Parlementaria
DPRD Kepri Meminta Pemerintah Pusat Segera Revisi UU Cipta Kerja
SEJAK Undang-Undang (UU) Cipta Kerja muncul, banyak terdapat pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat Kepri. Menyikapi hal tersebut, DPRD Kepri berupaya meminta agar undang-undang tersebut segera direvisi, supaya lebih ramah dengan kehidupan di provinsi kepulauan ini.
“UU Ciptaker ini sudah menjadi isu nasional. Niatnya baik karena bagaimana menyederhanakan undang-undang yang begitu banyak (Omnibus Law), sehingga bisa lebih progresif. Namun undang-undang ini mendapat tantangan dari masyarakat,” kata Wakil Ketua II DPRD Kepri, Raden Hari Tjahyono di Batam Centre, Kamis (10/11).
Raden mengungkapkan UU Cipta Kerja dalam tataran implementasi di lapangan, ternyata banyak merugikan masyarakat. “Ada Judicial Review dari Mahkamah Agung, bahwa undang-undang ini harus diperbaiki minimal 2 tahun,” jelasnya.
Adapun kerugian yang sangat berdampak pada masyarakat yakni terkait hak-hak pekerja, misalnya terkait dengan kenaikan upah. “Niatnya benar, agar investasi mudah. Meski semua dipermudah, tapi jangan lupa banyak masyarakat Indonesia khususnya di Batam ini mayoritas pekerja,” ungkapnya.
Selanjutnya, kehadiran UU Cipta Kerja juga merugikan pemerintah daerah. Pasalnya, karena undang-undang ini, sebagian besar perizinan di daerah ditarik ke pusat. “Contohnya perizinan kapal-kapal ikan yang harus ke pusat, padahal sebelumnya ke daerah,” katanya lagi.
Dampak yang dirasakan kurang baik bagi pemasukan asli daerah. Selanjutnya, terkait retribusi labuh jangkar, dimana hingga saat ini masih berada di tangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
“Sudah jelas bahwa 0-12 mil laut itu kewenangan provinsi atau kabupaten kota. Tapi sudah diluncurkan, dan ternyata dibatalkan sepihak dari Kemenhub. Padahal mayoritas di Kepri ini adalah laut, kapal lalu lalang, dan parkir tempat kita. Tapi, retribusi tidak masuk ke pendapatan asli daerah (PAD) Kepri,” ungkapnya.
Beberapa waktu lalu, DPRD Kepri sempat memberikan target untuk retribusi labuh jangkar, sebesar Rp 200 miliar. Tapi karena polemik tarik menarik kewenangan yang belum usai, tidak ada sepeserpun yang masuk ke kantong daerah.
Selanjutnya mengenai penangkapan terukur di lautan Kepri, dimana pengawasannya sangat sulit, serta batas yang jelas belum diatur. “Biaya operasional tinggi, jadi sangat sulit sekali untuk mengawasi lautan Kepri yang luas. Akibatnya, sangat rawan sekali terjadi bentrokan antara nelayan lokal dan asing,” jelasnya.
Dalam UU Cipta Kerja, tampaknya belum mengatur secara detail mengenai hal tersebut. “Banyak kerugian yang terjadi karena UU Cipta Kerja ini,” imbuhnya.
Untuk saat ini, ia berharap agar UU Cipta Kerja direvisi oleh pemerintah pusat. “Agar ramah ke kabupaten dan Provinsi Kepri. Kepri ini terdiri dari lautan, jangan disamakan dengan provinsi daratan. Perlu keadilan disana, agar merata kue pembangunan,” ungkapnya.
“Semangat otonomi daerah bisa menjadi semu nanti, karena semua kewenangan daerah diambil pemerintah pusat. Saya harap hal ini bisa dipikirkan serius, agar tumbuh kebersamaan,” pungkasnya (leo).