KEMENTERIAN Perhubungan bakal mengupayakan implementasi penurunan harga tiket pesawat dapat berlaku sebelum musim mudik Lebaran 2019 tiba.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menekankan, penyebab utama harga tiket pesawat yang tak kunjung turun lantaran pihak maskapai yang belum menjalankan imbauan dari Kementerian Perhubungan.
Ada tiga imbauan yang dimaksud Budi, pertama mengenai penerapan surprice atau harga tertentu berjenjang, kedua tentang penurunan batas atas. Dari dua imbauan tersebut, Budi menargetkan tarif tiket pesawat bisa turun hingga 15 persen.
“Tampaknya imbauan itu tidak digubris dengan maksimal,” kata Budi usai rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (22/4) kemarin.
Sementara imbauan ketiga adalah mengenai penyediaan harga tiket berdasarkan subclas atau golongan di setiap kelas penerbangan. Misalnya untuk penerbangan utama (first class) ditetapkan subclass F dan P, yang merupakan tiket dengan harga termahal (full fare).
Begitu juga di kelas bisnis dan eksekutif dengan kode subclass J dan C (full fare). Sedang di kelas ekonomi, umumnya menggunakan kode subclass Y.
Budi pun berjanji bakal segera memanggil bos PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Lion Mentari Airlines sebagai dua pemain utama bisnis penerbangan di Indonesia. Keduanya bakal dimintai keterangan mengenai alasan penundaan penurunan tiket ini.
Tetapi, sambung Budi, pemanggilan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan pemberian sanksi, sebab pada dasarnya tidak ada aturan yang dilanggar oleh kedua perusahaan maskapai ini.
“Mereka selama ini legal, nggak salah karena itu (penentuan tarif) belum saya terapkan. Kalau surprice saya tetapkan, (kalau itu yang dinaikkan) menjadi salah. Saya tidak mau lah bicara sanksi, lembaga yang besar kalau andalkan sanksi itu tidak baik. Mekanisme kedewasaan yang ingin kami lakukan,” kata Budi.
Budi berharap pihak maskapai dapat kooperatif dengan pemerintah demi kepentingan masyarakat banyak, khususnya menyambut libur Lebaran 2019.
“Harapan saya Lebaran bisa lebih murah dengan opsi-opsi. Kalau tidak bisa tetapkan surprice, ya tarif batas atas,” tukas Budi.
Berdasarkan perkiraan Kementerian Perhubungan, total penumpang angkutan udara selama periode mudik tahun ini mencapai 5,78 juta orang atau sekitar 22,83 juta orang perkiraan total pemudik. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah pemudik angkutan udara meningkat 3,17 persen.
Meskipun jumlah penumpang angkutan udara naik, Budi memperkirakan sebagian kecil masyarakat ada yang beralih ke moda transporatasi darat. Selain karena tingginya harga tiket, beroperasinya tol Trans Jawa juga menjadi salah satu faktor.
“Angkutan udara tetap akan menjadi primadona meskipun akan bergeser karena tingginya tarif,” ujarnya.
Catatan Kementerian Perhubungan dan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), pada musim mudik Lebaran 2018, pesawat terbang menjadi moda transportasi pilihan kedua bagi pemudik.
Ketika itu, jumlah pemudik yang memakai moda ini mencapai 5,7 juta penumpang, sementara moda paling populer adalah sepeda motor dengan jumlah penumpang mencapai 6,3 juta orang.
Kinerja berdarah maskapai
Pengamat penerbangan Arista Atmajati berpendapat berbeda. Menurutnya, pemerintah saat ini lebih baik mengedukasi masyarakat ketimbang menekan maskapai.
Sebab, kebijakan korporasi yang dilakukan dengan mematok harga tiket tinggi salah satunya bertujuan untuk memperbaiki kinerja perusahaan maskapai yang keok dalam tiga tahun terakhir.
Dalam pengamatannya, maskapai Garuda berhasil mencetak pendapatan yang cukup baik ketika harga penjualan tiket berada di kisaran batas atas.
“Garuda langsung untung ketika tiketnya ada di harga tinggi, memang itu harga sebenarnya,” kata Arista dalam Republika.com.
Argumen juga datang dari Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia M Ikhsan Rosan. Menurutnya, Garuda tidak pernah menaikkan harga tiket. Persoalannya, selama beberapa tahun terakhir terjadi perang harga yang membuat maskapai berlomba-lomba menurunkan harga tiketnya.
Akibatnya, banyak masyarakat yang menganggap harga promo tersebut merupakan harga sesungguhnya tiket pesawat.
“Itu harga yang akhirnya membuat maskapai sekarang pada berdarah. Coba lihat laporan keuangan rata-rata maskapai, ada yang utuh tidak?” tandasnya.
(*)