Catatan Netizen
“Menjelajah Negeri Orang Laut”

“Administrasif Kota Batam itu mencakup 300 pulau di sekitarnya. Jadi banyak banget pulau kecil di sana.” Ujar Lina seorang blogger asal Batam.”
Oleh : Danan Wahyu Sumirat
MATA saya langsung berbinar membayangkan pulau-pulau cantik tempat snorkeling dan berenang. Jika tiap akhir pekan jalan-jalan dan kalau dihitung-hitung selama 6 tahun bakal ada destinasi berbeda. Huaaa merasa beruntung mutasi ke sini.
Pelabuhan Rakyat Sagulung
Hari ini pertama “melaut” melakukan patroli di pesisir barat daya Batam. Meski judulnya bekerja melaksanakan tugas , tetap ada unsur jalan-jalannya. Akses terdekat menuju pulau Lumba Besar melalui Sagulung, pelabuhan rakyat yang dibangun oleh warga sekitar. Meski bangunanya sangat sederhana di sinilah denyut kehidupan Orang Laut kini bermuara. Jika dulu mereka mengandalkan lautan dengan menjadi nelayan. Sekarang kaum muda Orang Laut mencari penghidupan di kota Batam.
Penduduk asli Batam diperkirakan adalah orang-orang Melayu yang dikenal dengan sebutan Orang Selat atau Orang Laut. Penduduk ini paling tidak telah menempati wilayah itu sejak zaman kerajaan Tumasik (sekarang Singapura) dipenghujung tahun 1300 atau awal abad ke-14. Dari catatan lain, Pulau Batam telah didiami oleh orang laut sejak tahun 231 M yang di zaman Singapura disebut Pulau Ujung. (sumber)
Anak-anak berseragam putih merah berlompatan menuruni jukung lalu mendarat di jety kayu dengan lincahnya.
“Bang berapa uang yang harus mereka keluarkan jika tiap hari naik jukung.”
“Ooo itu langganan, mereka bayar bisa 70 ribu sebulan.” Ujar Bang Sodik dengan logat Melayu kental.
“Memang tak ada sekolah di dekat Sagulung sini?”
“Sekolah dari dulu di sana itu.” Tangan Bang Sodik menunjuk pulau padat penduduk berjarak 1 mil dari sini. Belakangan saya baru tahu bahwa di Pulau Buluh ada sekolah dasar negeri dibangun tahun 1880. Konon SDN 001 Pulau Buluh sudah ada sejak masa kependudukan Belanda dan raja-raja Melayu Riau berkuasa di Indonesia.
Zona Industri
Kehidupan Orang Laut terlihat kontras dibandingkan galangan kapal besar di pesisir. Crane tinggi menjulang bagai gedung pencakar langit menggambarkan moderinasai kawasan industri. Batam ditetapkan menjadi Otorita pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) melalui Keputusan Presiden Nomor 74 tahun 1971.

Kapal besar berbaur dengan jukung kayu milik Orang Laut di jalur pelayaran internasional, lainnya terlihat terdiam memaku jangkar. Terbayang besi besar berantai menghujam dasar laut berdebum menghantam karang. Menghadapi kenyataan ini impian berenang di pantai cantik pupus . Apalagi melihat keindahan dunia bawah laut dipenuhi ikan dan terumbu warna-warni.
Lumba Besar
Lumba Besar merupakan pulau kedua terbesar kedua setelah pulau Bulan di Belakang Padang, kecamatan tertua kota Batam. Sisa penggalian pasir pantai dan perambahan hutan mangrove terlihat jelas di pulau tak berpenghuni. Namun lengkingan elang laut membuat saya lega, setidaknya masih ada kehidupan di sini.

Pemandangan dari bukit tertinggi membuat saya terkagum, namun Bang Sodik nakoda berkata biasa saja. Bagi Orang Laut satu-satunya yang menarik dari tempat ini adalah burungnya. Dahulu banyak orang berburu burung liar di sini namun sekarang tak banyak lagi karena populasinya berkurang. Tiba-tiba napas saya menjadi sesak mendengar sebuah ironi.
Merpati hutan perak adalah burung yang termasuk dalam burung yang berstatus kritis dalam IUCN, merpati hutan perak Berukuran besar (40 cm), berwarna abu-abu pucat. Sayapnya berwarna hitam, ekor dan tubuh bagian bawah keabuan. penyebaran merpati hutan perak meliputi Kep. Simeulue, Mentawai (P.Sipura, Pagai utara),Kep.Riau (Karimun Besar, Batam, Bintan dan Kepulauan Lingga), Kep. Anambas, Natuna utara dan Kep. Karimata di ujung barat Kalimantan. (sumber)
Teluk Dalam
Patroli berlanjut ke Teluk Dalam, pulau ini memang tidak sebesar Lumba Besar, hanya membutuhkan satu jam perjalanan dari ujung selatan ke utaranya. Vegetasi didominasi semak belukar dan hutan kering. Tapi pohon di ujung sana terlihat terbakar bukan kekeringan.

Agar kayu mudah dipindahkan semak belukar dibakar oleh para pembalak. Walhasil pohon kecil disekitarnya ikut mati. Terus bagaimana nasib hewan yang tinggal di dahan kecil. Ah manusia terlalu serakah, kemarin burung-burung itu diburu, sekarang rumahnya dihancurkan.
Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. (sumber)
Tanjung Kubu
Pulau yang satu ini berpenghuni, meski ada geliat kehidupan tetap minim fasilitas. Namun yang menggemberikan beberapa penduduk sadar akan kelangsungan alam, mereka menanami lahan tidur dengan pohon jati mas. Meski ada motif ekonomi namun tindakan mereka turut menjaga keseimbangan ekosistem pulau.

Biaya hidup di pulau kecil relatif lebih mahal ketimbang di pulau besar seperti Batam. Air tawar untuk kebutuhan MCK harus beli karena air tanah terasa payau. Penerangan mengandalkan mesin generator berbahan bakar solar. Berpergian ke pulau lain menggunakan BBM yang harganya bisa mencapai 20 ribu. Apa yang membuat mereka bertahan?
Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang. Mungkin itu pepatah yang tepat untuk menggambarkan Orang Laut yang masih bertahan di pulau-pulau kecil dan mengandalkan kehidupannya dengan mencari ikan.
Pulau Buluh
Menutup penjelajahan hari ini Wandi, rekan kerja saya mengajak memancing. Sebelum gelap datang kapal kami bergerak mencari umpan menuju kelong pengepul ikan di Pulau Buluh.

Baca artikel ini lebih lanjut di sini >>>
(*)
Sumber : dananwahyu.com