Khas
Kepri Tidak Masuk 10 Besar Tujuan Favorit Investor Asing, Kalah Bersaing di Sumatera

KEPRI masih berada di luar 10 besar tujuan favorit investasi asing maupun lokal di Indonesia berdasarkan rilis terakhir Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk 2022. Kepri duduk di peringkat 13 untuk investasi penanaman modal asing (PMA) dan di peringkat 23 untuk investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Adapun realisasi investasi PMA sebesar US$ 934 juta dolar dari 2.144 proyek. Sebagai provinsi yang memiliki banyak kawasan Free Trade Zone (FTZ) atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB), Kepri kalah bersaing di level regional Sumatera.
Kepri berada di bawah Riau yang duduk di peringkat 7 (US$ 2.748,7 juta), Sumatera Utara yang berada di peringkat 9 (US$ 1.316,1 juta) dan Sumatera Selatan di peringkat 12 (US$ 1.226,3 juta).
Sementara untuk realisasi investasi PMDN di Kepri, totalnya mencapai Rp 4,8 triliun dari 3.343 proyek. Di level regional Sumatera, Kepri duduk di peringkat 3 paling bawah dari 10 provinsi, berada di bawah Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Bidang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Himpunan Kawasan Industri (HKI) Pusat, Tjaw Hioeng mengatakan hasil tersebut patut disayangkan untuk provinsi yang selalu dimanja pemerintah pusat.
“Seharusnya Kepri yang punya 3 kawasan FTZ Batam, Bintan dan Karimun mampu bersaing dengan daerah lainnya dalam menggaet investasi asing. Tetapi itulah kenyataan yang harus diterima, dimana Kepri harus berada di luar 10 besar tujuan realisasi investasi di Indonesia,” ungkapnya, Kamis (26/1).
Walaun nilai ekspor naik secara signifikan, ternyata tidak serta merta meningkatkan realisasi investasi. Nilai ekspor Kepri sendiri naik secara signifikan sebesar 22,9 persen dari 2021 ke 2022.
“Ada hal-hal lain yang perlu mendapat atensi khusus dari Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam, serta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) di Kepri, maupun sejumlah kebijakan yang rohnya belum selaras dengan penetapan Batam, Bintan dan Karimun sebagai kawasan FTZ,” tuturnya.
Menurut Tjaw, persoalan realisasi investasi di Kepri yang mandek ini terkait beberapa hal antara lain, permasalahan yang terjadi pada Nomor Induk Berusaha (NIB) industri berskala besar dan risiko menengah tinggi, terkait perizinan rencana detail tata ruang (RDTR, yang belum memiliki rekomendasi kesesuaian dengan kegiatan pemanfaatan ruang (KPPR).
“Sehingga investasi baik baru maupun perluasan memerlukan persetujuan teknis untuk KKPR dengan penilaian yang masih lama prosesnya, karena melibatkan beberapa instansi. Lebih lanjut lagi, persetujuan di bidang lingkungan yang merupakan perizinan selanjutnya dalam realisasi menjadi terhambat,” ungkapnya.
Selanjutnya, terkait persetujuan di bidang lingkungan khususnya PMA memang masih menjadi kewenangan pusat. Baik Kepri, khususnya Batam, Bintan dan Karimun justru tidak masuk dalam daftar penugasan yang dikeluarkan berdasarkan SK Kementerian LHK Nomor 1295/2022.
“Mari kita benahi aturan main yang jelas seperti diamanatkan dalam PP 41 tahun 2021 dan aturan percepatan penyelesaian rencana induk pengembangan KPBPB Batam Bintan dan Karimun yang masih belum rampung juga, sehingga 2023 ini Kepri bisa masuk dalam 10 besar kembali,” harapnya.
Kepri Butuh Reformasi Cara Merayu Investor
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, Rafki Rasyid mengatakan posisi Kepri yang berada di luar 10 besar memberikan citra kurang nyaman bagi pelaku usaha setempat.
“Karena investasi merupakan salah satu faktor penting yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi Kepri ke depannya. Jika saat ini posisi Kepri melorot, maka ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi kita beberapa tahun mendatang akan ikut terdampak,” ucapnya.
Meski begitu, ia menyarankan agar hati-hati dalam memperhatikan data peringkat investasi. “Karena ketika posisi Kepri melorot, maka bisa saja investasi tetap tumbuh baik namun daerah lain tumbuh lebih baik dari Kepri. Sehingga bisa mengejar posisi Kepri secara peringkat,” katanya.
Menurut Rafki, pesaing Kepri itu juga bukan hanya provinsi lain, tapi juga negara tetangga yang punya infrastruktur, fasilitas investasi juga insentif pajak yang lebih menarik. Sehingga PMA yang akan masuk ke Kepri bisa saja berubah pikiran dan lebih memili berinvestasi ke negara tetangga yang memberikan aneka penawaran menarik tadi.
“Kemudian harus diingat juga bahwa Kepri memiliki kawasan FTZ yang memang disiapkan untuk menampung investasi asing khususnya dari Singapura. Sehingga tidak heran kalau untuk realisasi PMDN Kepri berada pada peringkat 23. Sementara untuk realisasi PMA tahun 2022 yang lalu kita masih relatif lebih baik walaupun posisinya turun dari biasanya berada di 10 besar,” ucapnya.
Penurunan peringkat merupakan peringatan lampu kuning bagi Kepri. Seluruh stakeholders yang bertujuan untuk mendatangkan investasi harus melakukan evaluasi, serta merumuskan lagi langkah-langkah lebih akurat dalam menggaet investor ke Kepri khususnya PMA.
Infrastruktur harus terus ditingkatkan terutama pelabuhan dan bandara. “Insentif investasi yang saat ini ada mungkin masih kurang menarik bagi investor, maka bisa dicarikan lagi insentif apa yang dirasa menarik bagi investor. Hambatan hambatan investasi yang selama ini dikeluhkan pengusaha sebaiknya segera dibenahi, seperti masalah perizinan, energi, bahkan masalah air bersih yang masih mengalami gangguan yang mengganggu aktivitas produksi. Masalah demonstrasi juga masih dikhawatirkan oleh investor di Kepri,” paparnya.
Selanjutnya, cara merayu investor. Menurut Rafki, cara-cara konvensional dalam menarik minat investor perlu direformasi. “Saat ini butuh cara-cara yang lebih kreatif dan inovatif dalam meyakinkan investor, akibat semakin terbukanya akses informasi,” katanya lagi.
Jaringan untuk mencari investor baru juga perlu terus diperluas untuk mendapatkan jenis investasi yang lebih beragam.
“Sebagai contoh investor dari negara negara timur tengah yang saat ini perekonomiannya terus berkembang, perlu juga digaet karena mereka merupakan investor yang cukup potensial selain investor dari negara negara yang saat ini berinvestasi di Kepri,” harapnya.
Kepercayaan Investor ke Kepri Masih Tinggi
Sementara itu Gubernur Kepri, Ansar Ahmad mengatakan realisasi investasi tersebut menandakan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Kepri tetap tinggi, meskipun saat ini perekonomian dunia sedang tidak pasti pasca pandemi dan akibat perang antara Rusia dan Ukraina.
“Memang dalam kondisi seperti saat ini pasti para investor sangat berhati-hati. Namun dengan segala potensi yang kita miliki, pasti membuat investor tertarik,” ujarnya baru-baru ini.
Hal tersebut dibuktikan dengan betahnya para investor di 3 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kepri, yakni KEK Galang Batang, KEK Nongsa Digital Park, dan KEK Batam Aerotechic, ditambah ada tiga kawasan perdagangan bebas di Kepri atau Free Trade Zone (FTZ) yang meliputi Batam, Bintan, dan Karimun.
“Semangat mendorong investasi ke Kepri sudah menjadi prioritas kita sejak Awal. Berbagai diskresi dan kemudahan telah diberikan kepada calon investor melalui DPM-PTSP untuk menarik minat investasi di Kepri,” ucapnya.
Sejak 2021 hingga triwulan III tahun 2022, realisasi investasi di Kepri baik dari penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp 38,24 triliun dengan total lebih dari 10 ribu proyek.
Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kepri di tahun 2021, realisasi investasi PMA di Kepri mencapai USD USD 1.043 Juta atau Rp 15,24 Triliun dari 2.383 proyek, dan realisasi investasi PMDN senilai Rp 9,77 triliun dari 5.007 proyek.
Sedangkan untuk tahun 2022 sampai dengan triwulan III, realisasi investasi PMA senilai USD 660 juta atau Rp 9,47 triiun dari 1.286 proyek. Kemudian realisasi PMDN mencapai Rp 3,76 triliun dari 1.388 proyek.