PROYEK eco-city di Pulau Rempang yang kontroversial diyakini akan menguntungkan Badan Pengusahaan (BP) Batam dari sisi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP yang bisa diterima instansi pemerintahan tersebut yakni dari PNBP lahan, yakni Uang Wajib Tahunan (UWT).
Mengenai penerimaan UWT ini, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi mengatakan keseluruhan Pulau Rempang seluas 17 ribu hektare, tapi tidak semuanya bisa diuangkan menjadi UWT.
Saat ini, PT Mega Elok Graha (MEG) telah mendapat hak untuk mengelola pulau tersebut, sehingga harus membayar UWT ke BP Batam.
“Di Pulau Rempang seluas 17 ribu, yang boleh dibuka lahannya hanya seluas 7.572 hektare, itupun masih dalam proses pelepasan (status hutan lindung). Sedangan sisanya masih tetap hutan lindung. Jadi yang bisa UWT itu hanya 7.572 hektare saja,” kata Rudi saat dialog pengembangan Pulau Rempang di Hotel Harmoni One, Rabu (6/9/2023).
Lalu berapa nilai UWT yang bisa diperoleh BP Batam. Untuk mengetahui nilainya maka bisa membuka laman https://lms.bpbatam.go.id/portal/kalkulatoruwt/.
Website tersebut memuat simulasi biaya UWT untuk Batam dan sekitarnya, termasuk Pulau Rempang. Tarif UWT Rempang termasuk dalam tarif untuk “Pulau Lain Sekitar Batam”. Sementara peruntukannya yakni untuk industri. Nilai UWT untuk industri di pulau lain sekitar Batam sebesar Rp 25.400 per meter.
Untuk luas, maka harus melakukan konversi dari hektar ke meter. Luas Pulau Rempang yang bisa diambil UWT-nya sebesar 7572 hektar menurut keterangan Kepala BP Batam, Muhammad Rudi. Jika dikonversi ke meter persegi, maka menjadi 75.720.000 meter persegi.
Untuk jenis tarifnya yakni tarif alokasi lahan baru untuk 30 tahun, maka nilai UWT-nya mencapai Rp 1.923.288.000.000 (Rp 1,9 triliun).
(leo)