
’’Saya rasa TNI paham benar mana wilayah yang perlu diberi latihan. Selama pelatihan militer tidak menyalahi hukum internasional atau mengganggu keamanan negara lain, semua sah-sah saja,’’ imbuhnya.
Natuna memang menjadi wilayah yang cukup sensitif dengan bagi internasional. Sebab batas luar utara Indonesia itu sering terkena kasus dimana kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok beroperasi.
Padahal, Indonesia bukanlah negara pengklaim Laut Tiongkok Selatan (LTS) seperti Filipina yang sedang bertikai dengan Tiongkok.
Sementara itu, Presiden Jokowi juga menyempatkan diri untuk meninjau pembangunan barak militer gabungan dari tiga Matra di Pulau Natuna.
Komandan Satgas Swakelola Pulau Natuna, Kolonel (Mar) Teguh Widodo mengatakan bahwa pembangunan tersebut sudah berlangsung selama sebulan. Targetnya akan siap dipakai pada Maret 2017.
“Yang membangun ini adalah 180 personil marinir. Mereka kerja seperti rayap, cepat,” Teguh di lokasi pembangunan yang terletak di Desa Setengar, Natuna. ***