“Kepulauan Soebi (Subi) dan bagian barat laut dari Groot Soebi (Subi Besar) berbukit, dengan puncak tertinggi adalah bukit Poendjoeng sekitar 300 kaki. Sebagian besar wilayah Soebi adalah dasar karang yang tertutup pasir.”
…
“Dari Soebi, kami berlayar ke selatan menuju Kepulauan Serasan, yang di peta disebut Kepulauan Bajak Laut. Hanya pulau utama yang penting, walau beberapa pulau lain juga berpenghuni dan sudah dibudidayakan.” (A.L. Van Hasselt/H. J. E. F. Schwartz – De Poelau Toedjoeh In Ei Et Zuidelijk Gedeelte Der Chineeschen Zee)
Oleh: Bintoro Suryo
KEPULAUAN Subi yang menjadi tujuan selanjutnya rombongan Hasselt dan Schwartz dalam penjelajahannya di wilayah Kepulauan Tujuh, secara umum terdiri atas dua pulau, Subi Besar dan Subi Kecil. Subi Kecil termasuk dalam gugusan Pulau Natuna Selatan.
Wilayah ini lebih dekat ke Kalimantan. Tak heran, hubungan sosial dan ekonomi masyarakatnya sejak dulu, lebih banyak dilakukan ke wilayah seperti Sarawak, Sambas, Pontianak bahkan Banjarmasin.
Simak, catatan Hasselt & Schwartz pada bagian ketujuh berikut ini.
Pulau-pulau kecil di sekitar wilayah ini juga datar semua. Kecuali Seraja atau Pulau Barat, di mana sarang burung yang dapat dimakan ditemukan di celah batu dan dikelola oleh penduduk Serasan. Pulau Pandjang dan pulau-pulau kecil sekitar sudah sepenuhnya dibudidayakan dengan hutan kelapa yang luas, dengan rumah dan pondok tersebar tidak beraturan di antara pohon-pohon itu.
Batas antara kampung di sini tidak jelas. Namun ada banyak kampung yang dikenal seperti Tandjoeng Roe, Tjappa (tempat seorang orang tua tinggal), Monggok atau Pemonggok (tempat tinggal batin orang laut), Tengah, Segintjir, Lentok (tempat seorang anak raja yang mewakili pemerintahan lokal), Pian Oema (ada orang tua), Pasir Seroewang, Kapala Poelau, Soedan, Lambei, Ajer Renggoeng, Sedili, Sedina, Lepoek, dan Seboeton.
Di kampung-kampung itu, jumlah penduduknya tidak signifikan. Jumlah penduduk Melayu hanya sekitar 500 orang. Orang laut yang juga menempati dua kampung di sini, terdiri dari 24 keluarga dengan total sekitar 100 orang.
Foto yang kami ambil di kampung itu menampilkan beberapa orang laut, laki-laki, wanita, dan anak-anak, dengan batin di depan dan hakim di sampingnya.

Pada musim hujan yang normal, mereka biasanya hanya keluar dengan perahu untuk mengumpulkan hasil laut, yang hanya boleh dijual kepada radja dengan harga yang telah ditentukan. Beban pajak yang ditentukan oleh pemerintahan pribumi bagi orang laoet ini dirasa berat. Mereka sering meminta agar pajak tersebut diganti oleh pajak kepala keluarga, seperti yang dikenakan pada orang Melayu, yakni $1,50 per keluarga dan $0,75 untuk lajang.
Pendapatan radja sebagai wakil pemerintah pribumi di sini yang lain, sebagian besar harus disetorkan ke Penjingat. Seperti pajak yang berasal dari sewa tanah sebesar $1 untuk setiap kebun dengan 100 pohon kelapa, serta hasil pendapatan dari penjualan opium, $0,75 per kojan dari setiap kapal yang berlayar untuk berdagang, dan $1,20 untuk bukti bahwa kojangeld (pajak kojan) tersebut telah dibayar.
Dua pedagang Tionghoa yang mengelola toko (kedei) di Pandjang dan mempekerjakan delapan orang Tionghoa, membayar sewa tanah kepada radja sebesar $76 per tahun dan $2 untuk setiap bukti pembayaran kojangeld.
Copra (kelapa kering) adalah produk ekspor utama di sini. Tapi minyak juga diproduksi di beberapa tempat, yang membutuhkan 2 2/3 pikol copra per pikol minyak kelapa yang dihasilkan.
Makanan utama di wilayah ini adalah beras impor. Sementara sagu yang diperoleh dalam jumlah kecil, lebih dipakai sebagai camilan. Ekspor dan impor barang produk dari sini, dilakukan ke dan dari Serawak, Pontianak, Sambas serta Singapura.
SELURUH orang laut sudah Muslim. Batin di Pulau Seraja bahkan sudah haji. Namun mereka tetap terpisah dari orang negri (orang Melayu) dan punya pemakaman sendiri di dekat kampung mereka, yang juga tergambar di sini.

Ketersediaan air minum sangat terbatas di pulau-pulau datar ini. Air di sumur dangkal terasa payau dan keruh.
Di pulau kecil Sebijang, tinggal 5 keluarga, di Tjapoe 1 keluarga. Semuanya di bawah kekuasaan datoeq kaja dari Soebi. Sementara di pulau Kerdan dihuni 6 keluarga orang laut dengan kepala batin Monggok.
Di Pandjang, setiap orang tua atau orang tua adat bertindak sebagai pembantu radja dan memerintah di beberapa kampung.
Antara Soebi dan pulau Pandjang, terdapat banyak terumbu karang, sehingga kami berlayar di sisi selatan pulau Pandjang menuju Batoe Prioek, kampung utama di pantai selatan Klein Soebi. Kami tetap berada sekitar 1,5 jam mendayung dari pantai, yang kemudian ternyata tidak perlu karena orang kaja menunjukkan jalur air yang memungkinkan kapal kami mendekat hingga ke selat di antara kedua pulau Soebi. Namun, selat ini tidak dapat dilayari karena tertutup terumbu karang yang hampir muncul saat air surut.
Kepulauan Soebi dan bagian barat laut dari Groot Soebi (Subi Besar) berbukit, dengan puncak tertinggi adalah bukit Poendjoeng sekitar 300 kaki. Sebagian besar wilayah Soebi adalah dasar karang yang tertutup pasir. Di banyak tempat di wilayah ini berlumpur, sehingga cocok untuk memelihara kerbau air. Ada sekitar 30 ekor di pulau ini. Sebelumnya bahkan lebih banyak. Tapi kebanyakan mati akibat kebakaran hutan.
Penduduk di Kepulauan Subi
PENDUDUKNYA juga berkurang akhir-akhir ini. Terutama karena kematian besar-besaran. Kini hanya sekitar 500 jiwa, semuanya orang negri (Melayu). Mereka tersebar di beberapa kampung kecil di pantai. Seperti i Groot Soebi yang terdiri dari kampung-kampung penting seperti Pean Bajik, Setindik, Oedjoeng, Ajer Singkap di pantai timur; Terajak di selatan, Ajer Lingkoeng di barat serta Poendjoeng, Maliah, dan Ajer Biroeng di utara. Dari bukit mengalir beberapa sungai kecil, dengan Soengai Setindik sebagai yang terbesar.
Kampung Batoe Prioek bersama dengan kampung Tengah di sekitarnya membentuk satu kesatuan yang dikenal sebagai Perapat Besar. Kami juga melihat bahwa para wanita di sini ahli membuat tikar anyaman yang halus. Beberapa contoh diberikan kepada kami.
Selain tikar, kopra juga diekspor, serta sedikit sagoe dan ikan asin, yang semuanya dikirim ke Borneo, Serawak, dan Sambas. Dari lokasi yang sama juga beras, garam, kebutuhan sehari-hari, dan barang-barang produksi diimpor ke wilayah ini.
Tanah di wilayah Soebi ini sebenarnya kurang subur dan kurang berprospek untuk pertanian. Namun, wilayah ini punya kekayaan dari ladang mutiara di tenggara. Tapi sayang, penduduknya tidak mengeksploitasi karena kata orang kaja, warga tidak ahli menyelam di air dalam.
Beberapa penyelam kapal uap Inggris sempat memancing di sana dan Sultan Riouw-Lingga pernah mengumpulkan beberapa kerang. Tapi hasilnya tak diketahui orang kaja.
Pemerintahan Pribumi
PENGELOLAAN Kepulauan Soebi, dulu dipegang oleh dua orang kaja—yang kedua ada di Ajer Singkap—beserta beberapa penghoeloe. Tapi sekarang hanya orang kaja Batoe Prioek saja yang berkuasa.
Ia memungut pajak kepala dan pendapatannya juga dari kojangeld dan izin keluar-masuk kapal. Meski kadang hak itu diberikan sementara ke anak radja Pandjang bila dalam keadaan sulit.
Sultan Muda Siak, pewaris sah tahta, dicopot oleh pemerintah kami pada 1891. Dia masih menolak mengakui Sultan Riouw Lingga yang sekarang (Agustus 1898) dan sedang berada di Belanda. Ia mengklaim telah diperlakukan tidak adil karena kerajaannya diambil tanpa tahu alasan tuduhannya. Akhirnya dia pindah ke bawah naungan wakil raja Riouw-Lingga di Penjingat yang menyambutnya dengan baik dan menikahkan putrinya dengannya.
Saat pernikahan, pasangan tersebut mendapatkan Mahar berupa hadiah uang tunai yang, menurut orang kaja kami, untuk Poelau Toedjoeh nilainya sekitar $1000, dan bagian orang kaja sendiri sebesar $100. Karena orang kaja tidak memiliki uang tunai sebanyak itu, disepakati dengan radja Pandjang agar dia meminjamkan uang tersebut dan membayar kembali dari hasil pengeluaran izin keluar masuk kapal (uitklaringspassen). Uang pinjaman itu sudah lama tertagih, tapi radja tetap menerbitkan izin tersebut.
Radja yang sama juga memegang monopoli penjualan opium di Kepulauan Soebi.
Namun, dia tidak mendapatkan keuntungan besar karena orang kaja berhasil membatasi pemakaian opium, sehingga kini hanya enam orang saja yang masih menggunakannya. Menurut orang kaja, usahanya mengurangi konsumsi opium membawa hasil positif, karena keamanan orang dan barang yang sebelumnya kurang terjamin kini sudah cukup baik.
Di rumah penduduk, banyak ditemukan barang-barang bekas kapal karam. Tidak lama sebelumnya, kru kapal Spanyol yang karam akibat badai menginap selama tiga bulan di Batoe Prioek, dan saat musim baik tiba, mereka diantar oleh orang kaja ke Singapura.
Seorang Tionghoa dari Serawak membuka toko kecil di kampung, tapi hampir tidak bisa bertahan hidup.
Bertemu Wanita Jawa
Di sini, kami diterima di rumah kepala suku di pendopo yang dibangun untuk itu, dengan tiga anak tangga menuju ruang dalam. Saat kami duduk di sana, seorang wanita Jawa masuk dengan menangis, bercerita bahwa setahun lalu dia menikah dengan seorang pria Melayu. Juragan kapal dagang dari Pontianak, yang membawanya ke Soebi. Dia sangat tidak bahagia di tempat yang asing dan meminta bantuan kami untuk kembali ke Jawa.
Bohari, suaminya, mengiyakan cerita itu. Setelah sedikit negosiasi, ia bersedia mengabulkan keinginannya, tapi karena dia tidak punya cara membawa sang istri ke Semarang, dia meminta apakah Tidjah boleh ikut kami ke Riouw dan meminta bantuan kami melanjutkan perjalanan pulang ke kampung halamannya.
Akhirnya disepakati, dan siang itu wanita itu dibawa Bohari ke kapal. Perpisahan berlangsung tanpa masalah. Selain diberi biaya perjalanan $10, sang pria memberinya kasur dengan bantal, beras, dan buah-buahan termasuk beberapa semangka, yang di Soebi ditanam banyak dan berkualitas bagus.
Menuju Serasan
DARI Soebi, kami berlayar ke selatan menuju Kepulauan Serasan, yang di peta disebut Kepulauan Bajak Laut. Hanya pulau utama yang penting, walau beberapa pulau lain juga berpenghuni dan sudah dibudidayakan.
Serasan awalnya terdiri dari dua pulau berbukit yang kini bersambung oleh formasi terumbu karang atau kenaikan tanah. Bagian barat laut G. Kota adalah area berbatu, dihubungkan oleh tanah rawa sempit dengan bagian selatan yang lebih besar, membentuk teluk luas tapi dangkal di sebelah barat.

Di teluk itu kami berlabuh, dan pemandangan sangat indah, terutama saat mendung berat berlalu dan panorama terbuka tiba-tiba di depan mata kami. Dengan batin Teberian, kepala dari 18 keluarga orang laut di sana sebagai pemandu, kami menyusuri teluk. Setelah 1,5 jam, kami mencapai muara sungai kecil tempat Kampung Ajer Sekian berdiri.
Di kanan, kami melewati pulau-pulau bervegetasi hutan seperti Tandjoeng Selemang, Moetoes, dan Pulau Besar, di mana di baliknya terletak Perajoen Besar dan Perajoen Kecil.
Kemudian, kami melewati Pulau Semarap, yang dipisahkan oleh selat sangat sempit, yang konon bisa dilalui kapal uap, dari sebuah tanjung yang ditumbuhi kelapa bernama Serasan. Menurut legenda, Pulau Serasan adalah pulau induk tempat Serasan besar berasal.
Pulau ini naik perlahan dari laut dengan beberapa puncak bukit yang namanya tercantum di peta sketsa yang kami gambar di kapal. Di sebelah kiri ada Gunung Datoeq Gemoek, pemandangan terbuka berupa hutan kelapa luas.
Di sepanjang pantai yang ditumbuhi bakau dan terbentuk dari karang, tempat kami mendayung ke arah Gunung Pajak, tampak terikat lima prau besar dan tiga prau kecil, semua kapal dagang asal Bandjermasin, Sambas, Pontianak, dan Serawak. Beberapa prau juga diletakkan di darat di bagian jauh masuk ke dalam muara untuk diperbaiki (dikalfat).
Desa yang terletak di kedua sisi muara itu terdiri dari rumah-rumah yang tersebar, dengan rumah kedua orang kaja sebagai yang terbesar dan terindah. Rumah itu memiliki atap yang dibagi tiga memanjang (lihat gambar) dan berdampingan dengan bangunan kecil bernama balei, tempat kami diterima, yang digunakan para kepala desa sebagai ruang rapat dan pengadilan.


(*)
Bersambung
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com


