“Saya tertarik sorgum, karena saat pertama kali dihidangkan masakan sorgum oleh tetangga saya, Maria Helan, rasanya sangat enak,” – Maria Loretha – (mongabay.co.id)
MARIA Loretha adalah perempuan tangguh yang tak pernah lelah mengajak masyarakat di Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur untuk jatuh cinta pada wata blolong.
Wata blolong adalah nama lokal untuk tanaman serelia sorgum atau sorgum.
Tak berhenti hanya menikmati rasanya, perempuan keturunan Dayak Kanayatan itu pun tak lelah bergerilya mencari sorgum hingga ke berbagai daerah di NTT. Ternyata memang benihnya susah didapat dan langka, hingga seorang teman suaminya menyarankan dia ke Desa Noba di Ile Buru.
Ternyata betul, disana Maria tertegun menyaksikan sorgum merah sedang berbulir. Dirinya lalu meminta bibit kepada seorang petani tetapi tidak diberikan saat itu.Tak hilang akal, Maria pun ke dapur dan menyelipkan uang seratus ribu rupiah kepada isteri petani tersebut, sambil berharap hati petani ini bisa luluh dan memberikan sedikit bibit sorgum.
“Betul juga, tiga hari kemudian kami ditelepon untuk datang ambil benih. Dari situ saya berjanji akan mengembangkan sorgum dan membagikannya gratis kepada para petani yang mau dan menanam wata blolong,” tutur maria seperti diceritakan di mongabay.co.id.
Maria merupakan salah satu satu orang yang mengupayakan tanaman Sorgum di bumi Nusa Tenggara. Penanaman sorgum sendiri, sebenarnya telah dikenal dengan berbagai nama di NusaTenggara Timur.
Di Flores Timur disebut jagung solo, wata blolong atau wata holot. Orang Sumba menyebutnya wataru hemu tuji tinggi ke atas dan wataru hemu kadipta menjuntai ke bawah.
Orang Timor menamakannya benwuka atau bennina. Orang Rote menyebutknya jagung rote, jagung sabu. Orang Ende menyebutnya lolo, orang Sikka menyebutnya watar, watar minten dan watar gahar. Sedangkan orang Kedang di Lembata menyebutnya watar woloq.
Sorgum memang sudah dikenal lama di bumi NTT. Tanaman Sorgum memang ditanam di hampir semua daerah lahan kering,” ungkap Maria. Sejak dirinya mengembangkan sorgum, sekarang Maria telah mengkoleksi 14 jenis sorgum yang berasal dari berbagai daerah seperti Flotim, Kupang, Sabut hingga Manggarai Barat.
FLORES Timur, Lembata, Manggarai Barat, Sumba Timur dan Ende serta daerah lain yang ada di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki banyak lahan marginal yang tidak bisa ditanami padi, jagung dan komoditas pangan lainnya, namun dapat dimanfaatkan untuk bertanam sorgum.
Kementerian Pertanian seperti dilansir beritadaerah.co.id berencana mengembangkan tanaman sorgum seluas 1.000 hektar di daerah tersebut.
“Tahun ini akan segera dikembangkan 1.000 hektar Sorgum dan pasarnya akan disiapkan juga,” ujar Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman melalui siaran pers, Selasa (5/10).
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memberikan apresiasi atas pengembangan Sorgum tersebut di lahan marginal di NTT. Masyarakat di sana juga menggunakannya sebagai pangan pokok sehingga masyarakat tidak hanya bergantung pada padi beras.
Sorgum (Sorghum bicolor) merupakan tanaman biji-bijian (serealia) yang banyak dibudidayakan di daerah beriklim panas dan kering. Sorgum bukan merupakan tanaman asli Indonesia tapi berasal dari wilayah sekitar sungai Niger di Afrika. Di Indonesia sorgum telah lama dikenal oleh petani khususnya di Jawa, NTB dan NTT. Di Jawa sorgum dikenal dengan nama Cantel, sering ditanam oleh petani sebagai tanaman sela atau tumpang sari dengan tanaman lainnya.
Maria Loretha yang merupakan penggagas dan pendamping budidaya sorgum mengaku siap mengembangkan sorgum tersebut. Menurutnya, di Flores Timur, Lembata, Manggarai Barat, Sumba Timur dan Ende serta daerah lain di NTT tersedia banyak lahan marginal yang cocok untuk tanaman sorgum yang nilai gizinya lebih tinggi dibandingkan beras dan jagung.
“Sorgum yang kami kembangkan sampai saat ini tidak menggunakan pupuk tapi menggunakan air alami saja.”
“Air tersebut membawa unsur hara alami yang menyuburkan lahan dan untuk kebutuhan tanaman. Padahal lahan itu sudah ditanami sorgum berkali-kali,” ujarnya.
Saat ini luas lahan yang dikembangkan untuk sorgum mencapai 102 hektar yang tersebar di Flores Timur, Lembata, Manggara Barat, Sumba Timur dan Ende. Harga sorgum di tingkat petani Rp 5.000 per kg dan harga ekspor sangat fantastis yakni bisa mencapai Rp 80.000 per kg. Untuk mengembangkan sorgum secara berkelanjutan, diperlukan bantuan pemerintah berupa mesin rontok, sosoh, penepungan dan karung untuk pasca panen. ***