DARI rumah pak Bakar, kami bertemu dua anak muda yang baik hati. Mereka mau mengantarkan kami menggunakan sepeda motor hingga ke pertengahan pulau. Sebuah bukit yang kini dijadikan area komplek sekolah, SMAN 22.
Oleh : Bintoro Suryo
“Kamu duluan San, saya ikuti di belakang”, kata saya ke Sania yang sudah berada di sadel sepeda motor salah satunya.
Saya bersama Edo, pemuda 18 tahun. Edo ternyata bukan warga asli pulau Pecong. Asalnya dari pulau Moro, kabupaten Karimun. Secara jarak, pulau Pecong memang lebih dekat ke wilayah kabupaten Karimun.
“Mamak suruh saya tinggal di sini, supaya bisa melanjutkan ke SMA”, kata Edo sambil mengemudi sepeda motornya.
Walau cuma pulau kecil dengan letak yang jauh dari pusat kota Batam, infrastruktur pendidikan di pulau ini terbilang lengkap. Lembaga pendidikan mulai PAUD hingga SMA sudah tersedia. Pulau Pecong menjadi sentra pendidikan bagi warga di pulau-pulau sekitarnya.
“Kita kemana ini?” tanya saya ke Edo.
“Ke sekolah, pak. Nanti bisa ketemu guru-guru. Mereka bisa jelaskan tentang pulau ni”, kata Edo, pandangannya tetap fokus ke depan.
Kami melalui jalan yang sudah disemen. Kata Edo, hampir seluruh ruas jalan di sini sudah seperti itu. Ukurannya tidak lebar, namun cukup layak dilalui oleh dua kendaraan roda dua yang berpapasan.
Di bukit yang kami tuju, berdiri komplek sekolah yang lumayan megah. Selain tiga blok gedung untuk ruang-ruang kelas, ada juga komplek perumahan guru. Komplek sekolah ini mulai dioperasikan sejak tahun 2017 lalu.
Ini tanah keluarga kami sebenarnya. Kami hibahkan untuk dibangun sekolah SMA. Biar di pulau ni ada sekolah SMA juga lah. Biar anak-anak kami bisa bersekolah di sini, tak perlu jauh-jauh ke Batam atau Karimun lagi”, kata seorang wanita pengelola kantin sekolah di sini. Ia adalah anak dari seorang tetua masyarakat di sini, pak Mahera.
“Tanah seluas ini?” tanya saya takjub.
“Iya, kami sekeluarga cuma minta agar suami bisa bekerja sebagai pegawai tata usahanya, saya bisa buka kantin di sini. Itu dah cukup lah buat kami” katanya.
Komplek SMAN 22 Batam yang berdiri di pulau Pecong ini, sekarang jadi magnet baru pulau ini. Pulau Pecong jadi sentra pendidikan lengkap, mulai PAUD hingga SLTA bagi warga pulau-pulau di sekitarnya. Siswa yang bersekolah di sini, misalnya, tidak hanya didominasi oleh anak-anak dari pulau Pecong saja.
“40 persen berasal dari pulau-pulau di sekitarnya”, kata sang Kepala SMAN 22 pulau Pecong, Selamet Munawar.
Untuk akses transportasinya menurut Selamet, pemerintah provinsi sudah menyediakan boat pancung yang berfungsi mengantar jemput para siswa yang berasal dari pulau-pulau kecil lain di sekitarnya.
“Tiap hari, pak. Pulang pergi, kita antar jemput. Gratis, itu bagian dari fasilitas pendidikan yang kita siapkan”, terang Selamet.
SMAN 22 terletak di atas bukit yang tinggi di pulau ini. Fasilitas ruang belajar hingga perumahan untuk gurunya juga terbilang lengkap. Ada satu ruang kelas yang difungsikan sebagai mushala sekolah. Ruang ini selalu ramai pada jam menjelang dan setelah shalat zuhur. Siswa-siswi muslim di sini, dibiasakan shalat zuhur secara berjamaah dan diikuti kultum yang dilakukan bergantian oleh para siswanya.
“Tidak ada istilah siswa bodoh, semua punya kelebihan. Saya berusaha mendukung mereka dengan apa yang mereka bisa”, kata Slamet Munawar soal metode pengajaran dan pendekatan ke para siswa di pulau Pecong ini.
Misalnya menurutnya, ada siswa yang punya kemampuan olahraga sepakbola dan ada turnamen yang perlu diikutinya di luar Pecong.
“Saya izinkan itu, nggak ada masalah karena itu positif untuk perkembangannya, walaupun misalnya sampai seminggu”, katanya.
Menurut Selamet Munawar, Siswa SMAN 22 Pulau Pecong, memiliki semangat untuk maju. Termasuk di bidang literasi digital. Motto yang ditanamkan ke mereka:, siap kerja, siap kuliah. Sayangnya, sinyal internet hilang timbul di Pulau Pecong. Padahal, ada tower BTS Telkomsel di pulau itu.
Walau didera banyak keterbatasan karena berada di pulau yang jauh dari keramaian, semangat para siswa di sini untuk maju juga terlihat di banyak siswa. Contohnya siswi bernama Nur’Ain. Ain, panggilannya ternyata menyenangi aktifitas pembuatan konten-konten video kreasi secara digital. Ia sudah membuat berbagai konten tentang pulau tempat kelahirannya itu, selain konten video pembelajaran sekolah.
“Ini menarik, bagus. Makin banyak informasi positif tentang pulau Pecong dibuat, publik akan semakin kenal Pecong. Ayo kita buat Pecong mendunia dengan sumberdaya dan keunggulannya”, kata saya saat diminta memberi semangat ke para siswa di sekolah ini.
Ada yang menarik juga di sekolah ini. SMAN 22 Batam yang berdiri di pulau Pecong, memiliki sanggar seni yang aktif mengangkat sei budaya lokal. Sanggar yang diisi oleh para siswa itu, rutin mengisi kegiatan tambahan sekolah. Pembinanya, dipercayakan ke seorang guru bahasa Indonesia bernama Feranica Fathanah.
“Siapa pun tamu yang berkunjung ke sekolah kami, selalu kami suguhi tarian penyambutan ini, seperti tari persembahan. Tapi ini namanya tari rengkam”, kata Fera usai para siswa membawakannya, saat kami berkunjung ke sana.
Sanggar seni di SMAN 22 Batam bernama sanggar ‘Hulubalang Laot’, nama yang sarat makna karena berhubungan dengan kisah epik masyarakat pesisir di Kepulauan Riau yang selalu bersentuhan dengan lautan.
(*)
Bersambung
Selanjutnya : Pecong Kecil, Bajak Laut dan Kisah 7 Panglima Galang – Pecong; Pucung Penanda Pulau (5 – Selesai)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com