Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mencabut aturan kontroversial yang melarang penggunaan jilbab bagi anggota perempuan pasukan pengibar bendera pusaka pada perayaan hari kemerdekaan Indonesia, menyusul banyaknya kecaman terhadap kebijakan tersebut.
Aturan tersebut, yang dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), organisasi pemerintah yang menaungi pasukan pengibar bendera pusaka, atau Paskibraka, mengatur para anggota perempuan untuk tidak berhijab pada saat pengukuhan dan ketika bertugas sebagai pengibar bendera pada saat perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 20024, dengan alasan keseragaman.
Jokowi pada Rabu mencabut perintah tersebut, dan mengizinkan anggota Paskibraka untuk mengenakan hijab saat mereka bertugas pada 17 Agustus, di mana untuk pertama kalinya perayaan dilakukan di Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur selain di Jakarta.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan bahwa Presiden Jokowi berpesan untuk menghormati keyakinan anggota Paskibraka saat bertugas dalam perayaan HUT RI ke -79 itu.
“Kalau dari Pak Presiden adalah bagaimana upaya kita untuk menghormati keyakinan dari para peserta, saya pikir itu yang perlu dipikirkan,” kata Moeldoko di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (15/8).
Kontroversi hijab ini mencuat saat upacara pengukuhan Paskibraka oleh Presiden di IKN pada Selasa (13/8), di mana pada saat itu tidak ada seorang pun dari 38 anggotanya yang perempuan tampak berhijab, walaupun diketahui bahwa 18 anggotanya mengenakan jilbab.
Dari sana diketahui bahwa BPIP, walaupun membebaskan para anggota Paskibraka berhijab, namun mensyaratkan pelepasan hijab pada dua acara yaitu pengukuhan dan pengibaran bendera.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2024/08/89676a4f-b1f2-43e3-918a-07a8f9b3ac51.png)
Merespons polemik tersebut, BPIP pada Kamis (15/8) meminta maaf kepada publik atas kebijakannya itu.
“BPIP juga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia atas pemberitaan yang berkembang terkait dengan berita pelepasan jilbab bagi Paskibraka putri tingkat pusat tahun 2024.”
Dalam pernyataan tertulisnya tersebut, BPIP menegaskan bahwa Paskibraka putri yang mengenakan jilbab dapat bertugas tanpa melepaskan jilbabnya dalam pengibaran Sang Saka Merah Putih pada peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia.
Sehari sebelumnya, Ketua BPIP, Yudian Wahyudi, mengatakan bahwa tidak ada pemaksaan pelepasan hijab bagi anggota Paskibraka. Kesemuanya itu adalah atas dasar sukarela.
Ia mengatakan bahwa saat seleksi para peserta Paskibraka telah menandatangani persetujuan bermaterai yang mensyaratkan bahwa pada saat pengukuhan dan upacara pengibaran Sang Merah Putih dalam Upacara Kenegaraan peserta harus mengenakan seragam yang ditentukan yaitu tanpa hijab. Di luar itu mereka bebas berjilbab.
“Indonesia telah memiliki tradisi kenegaraan dalam pelaksanaan setiap upacara Peringatan Kemerdekan RI sejak Indonesia merdeka yang dirancang langsung oleh Presiden Sukarno. Tradisi kenegaraan tersebut meliputi juga Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) …,” demikian Yudian dalam keterangan persnya, Rabu (14/8).
“Sejak awal berdirinya Paskibraka telah dirancang seragam beserta atributnya yang memiliki makna Bhineka Tunggal Ika,” ucap dia.
Persatuan Alumni Paskibraka Indonesia menyatakan, aturan larangan berjilbab itu tidak ada pada tahun-tahun sebelumnya.
“Tahun-tahun sebelumnya tidak ada aturan seperti itu,” kata Irwan Indra, Wakil Sekretaris Jenderal Persatu Paskibraka, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu.
“Tahun 2022, Paskibraka berada di bawah BPIP. Sebelumnya, di bawah Kemenpora. Saya pernah menjadi pelatih tim Paskibraka nasional dari tahun 2016 hingga 2021, saat masih di bawah naungan Kementerian,” ujarnya.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2024/08/dccf5137-5686-4566-8b1e-cb2836a6f092.jpeg)
Bagi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, pelarangan jilbab bertentangan dengan prinsip negara Bhinneka Tunggal Ika. Negara seharusnya mendukung dan menghargai keberagaman, termasuk ekspresi fisik identitas agama, katanya.
“Meski hanya untuk dua momen, yaitu pas pengukuhan dan pengibaran bendera 17 Agustus, apa yang ‘Bhinneka’ dari larangan memakai jilbab? Jangan bawa-bawa Soekarno. Kalau Beliau masih ada, pasti tidak akan membiarkan adanya larangan nasionalisme yang sempit seperti itu,” ucap Usman.
Pengamat politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Muhammad Qobidl Ainul Arif, mengatakan kebijakan kontroversial BPIP tersebut semakin menunjukkan perspektif lembaga tersebut yang berjarak dengan peran agama di ranah publik.
“Saya analisis, sedang ada upaya men-drive Pancasila sebagai ideologi yang lebih ramah atau lebih dekat kepada nilai-nilai sekularisme,” kata Arif kepada BenarNews.
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Ma’mun Murod mengatakan bahwa pelarangan anggota Paskibra memakai jilbab itu pertanda di BPIP yang notabene lembaga yang mengawal Pancasila belum selesai dengan dirinya, dalam konteks pemahaman ideologi tersebut.
“Apalagi ketika mengklarifikasi kasus ini kata yang muncul dari BPIP ialah penyeragaman, ini semakin tidak dipahami dalam konteks Pancasila,” kata Ma’mun kepada BenarNews.
Menurut dia, Pancasila meniscayakan perbedaan, namun tetap dalam bingkai kebinekaan, dan tidak menjadi disintegrasi.
Al Chaidar, Anthropolog Universitas Malikussaleh di Aceh, mengatakan bahwa ada arus Islamophobia yang semakin deras di tubuh pemerintah Indonesia yang memicu kebijakan larangan jilbab bagi tim Paskibraka.
“Mereka (pejabat elit) sekuler merasa terganggu simbolis power yang dipancarkan oleh fashion hijab,” kata Chaidar kepada BenarNews, Kamis (15/8).
“Jilbab atau hijab memang hanya tampilan esoteris saja. Namun di balik itu ada symbolic power yang sangat kuat!”
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2024/08/2644373f-0419-4c6f-a0a3-7461c328d868.jpeg)
Namun, pandangan berbeda datang dari Ahmad Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, yang mengatakan bahwa jilbab bukan lagi persoalan agama tapi lebih kepada soal politik.
“Ia soal politik, kepongahan, dan kedunguan massal. Tidak ustad, tidak politisi, tidak juga dosen yang cari perhatian. Pokoknya kalau urusan jilbab bela dulu. Yang lain urusan belakangan, kata Luthfi di laman Facebook-nya.
Dia menambahkan bahwa pelarangan jilbab tidak berbeda dengan upaya mewajibkan perempuan untuk menutup kepalanya, dan hal itu menghalangi kaum perempuan berkompetisi secara adil dan setara di dunia normal.
“Yang sok aktivis, mengaitkan jilbab dengan kebebasan berekspresi dan hak dasar yang dilindungi konstitusi. Mereka gak pernah berpikir bahwa mewajibkan jilbab kepada para perempuan sama saja menghalangi mereka berkompetisi secara fair di dunia normal,” kata dia.
“Dunia normal adalah dunia tanpa jilbab. Jilbab adalah pakaian agama. Kalau mau bersaing di dunia normal, ya harus ikut aturan normal. Jangan mengubah aturan! Jangan bicara tentang kebebasan pada diskriminasi yang engkau buat sendiri!”