PADA 19 April 1930, tepatnya di Yogyakarta, lahirlah sebuah lembaga bernama PSSI, singkatan dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Didirikan pada zaman penjajahan Belanda, kelak PSSI menjadi lembaga naungan bagi tim sepakbola di seluruh Indonesia.
AWALNYA, PSSI dibentuk dengan motif menentang segala bentuk penjajahan di Indonesia. Visi utamanya dilakukan dengan mengumpulkan rasa nasionalisme yang dijunjung oleh para pemuda-pemudi Indonesia.
Seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo adalah sosok yang memprakarsai terbentuknya PSSI. Beliau adalah salah satu lulusan Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman pada tahun 1927 yang kembali ke tanah air pada tahun 1928.
Sekembalinya di Indonesia, Soeratin bekerja di perusahaan Sizten en Lausada milik Belanda yang berpusat di Yogyakarta, namun dalam waktu yang cukup singkat. Bermula dari hobinya bermain sepakbola, Soeratin menyadari potensi olahraga ini sebagai media yang dapat mempersatukan bangsa untuk melawan penjajah.
Kemudian, Soeratin menggelar pertemuan pribadi bersama segenap tokoh sepakbola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung demi tidak terendus oleh Belanda. Selanjutnya, terciptalah gagasan untuk membentuk organisasi yang menyatukan sepakbola di Indonesia. Beberapa tokoh pergerakan nasional yang terlibat antara lain Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A Hamid, Soekarno (bukan Bung Karno), dan lain-lain.
Sebagai pemuda yang gemar bermain sepak bola, Soeratin melihat bahwa organisasi sepak bola menjadi medium yang pas untuk mendorong pergerakan Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928. Bal-balan menjadi olahraga yang amat populer saat itu. Banyak pemuda memainkannya.
Saat pertemuan kembali digelar pada 19 April 1930, resmi berdiri PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia).
Nama PSSI ini kemudian diubah menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dalam kongres PSSI di Solo 1950.
Begitu PSSI terbentuk, Soeratin dkk segera menyusun program yang pada dasarnya “menentang” berbagai kebijakan yang diambil pemerintah Belanda melalui NIVB. PSSI melahirkan “stridij program”, yakni program perjuangan seperti yang dilakukan oleh partai dan organisasi massa yang telah ada.
Karena kekuatan dan kesatuan PSSI yang kian lama kian bertambah, akhirnya NIVB pada 1936 berubah menjadi NIVU (Nederlandsh Indische Voetbal Unie) dan mulailah dirintis kerjasama dengan PSSI. Sebagai tahap awal, NIVU mendatangkan tim dari Austria “Winner Sport Club ” pada 1936.
Ikut Piala Dunia untuk yang Pertama Kali
Berdirinya PSSI langsung diikuti dengan keikut sertaan Indonesia ikut berpartisipasi di Piala Dunia 1938 Prancis. Keinginan untuk terlibat di perhelatan akbar sepak bola dunia ini menyisakan kontroversi, mengingat kala itu Indonesia masih menjadi negara jajahan Belanda. Republik Indonesia belum berdiri.
Indonesia berlaga di turnamen ini dengan nama Dutch East Indies (Hindia Belanda) setelah lolos dari babak kualifikasi tanpa harus bertanding. Kualifikasi Zona Asia hanya diwakili oleh Indonesia dan Jepang, nama terakhir mengundurkan diri karena sedang berada dalam situasi perang dengan Cina.
Sesuai yang dikutip dari situs stay4liv diceritakan pengiriman kesebelasan Hindia Belanda bukannya tanpa hambatan. NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau Organisasi Sepak Bola Hindia-Belanda di Batavia bersitegang dengan PSSI (Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia) yang telah berdiri 19 April 1930.
PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, ingin pemain mereka yang dikirimkan. NIVU dan PSSI kemudian membuat kesepakatan pada 5 Januari 1937, salah satu butirnya yakni dilakukan pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan tim bentukan PSSI sebelum diberangkatkan ke Piala Dunia atau semacam seleksi tim.
Sayang, NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya. Konon, NIVU melakukannya karena tak mau kehilangan muka, karena PSSI masa itu memiliki tim yang kuat, termasuk kipernya yaitu R. Maladi.
Soeratin marah besar atas hal ini. PSSI lantas membatalkan secara sepihak perjanjian dengan NIVU saat Kongres PSSI di Solo pada 1938.
Ditangani pelatih Johannes van Mastenbroek, pemain kesebelasan Hindia-Belanda adalah mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda.
Sulit untuk mengetahui secara pasti daftar susunan pemain Hindia-Belanda yang ikut bertanding, mengingat ketika itu Tim Hindia-Belanda hanya melakukan satu kali pertandingan dan juga minimnya pencatatan informasi pada masa itu.
Namun yang resmi tercatat oleh FIFA adalah sebagai berikut: Mo Heng Tan (penjaga gawang), Achmad Nawir (kapten), Hong Djien Tan, Frans Meeng, Tjaak Pattiwael, Hans Taihuttu, Suvarte Soedarmadji, Anwar Sutan, Henk Sommers, Frans Hukon, dan Jack Samuels.
Sementara itu di bangku cadangan pemain-pemain yang ikut ambil bagian antara lain: J. Harting (kiper), Mo Heng Bing, Dorst, Teilherber, G. Faulhaber, R. Telwe, See Han Tan, dan G. Van den Burgh.
Skuat Hindia Belanda berangkat pada tanggal 18 Maret 1938 menggunakan Kapal MS Johan van Oldenbarnevelt dari Tandjong Priok, Batavia menuju Belanda.
Tim Hindia-Belanda pun akhirnya tiba di Pelabuhan Rotterdam setelah terombang-ambing oleh badai petir selama 3 bulan. Untuk memulihkan kondisi fisik dan mental, mereka melakukan beberapa pertandingan uji coba. Surat kabar Sin Po (yang selalu menyebut NIVU sebagai Tim Indonesia) intens melaporkan perjalanan NIVU ke Eropa.
Sin Po edisi 26 Mei 1938 memberitakan van Bommel dari NIVU telah menghadap Menteri Urusan Tanah Jajahan yang akan menerima Tim Indonesia pada 31 Mei.
Sin Po 27 Mei 1938 memberitakan hasil pertandingan Indonesia melawan HBS, skor 2-2. Edisi 28 Mei 1938, dilaporkan bahwa Mo Heng (kiper) cedera sehingga diragukan bisa tampil di Prancis, juga bahwa Tim Indonesia menyaksikan pertandingan Liga Belanda antara Heracles melawan Feyenoord.
Selanjutnya Sin Po 2 Juni 1938 melansir, Indonesia menang atas klub Haarlem dengan skor 5-3. Mereka bermain dengan formasi 2-2-6, sebuah strategi yang berorientasi menyerang.
Strategi inilah yang telah mereka siapkan untuk melawan Hongaria, lawan pertama mereka, yang begitu dijagokan di Piala Dunia 1938. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju Paris dengan kereta api diiringi oleh yel-yel dari sekelompok suporter, antara lain nyanyian “Kora kora, nee” yang mirip dengan nyanyian “Ole, ole, ole” yang populer sekarang ini.
5 Juni 1938, pukul 17.00 waktu setempat, tibalah saatnya pertandingan antara Hongaria dan Hindia-Belanda. Pertandingan berlangsung di Velodrome Municipal di kota Reims, 129 km dari Paris, dihadiri oleh sekitar 9.000 penonton dan wartawan dari 27 negara berbeda.
Sebelum kick-off, para pemain Hindia-Belanda lupa melakukan kegiatan ritual mereka, seperti Mo sang kiper yang lupa menepuk-nepuk kedua tiang gawang, dan si gelandang kidal “Boedie,” yang melupakan kebiasaannya membulat-bulatkan rumput lapangan dengan jarinya terus menerus sampai berair, dan menghirupnya.
Mereka pun bermain dengan formasi menyerang 2-2-6, namun tak bisa berbuat banyak. Baru 13 menit permainan berjalan, gawang Mo Heng sudah berhasil dibobol penyerang Hongaria Vilmos Kohut. Disusul gol-gol lainnya di menit 15, 28, dan 35.
Babak pertama berakhir 4-0, namun dua gol lagi berhasil disarangkan pemain Hongaria ke gawang Hindia-Belanda yang menjadikan skor akhir 6-0. Tim NIVU harus menyudahi petualangan di World Cup lebih dini, karena turnamen akbar garapan FIFA kala itu menggunakan sistem format knock-out.
Sepakbola Indonesia Paska Soeratin
Perjalanan PSSI tidak selalu mulus. Masuknya Jepang ke Indonesia menyebabkan PSSI menjadi pasif dalam berkompetisi, dijadikan sebagai bagian dari badan keolahragaan yang dibentuk Jepang. Baru setelah kemerdekaan Indonesia, PSSI kembali otonom dan aktif dalam mengembangkan sepak bola nasional.
Baru setelah kemerdekaan Indonesia, PSSI kembali otonom dan aktif dalam mengembangkan sepak bola nasional.
Soeratin sendiri mengakhiri tugasnya di PSSI sejak 1942, setelah sempat menjadi ketua kehormatan antara 1940-1941, dan terpilih kembali pada 1942.
Paska Soeratin ajang sepakbola nasional ini terus berkembang walaupun perkembangan dunia persepakbolaan Indonesia ini mengalami pasang surut dalam kualitas pemain, kompetisi dan organisasinya. Akan tetapi olahraga yang dapat diterima di semua lapisan masyarakat ini tetap bertahan apapun kondisinya.
PSSI sebagai induk dari sepakbola nasional ini memang telah berupaya membina timnas dengan baik, menghabiskan dana milyaran rupiah, walaupun hasil yang diperoleh masih kurang menggembirakan.
Padahal di era sebelum tahun 70-an, banyak pemain Indonesia yang bisa bersaing di tingkat internasional sebut saja era Ramang dan Tan Liong Houw, kemudian era Sucipto Suntoro dan belakangan era Ronny Pattinasarani. Dalam perkembangannya PSSI sekarang ini telah memperluas jenis kompetisi dan pertandingan yang dinaunginya.
Seperti tertuang dalam Statua PSSI Pasal 4 ayat 1 dan 2, berikut fungsi dan tugas PSSI:
Fungsi PSSI bertujuan untuk:
- Mengembangkan dan mempromosikan sepak bola secara terus-menerus, mengatur dan mengawasinya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semangat fair play, kesatuan, pendidikan, budaya dan nilai-nilai kemanusiaan terutama melalui program pengembangan pemain usia muda.
- Menyelenggarakan kompetisi sepak bola dengan segala bentuk pada tingkat nasional, dengan menentukan dengan tepat, sebagaimana dibutuhkan, wilayah kewenangan yang diakui dari pelbagai kompetisi yang dibentuk.
- Menyusun peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan serta memastikan penegakannya. Mematuhi dan mencegah segala pelanggaran Statuta, peraturan-peraturan, instruksi-instruksi dan keputusan FIFA, AFC dan PSSI serta Laws of the Game dan memastikan bahwa seluruh hal tersebut dipatuhi oleh seluruh anggota.
- Mencegah semua metode atau praktek yang dapat membahayakan integritas pertandingan atau kompetisi atau menyebabkan penyalahgunaan dari sepak bola.
- Mengendalikan dan mengawasi semua bentuk pertandingan Sepak Bola yang berlangsung di dalam wilayah PSSI.
- Memelihara hubungan internasional di bidang olahraga yang berhubungan dengan sepak bola dalam segala bentuk.
- Menjadi tuan rumah bagi kompetisi pada level internasional dan level-level lainnya.
Tugas PSSI
- Mengatur dan mengoordinasikan seluruh kompetisi dan turnamen, baik pada tingkat nasional maupun pertandingan-pertandingan lainnya yang diselenggarakan di Indonesia.
- Membentuk tim nasional yang berkualitas dan berprestasi baik pada pertandingan regional maupun internasional.
- Mengembangkan konsep sepak bola yang maju, modern dan profesional dan mencegah segala tindakan yang akan merusak nilai-nilai sportivitas dan prinsip fair play.
- Melakukan segala upaya untuk mencegah serta menentang penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dalam persepakbolaan nasional.
- Mencari sumber-sumber pendanaan yang sah untuk menunjang program kerja dan melindungi semua hak komersial dan inventaris yang merupakan aset milik PSSI.
(ham/dha)
Sumber : PSSI, bola.com, Kompas, berbagai sumber