GELOMBANG pengunduran diri (resign) dari pekerja Amerika Serikat (AS) semakin meningkat. Pada bulan Februari 2022 lalu, jumlah pekerja yang berhenti kerja bahkan mencapai 4,4 juta. Angkanya naik tipis dari bulan sebelumnya, meskipun masih di bawah rekor tertingginya 4,5 juta orang pada November 2021.
Dikutip dari CNN Business, Rabu (30/3/2022), pengunduran diri (resign) itu banyak terjadi di sektor ritel, manufaktur, dan pendidikan. Hanya segelintir orang yang berhenti bekerja dari industri keuangan dan asuransi.
Survei Biro Statistik Tenaga Kerja AS menyebutkan sebetulnya pada Februari 2022, lapangan kerja yang tersedia sebanyak 11,3 juta lowongan. Angka tersebut lebih banyak dari yang diperkirakan ekonom sebelumnya. Namun, masih lebih rendah dari posisi Desember 2021 lalu, yakni 11,4 juta lowongan kerja.
Kepala Ekonom Internasional di ING, james Knightley, menyebutkan bursa tenaga kerja AS mulai pulih dibandingkan awal-awal pandemi Covid-19, di mana lebih dari 20 juta orang Amerika kehilangan pekerjaan mereka.
Namun, tetap saja terdapat kekurangan pasokan tenaga kerja untuk mengisi setiap pekerjaan yang ada. Kekurangan pasokan tenaga kerja, kata Knightley, membuat bisnis di AS ngos-ngosan mencari orang, meskipun perusahaan-perusahaan berlomba-lomba menawarkan upah yang lebih tinggi.
Faktanya, rata-rata upah kerja telah naik yang mendukung belanja atau konsumsi masyarakat di tengah inflasi yang merajalela.
“Di ekonomi sektor jasa, biaya terbesar adalah tenaga kerja. Karenanya, inflasi dari sektor jasa akan tetap tinggi dan berlangsung lebih lama karena perusahaan membebankan biaya yang lebih tinggi kepada pelanggan mereka,” terang Knightley.
Namun, data dari The Conference Board menunjukkan bahwa banyak pekerja yang berhenti dan beralih ke pekerjaan dengan gaji atau tunjangan yang lebih baik. Ini artinya, mereka tidak benar-benar berhenti bekerja.
Buktinya, indeks kepercayaan konsumen di AS pada Maret 2022 berdetak lebih tinggi dibanding awal tahun. “Ini tanda yang menjanjikan bahwa ekonomi terus tumbuh dalam tiga bulan pertama tahun ini,” jelas Direktur The Conference Board, Lynn Franco.
Kendati demikian, dia mengingatkan awan gelap masih menyelimuti karena tingginya indeks harga konsumen, dan dampak perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada harga bensin di SPBU-SPBU di Amerika.
(*)
sumber: CNN Indonesia.com


