DIREKTUR Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, memperkirakan beberapa komoditas energi di Indonesia akan semakin mahal imbas kenaikan harga minyak dunia.
Kondisi ini tak terlepas dari kebijakan Uni Eropa (UE) yang melarang impor minyak Rusia, sehingga membuat harga minyak Brent akan semakin terkerek.
Bahkan Badan Informasi Energi (Energy Information Administration/EIA) Amerika Serikat (AS) memprediksi harganya bisa mencapai US$ 107 per barel pada kuartal II-2022.
“Karena sebagian besar kebutuhan konsumsi minyak kita itu dari impor, otomatis direspons oleh besarnya kenaikan harga. Kalau misalnya US$ 107 per barel ini berlangsung lama lebih dari 1-2 bulan, konsekuensinya adalah ada penyesuaian harga atau kenaikan,” kata Tauhid saat dihubungi, Rabu (11/5/2022).
Kenaikan komoditas energi yang dimaksud seperti BBM, LPG, hingga tarif listrik. “Kalau enggak (naik), otomatis Pertamina dan PLN sebagai pengelola akan menanggung biaya keekonomian yang lebih tinggi,” tuturnya.
Tidak hanya itu, kenaikan harga minyak dunia bisa mempengaruhi ke produk turunan seperti biaya transportasi dan harga pangan secara keseluruhan. Hal ini tentu saja yang akan merasakan dampaknya adalah masyarakat menengah bawah.
“Pasti inflasinya akan naik, otomatis garis kemiskinannya meningkat. Orang yang sedikit di atas itu akan turun ke garis kemiskinan,” tuturnya.
Di sisi lain, berkahnya buat negara adalah kenaikan harga minyak mendorong penerimaan negara. Meski begitu, belanja negara juga akan semakin tinggi terutama untuk menambal subsidi energi.
“Ada windfall dari penerimaan negara kita karena kita juga mengeskpor BBM jenis tertentu dan kita mendapat penerimaan negara dari sumber migas maupun PNBP. Besarannya akan fluktuatif,” imbuhnya.
(*)
sumber: detik.com