NAMA Laksamana Hang Tuah memang sudah sangat tersohor dan menjadi bagian dari cerita sejarah Nusantara. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga Malaysia dan Singapura.
Sejumlah sejarawan Indonesia menyebutnya sebagai Kesatria Melayu. Namun, sejarawan Malaka mengklaim dan menamainya sebagai Laksamana Malaka Hang Tuah.
Dari beberapa literatur yang telah mengupas cerita tentang Laksamana Hang Tuah, memang terdapat beberapa versi cerita Laksamana Hang Tuah, termasuk dimana dia lahir dan dimana dia wafat. Keberadaan makamnya pun ada beberapa versi.
Nah, tulisan ini mengupas sejarah Laksamana Hang Tuah berdasarkan versi dari Zuriyath Kerajaan Bintan (Bentan) yang sempat saya wawancarai pada Maret 2017 lalu. Saat itu, bersama keluarga dari Zuriyath Bentan, saya diajak menelusuri jejak makam Laksamana Hang Tuah dan keluarganya, yang ada di bawah kaki Gunung Bintan.
Tempat bersejarah ini sudah menjadi satu di antara destinasi wisata Kabupaten Bintan.
Perjalanan kami dimulai dari Kampung Bintan Enau, Desa Bintan Buyu, letaknya masih di sekitar kaki Gunung Bintan.
Saya tidak sendiri, melainkan bersama warga lokal yakni Datun Asyim Sofyan yang mengaku sebagai keturunan ke-12 dari Laksamana Hang Tuah dan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Warisan Adat Melayu Bentan.
Kami juga ditemani Kepala Desa (Kades) Bintan Buyu Bapak Daeng Ibrahim, seorang peneliti dari Kemendikbud Mas Robert, serta beberapa orang pegiat kebudayaan lokal, Mas Vicky dkk (dan kawan-kawan).

Untuk mencapai makam Laksamana Hang Tuah, yang berlokasi di Kampung Duyung, diperlukan waktu berjalan kaki menyusuri hutan sekitar satu jam lamanya. Karena hari sudah menunjukan pukul 11.30 WIB, dan perut terasa lapar, kami makan siang terlebih dahulu di warung pinggir jalan yang tidak begitu jauh dari Simpang Bintan Enau.
Warung di sana memang sangat kecil dan terbangun dari kayu ala kadarnya dengan atap dari daun rumbia. Hanya ada dua meja di depan warung tersebut plus beberapa kursi yang terbuat dari kayu alakadarnya juga.
Bahkan, bagi orang yang baru datang ke kampung ini, mungkin tidak akan tahu jika warung ini adalah warung makan. Saya sendiri menganggapnya seperti gubung tak terpakai.
Namun, di balik kesederhanaan warung ini, ternyata menjual soto, gado-gado, dan sup ayam yang enak rasanya.
Setelah mengisi perut dan membeli perbekalan berupa air mineral 10 botol berukuran sedang, kami melaju naik mobil ke Kampung Bintan Enau. Setelah melewati rumah-rumah di perkampungan ini, mobil kami berhenti di pangkal jalan menuju perkebunan warga.
Di sinilah batas akhir kendaraan roga empat karena jalan selanjutnya menuju makam hanya setapak dan hanya bisa dilalui dengan jalan kaki.

Begitu turun, pemandangan kanan-kiri hanyalah pepohonan seperti pohon durian, petai, jengkol, enau, gaharu, dan lainnya. Di pangkal jalan menuju jalan setapak itu, ada sebuah peringatan di papan yang berdiri agak miring.
Isinya:
“Kendaraan Roda 4 Dilarang Masuk. Jika Dilanggar akan Ditindak Lanjuti!”.
Kalimatnya memang terdengar janggal (ditindak lanjuti) tetapi itu sebagai pertanda batas roda empat.

Jalan setapak itu, kondisinya bisa dikatakan baik. Jalannya sudah dilapisi dengan paving block dengan lebar kurang lebih satu meter. Hanya saja, kanan dan kirinya rimbun ditumbuhi rumput sehingga paving block yang tampak hanyalah di bagian tengahnya.
Makam Anak Hang Tuah
TIDAK jauh dari pangkal jalan setapak ber-paving block, tepatnya sekitar 300 meter, kami menemukan satu komplek makam berpagar berwarna kuning di sisi kanan jalan. Di dalam komplek itu ada dua nisan.
Menurut Asyim, salah satu makam itu adalah milik Tun Juan alias Raja Megat Kudu. Komplek makamnya sudah dipagar beton setinggi kurang lebih 50 cm dan dicat warna kuning tanpa atap.

Setelah berdoa dan mengabadikan keberadaan makam ini, kami melanjutkan perjalanan dengan santai.
Kami menyusuri jalan setapak yang masih ber-paving block itu. Tidak jauh dari makam pertama tadi, di sisi kiri jalan ada jejeran makam lama yang dipercaya sebagai makam para menteri dan hulubalang kerajaan Bentan.

Setelah sekitar 15 menit jalan kaki, kami belok ke kanan. Kali ini jalannya tidak ber-paving block melainkan jalan tikus. Di kanan dan kirinya, ditumbuhi semak belukar dan pohon-pohon keras. Hutannya masih lebat.
Kami pun menyusuri hutan itu dengan melewati lima parit yang masing-masing parit lebarnya sekitar satu meter. Empat dari lima parit itu memiliki jembatan yang sangat sederhana berupa satu balok kayu yang melintang. Sementara satu parit lagi, tidak memiliki jembatan sehingga kami harus melompatinya. Saat itu, paritnya berlumpur sehingga jika tidak hati-hati bisa terjatuh ke dalam.
Setelah berjalan kurang lebih 30 menit, kami sampai di perkebunan warga dan salah satu pemiliknya adalah Asyim. Dia mengatakan, perkebunan itu adalah milik anggota keluarganya.
Tanah milik keluarganya di sini sekitar 60 hektare. Di kebun ini ada tanaman sayuran seperti cabai dan bumbu dapur, kunyit, jahe, sere, dan lainnya. Ada pula sebuah gubuk sederhana yang memang digunakan pemilik kebun untuk beristirahat saat lelah setelah bercocok tanam.
Kebun sayur ini juga dikelilingi pohon-pohon buah keras, terutama durian, rambai, langsat, dan petai.
Kami hanya berhenti sejenak di sini, hanya sekedar melihat-lihat.
Mencapai Makam Laksamana Hang Tuah
KAMI melanjutkan berjalan kaki ke tempat yang menjadi tujuan utama yakni Makam Laksamana Hang Tuah. Tidak begitu jauh kami berjalan. Dari kebun itu hanya sekitar 15 menit lagi.
Kami pun sudah sampai ke lokasi makam. Lokasi makam Hang Tuah memang tidak mudah ditemukan dan jika ke sana tidak bersama orang lokal yang mengerti letak pastinya, agak sulit menemukannya.
Sebab, di makam ini belum ada petunjuk jalan dan jalan masuknya memang jalan tikus yang bisa membuat orang baru seperti saya tersesat.

Di sekitar lokasi makam terdapat satu gubuk reot yang biasanya dipakai warga untuk menjaga kebun mereka ketika musim buah.
Makam Laksamana Hang Tuah sendiri, berada sekitar 50 meter dari gubuk ini. Makam itu memiliki dua batu nisan pertanda kepala dan kakinya. Baik nisan kepala dan kaki dibalut dengan kain kuning, kain kebesaran masyarakat Melayu. Panjang makam sekitar dua meter.
Makamnya berada tepat di bawah pohon Nam-Nam yang memang sudah berusia tua.
Di sekitar makam juga terdapat beberapa bunga puring sebagai penghias kuburan dan semak belukar. Makam Hang Tuah ini memang belum dipagar dan hanya diberi tanda kain kuning di batu nisan.

Asyim bercerita, banyak warga sekitar kaki Gubung Bentan mempercayai bahwa makam ini memang makam Hang Tuah berdasarkan Hikayat Hang Tuah yang ditulis oleh Tun Kola.
Dalam hikayat itu dikatakan bahwa Hang Tuah wafat di usia tua dikebumikan di kaki Gunung Bentan, di Kampung Duyung, di atas Bukit Duyung, membelakangi Sungai Duyung, dan di bawah pohon Nam-Nam.

Asyim menceritakan, keberadaan makam ini sudah sangat lama diketahui secara turun temurun oleh warga Kampung Duyung. Lokasi makam Hang Tuah yang saat ini berubah menjadi hutan, sebenarnya dahulunya adalah sebuah kampung. Asyim sendiri masa kecilnya tinggal di kampung ini.
Dahulu, kampung ini terbentuk karena memang sangat dekat dengan aliran sungai Duyung yang sejak zaman dahulu menjadi nadi dan sumber air warga Desa Duyung.
Namun, karena perkembangan zaman dan jalan raya di Kampung Bintan Enou dibangun, warga yang sebelumnya tinggal di Kampung Duyung perlahan pindah dan membangun rumah di dekat jalan raya Bintan Enou. Akhirnya Kampung Duyung kosong ditinggalkan warga dan kini menjadi kebun dan hutan.
“Sebelumnya, makam Hang Tuah ini berada di dalam perkampungan, tetapi karena warga kampung sudah hijrah, maka makam tersebut menjadi hutan belantara,”begitu kata Asyim.
Simak terus lanjutan tulisan ini, DI SINI
(*)
Seperti ditulis pada catatan perjalanan
Netizen Menik di blognya : menixnews.com