PADA 15 Oktober 1963, Pemerintah Republik Indonesia menghapus penggunaan mata uang dollar Malaya-Singapura di Tanjung Pinang, Tanjung balai Karimun, Tanjung Batu atau Kawasan kepulauan Riau secara Umum.
PENGHAPUSAN ini sejalan dengan pemutusan hubungan bilateral oleh pemerintah pusat dengan Malaysia dan Singapura sebagai dampak konfrontasi dengan Malaysia. Pada hari itu untuk pertama kalinya uang Rupiah Kepulauan (uang KR.Rp) mulai beredar di Tanjungpinang sebagai “uang transisi” yang perlahan-lahan mengganti fungsi Stratit Dollar Malaya atau uang dollar sebagai alat pembayaran yang sah.
Sepuluh bulan kemudian, tanggal 1 Juli 1964 keluarnya surat Keputusan Presiden RI No. 3 tahun 1964, tentang penghentian penggunaan uang KR. Rp dan dimulainya penggunaan mata uang Rupiah seperti yang digunakan pada daerah lain di Indonesia. Kurs 1 $ Malaya-Singapura pada waktu itu diperkirakan sama dengan Rp. 3 Penghapusan mata uang Dollar ini seperti “merampas” kemakmuran masyarakat kota Tanjung Pinang atau kawasan Kepulauan Riau yang dampaknya terasa hingga sekarang.
Sudah tidak rahasia lagi setelah proklamasi kemerdekaan 1945 bahkan sebelumnya, Tanjungpinang adalah satu-satunya daerah yang paling makmur di Indonesia. Karena letak geografisnya dan pertimbangan ekonominya ini jugalah, pemerintah Republik Indonesia khusus menetapkan Tanjungpinang atau kawasan kepri secara umum sebagai daerah dollar (dollargebied); melanjutkan “tradisi” yang telah berlangsung sejak zaman Belanda.
Menengok kemakmuran Tanjung Pinang pada masa Dollar itu diukur dari kemampuan masyarakatnya membeli barang-barang mewah luar negeri waktu itu. Berdasarkan data sejarah 40% penduduk Tanjung Pinang tahun 1953 mempunyai pesawat penerima radio.
Setiap orang mempunyai jam tangan Rolex asli, setiap rumah di kota mempunyai sepeda merk Raleigh dan dikatakan juga setiap warga punya kemampuan membeli kamera merk Zeisikon yang terkenal pada tahun 50-an.
Pada zaman Dollar itu, gaji Pegawai di Tanjung Pinang berbeda dengan daerah lain. Selain beda, juga gaji dibayar dengan dollar. Gaji terendah kisaran $ 150 atau Rp. 450. Gaji yang sangat cukup untuk hidup bermewah-mewahan bagi para bujang dan gadis waktu itu.
Gaji itu jauh sangat tinggi bila dibandingkan dengan gaji pegawai pemerintah/guru di tempat lain di Indonesia tahun 50-an yang hanya puluhan Rupiah saja.
Akibatnya, Tanjungpinang menjadi incaran pegawai-pegawai pemerintah dari daerah lain. Terutama mereka yang akan memasuki masa pensiun. Karena tergiur gaji sebulan dan pensiun dibayar dengan uang dollar yang kemudian apabila dikurs-kan ke rupiah menjadi berkali lipat.
Pada zaman itu pejabat di lingkungan pemerintahan yang bertugas di Tanjung Pinang sudah terbiasa mengisap rokok merk Maspero yang diimport dari Jerman atau State Express 555 (rokok tiga lima) asal Inggris. Paling rendah, para pegawai dari golongan pejabat ini menyimpan sekotak rokok Player Navy Cut Cigarettes buatan Amerika di kantong celananya.
Sebagai pembanding, di pulau Jawa ketika itu, rokok-rokok merek Maspero dan State Ezpress (555), hanya dapat dikonsumsi oleh pejabat sekelas menteri, anggota parlemen, dan pengusaha kaya atau sederajat dengan itu. “Manis” nya kehidupan di Tanjung Pinang ini juga dirasakan oleh para kuli pelabuhan.
Cerita Paman saya ketika dia merantau dari Bukittinggi ke Tanjung Pinang yang memakan perjalanan hampir dua minggu untuk sampai ke Tanjung Pinang melalui Pekanbaru melintasi sungai Siak dengan kapal kayu kapal dagang milik warga Tionghoa, pekerjaan pertama dilakoninya adalah menjadi kuli. Upah dalam sehari waktu itu bisa membeli baju kaus cap angsa (swan) setiap hari.
Pagi hari dibeli, dan pada petang hari setelah basah karena peluh langsung dibuang. Rokoknya adalah rokok import merek Herald asal Amerika. Bahkan dari Upah itu dia bisa membeli tanah, membangun rumah dan akhirnya menjadi pengusaha.
Sejak bergantinya Dollar ke Rupiah, inilah awal kemerosotan ekonomi dan perekonomian masyarakat di Tanjungpinang atau Kawasan Kepulauan Riau secara umum. Kawasan Kepulauan Riau kemudian menjadi wilayah Provinsi Riau, tahun 70-an hingga 90-an kawasan kepulauan Riau identik dengan judi dan protistusi serta penyelundupan.
Pasang surut ekonomi membuat kawasan Kepulauan Riau jauh tertinggal dari daerah lain, bahkan dari induknya provinsi Riau. Kepulauan Riau yang kaya akan tambang mineral, minyak dan gas dijadikan “sapi perah” pusat dan daerah.
Di era reformasi, 22 September 2002 Kepulauan Riau resmi memisahkan diri dari Provinsi Riau. Perekonomian di kawasan ini mulai tumbuh.
Pulau Batam yang dulu hanya pulau tak berpenghuni, justeru menjadi ikon baru perekonomian di Kawasan ini, jauh meninggalkan Tanjung Pinang sebagai ibukota provinsi.
Ya, Tanjung Pinang kini, tentu tidak sama lagi dengan zaman dulu. Walau kita tidak mampu lagi bermewah-mewah, setidaknya jangan sampai kehilangan marwah!
(*)
Sumber : © Aswandi Syahri Syarbaini via Tanjoengpinang Jadoel - Facebook