PRESIDEN Jokowi didesak untuk mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Kalangan pengamat menyebut Perppu tersebut bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan merusak praktik ketatanegaraan yang baik.
Adapun sejumlah organisasi serikat buruh mengancam bakal menggugat peraturan anyar tersebut ke MK lantaran pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan dinilai masih merugikan posisi pekerja.
Menanggapi hal itu, Anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus seperti dilansir dari BBC Indonesia, mempersilakan kelompok buruh mengajukan gugatan uji materi. Tapi ia mengklaim Perppu ini adalah langkah lain yang sah dari perintah MK merevisi atau memperbaiki UU Cipta Kerja.
Apa saja pasal yang merugikan buruh?
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut sebagian besar pasal dalam klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja tak ada bedanya dengan UU Omnibus Law.
Di kedua undang-undang tersebut, kata Presiden KSPI, Said Iqbal, posisi buruh tetap lemah meskipun ada perubahan isi pasal.
Berikut sejumlah aturan yang dianggap merugikan kalangan pekerja :
Upah minimum kabupaten/kota tidak jelas, upah sektoral dihilangkan
Aturan soal upah tercantum di pasal 88C hingga pasal 88F Perppu Cipta Kerja. Namun, ketentuan yang mengatur upah sektoral dihilangkan, sementara upah minimum kabupaten/kota menjadi tidak jelas.
Sebab di pasal 88C ayat 2 menyebutkan, “Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota”.
Frasa “dapat”, menurut Said Iqbal, dalam bahasa hukum artinya “bisa ada atau bisa tidak” tergantung keputusan gubernur yang sedang menjabat.
KSPI, kata dia, tetap mengusulkan sedari awal agar gubernur wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota sama halnya dengan penetapan upah minimum provinsi.
Persoalan lain yang masih terkait upah ada di pasal 88D ayat 2 yang isinya, “Formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu”.
Bagi KSPI, dalam sejarah penghitungan upah di dunia tidak dikenal istilah “indeks tertentu”.
“Penentuan upah itu biasanya survei 60 item Kebutuhan Hidup Layak (KLH) atau inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi,” jelas Said Iqbal dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Minggu (01/01/2023) kemarin.
“Sedangkan indeks tertentu itu siapa yang menentukan?” sambungnya.
Yang kian membahayakan, menurut KSPI, formula penghitungan upah minimum ini rupanya bisa berubah kapan saja seperti yang dimuat di pasal 88F: “Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 88D ayat 2.
“UU itu seharusnya rigid, tidak boleh ada pengecualian. Ini jadi seenaknya saja. Perppu memberikan mandat kosong ke pemerintah bisa mengubah-ubah formula. Bagaimana ini?”
Said Iqbal menduga, pasal 88F ini ditujukan untuk melindungi beberapa perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah akibat krisis keuangan setelah dilanda pandemi Covid-19.
Tapi karena tidak spesifik menyebutkan frasa “perusahaan yang merugi” bisa dipakai untuk mengatasnamakan seluruh perusahaan. Padahal tak semua terkena dampak akibat Covid.
Pekerja alih daya tidak ada kriterianya
Pasal yang mengatur soal pekerja alih daya tertulis di pasal 64 sampai pasal 66.
Namun kata Said Iqbal, tidak diterangkan jenis pekerjaan apa saja yang boleh dilakukan oleh pekerja alih daya atau outsourcing.
KSPI mendesak pemerintah agar mengembalikan aturan pekerja alih daya ke Undang-Undang Ketenagakerjaan yang membatasi lima jenis pekerjaan yakni sopir, petugas kebersihan, sekuriti, katering, dan jasa migas pertambangan.
“Karena tidak disebutkan, makin enggak jelas. Itu artinya masih membebaskan semua jenis pekerjaan boleh dialih dayakan,” jelas Said Iqbal.
Pekerja kontrak tak ada batas waktunya
Mengenai pekerja kontrak, KPSI mengatakan tidak ada perubahan seperti yang sebelumnya tertulis di UU Omnibus Law. Di mana tak ada pasal yang menjelaskan batas waktunya.
Padahal kalau merujuk Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerja bisa dikontrak paling lama dua tahun dan diperpanjang satu tahun. Tujuan adanya jangka waktu, kata KSPI, agar ada kepastian periode pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan buruh.
“Kami menolak aturan pekerja kontrak, harus ada periodenya kalau tidak akan kontrak terus.”
Pesangon yang didapat akan lebih kecil
Tak ada perubahan soal pesangon di Perppu Cipta Kerja maupun UU Omnibus Law. Di aturan teranyar ini, pemerintah menghapus frasa “paling sedikit” yang sebelumnya tertulis di UU Ketenagakerjaan.
Akibatnya, kata Said Iqbal, pekerja tidak bisa melakukan perundingan atas pesangon yang biasanya dapat menerima besaran dua atau tiga kali lebih besar dari ketentuan sesuai kemampuan perusahaan.
Cuti panjang tak berlaku lagi
Pada UU Ketenagakerjaan ada poin khusus yang mewajibkan perusahaan memberikan cuti besar atau istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan, tapi baik di UU Omnibus Law dan Perppu Cipta Kerja ketentuan itu dihilangkan.
Pasal 79 ayat 5 Perppu Cipta Kerja menyebutkan, “Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.”
“Kami ingin aturan itu dikembalikan ke undang-undang sebelumnya.”
Ajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Said Iqbal mengatakan sejumlah organisasi buruh sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum berupa gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika langkah-langkah aksi demontrasi dan lobi ke pemerintah gagal.
Mereka, tuturnya, masih berharap pemerintah memasukkan usulan-usulan buruh dalam peraturan turunan yakni PP.
“Intinya KSPI dan kelompok buruh menolak isi Perppu yang masih jauh dari harapan dan agar bisa diubah sesuai hasil pembicaraan antara KSPI dan Kadin beberapa waktu lalu.”
“Kalau tidak, kami mengambil langkah hukum.”
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mendukung kelompok buruh melakukan gugatan uji materi jika Presiden Jokowi tak kunjung mencabut Perppu.
Karena Perppu ini, jelasnya, tidak sesuai dengan perintah MK yang memerintahkan pemerintah serta DPR untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan dibacakan.
Selain itu, alasan Perppu ini lahir lantaran kebutuhan yang mendesak untuk mempercepat antisipasi menghadapi kondisi global, resesi, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi, dianggap tidak kuat.
Menurut Feri, keluarnya Perppu ini bukti “kemalasan” pemerintah.
“Tidak ada hal yang mendesak secara ekonomi dalam konteks masyarakat secara umum. Mungkin yang mendesak adalah kepentingan investor dan pemerintah, di titik itu sudah salah,” ujar Feri.
“Harus diingat juga, perintah MK memperbaiki UU, bukan keluarkan Perppu.”
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto selaku Ketua Komite Cipta Kerja, menyebut Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja lahir karena kebutuhan yang mendesak.
Airlangga menjelaskan, tantangan geopolitik akibat konflik Ukraina dan Rusia serta konflik lainnya yang masih terjadi menyebabkan berbagai negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim sangat nyata.
Bahkan beberapa negara sedang berkembang tengah meminta bantuan pendanaan kepada International Monetary Fund (IMF) untuk menghadapi tekanan global saat ini, sambung Airlangga.
DPR: Perppu Cipta Kerja jalan lain merevisi Omnibus Law
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus, menyebut keluarnya Perppu merupakan langkah lain yang sah dari perintah MK merevisi atau memperbaiki UU Omnibus Law.
Cara pertama yang biasa dilakukan adalah melakukan revisi antara pemerintah dan DPR dengan mengirimkan daftar inventaris masalah yang selanjutnya dibahas bersama. Hanya saja, cara itu memakan waktu yang lama.
Kedua, kata Guspardi, dengan mengeluarkan Perppu.
“Karena mungkin dianggap ada yang krusial, dianggap penting, atau ada kekosongan hukum, artinya mendesak,” jelas Guspardi.
Ia juga menilai alasan yang dikemukakan pemerintah cukup logis dan wajar.
Tahun 2023, katanya, diproyeksikan terjadi krisis yang melanda dunia. Jika dilakukan revisi UU Cipta Kerja akan memakan waktu yang lama, mengingat batas waktu dua tahun yang diberikan MK.
Sementara dunia usaha dan masyarakat, sambungnya, sangat membutuhkan kepastian hukum mengantisipasi situasi serta tantangan perekonomian global yang penuh ketidakpastian.
Namun demikian, ia memahami perbedaan persepsi beberapa kalangan terhadap alasan mendesak itu. Kalaupun dinilai tidak ada kegentingan, dia mempersilakan kelompok buruh mengajukan gugatan uji materi ke MK.
Di sisi lain, mantan anggota panja RUU Cipta Kerja ini berharap DPR tidak serta merta memberikan persetujuan atas Perppu Cipta Kerja.
“DPR juga dapat menolak Perppu ini jika dianggap tidak substantif dan jauh dari yang direkomendasikan MK. Intinya kita perlu lebih teliti dan hati-hati.”
(*/ham)