KEJUTAN dilakukan oleh majalah dewasa yang identik menampilkan pose-pose vulgar wanita, Playboy.
Mendadak, majalah dewasa itu akan menampilkan model muslim yang mengenakan jilbab.
SEPERTI dilansir huffingtonpost.com ini merupakan peristiwa pertama sepanjang sejarah majalah yang sudah berusia 63 tahun itu, terhitung sejak pertama kali terbit pada 1953 silam.
Model yang ditampilkan bernama Noor Tagouri. Seorang wartawan Amerika Serikat berdarah Libya, yang bekerja untuk jaringan televisi Newsy.
Selama ini, Tagouri punya pamor bagus di media sosial. Dia kerap berbagi video blog (vlog) di YouTube. Di Instagram, dia punya lebih dari 160 ribu pengikut.
Perempuan berusia 22 itu tampil dalam edisi Playboy bertajuk “Renegades”. Tagouri akan hadir bersama sejumlah tokoh lain seperti aktivis, pelawak, dan novelis.
“Para pria dan wanita dalam edisi ini, akan mengubah cara Anda berpikir tentang bisnis, musik, pornografi, komedi, game, dan lain-lain,” demikian dikutip dari majalah playboy edisi “Renegades” tersebut.
Dalam posenya, Tagouri mengenakan jaket kulit, celana jin, sepatu kets, dan jilbab. Melalui akun Instagram-nya, Tagouri mengaku sangat tersanjung atas kesempatan berpose dan diwawancara untuk majalah dewasa itu.
Dalam wawancara dengan Playboy, Tagouri berusaha membantah stigma soal perempuan muslim yang “tertindas” dan “penurut” karena mengenakan jilbab.
“Saya tahu bagaimana rasanya disalahpahami oleh media,” ujar perempuan itu dikutip dari laman majalah tersebut. Menurut Tagouri, mengenakan jilbab, telah membantunya untuk menjaga kepercayaan.
Wawancara juga berkisar pada cita-cita Tagouri menjadi seorang pembaca berita pertama yang mengenakan jilbab di layar kaca AS. Kini, dia tengah berusaha merealisasikan mimpi itu, dengan meniti karir sebagai reporter.
Menjadi perempuan muslim plus berjilbab di lingkungan dengan banyak orang masih punya ketakutan terhadap Islam (islamofobia) bukan perkara mudah. Bagi Tagouri, hal tak mudah itu mungkin pula terjadi saat melakoni pekerjaannya sebagai reporter.
Dalam satu perbincangan dengan Washington Post, Tagouri menegaskan, jilbab yang dikenakannya tidak akan mempengaruhi objektivitas saat menjalani kerja-kerja jurnalistik.
“Jilbab di kepala saya, tidak akan membuat saya melaporkan cerita secara berbeda,” kata dia.
BERIRING hal-hal di muka, bila mengingat bahwa ide-ide rasial ala Donald Trump masih berkembang di AS, polah dan cara pikir Tagouri bak angin segar. Setidaknya, dia membalikkan argumen rasial nan menyudutkan kaum muslim.
Polemik
Di media sosial, penampilan Tagouri di Playboy justru menuai pro-kontra. Terutama di linimasa Twitter.
“Apakah Anda menyarankan saudari kita (perempuan muslim) untuk berpose di majalah Playboy atau meminta mereka untuk menahan diri? Ini sebuah keadaan yang sangat berbahaya,” tulis akun @Majstar7, mengkritik Tagouri.
Beberapa akun lain sebenarnya mengapresiasi cita-cita Tagouri, dan gagasannya soal kebebasan perempuan muslim. Namun mereka menyesalkan keputusan Tagouri bekerja sama dengan Playboy.
Pasalnya, majalah itu dianggap merendahkan dan memosisikan perempuan sebagai objek. Antara lain, lewat foto-foto perempuan berpakaian minim hingga polos.
“Saya tidak keberatan dengan wawancara Noor Tagouri, serta tujuannya melakukan itu. Saya hanya keberatan dengan platform. Dia memilih Playboy, yang dikenal suka menempatkan perempuan sebagai objek,” tulis akun @neemsayee.
Pernyataan senada juga muncul dari, Nishaat Ismail, seorang perempuan muslim yang berprofesi sebagai penulis lepas. Lewat tulisannya di The Independent, Ismail mengingatkan, Playboy selama puluhan tahun telah menentang narasi-narasi gerakan feminis di AS.
“Maafkan saya jika saya tidak ingin merayakan peristiwa ini, saat seorang perempuan berjilbab–anggota dari kelompok yang kerap difitnah dalam lingkungan sosial–membuat pilihan ‘revolusioner’ untuk bekerja sama dengan lembaga seksis yang telah merendahkan perempuan lain,” tulis Ismail.
Di sisi lain, ada pula kicauan-kicauan yang memuji foto dan wawancara Tagouri diPlayboy.
“Berani adalah bisa bernegosiasi denganPlayboy, agar tetap berpakaian lengkap, pada pokok bahasan soal politik tubuh perempuan. Itu adalah feminisme,” kata @arianadelawari. ***