MOBIL listrik buatan China yang ramping menjadi pemandangan yang jamak di lalu-lintas Jakarta dan juga kota-kota lainnya di Indonesia, menandakan daya tarik kendaraan bertenaga baterai yang terus berkembang di pasar otomotif terbesar di Asia Tenggara itu.
Merek-merek seperti Wuling, BYD, dan Chery meramaikan industri otomotif Indonesia dengan perpaduan antara harga terjangkau, teknologi mutakhir, dan desain menarik, yang menantang para pemain lama Jepang, seperti Toyota, Honda, dan Mitsubishi.
Infrastruktur kendaraan listrik Indonesia – termasuk stasiun pengisian daya – masih dalam tahap pengembangan, namun kelas menengah atas di Indonesia tidak terhalang oleh tantangan tersebut, kata Syakur Usman, pengamat otomotif dan penulis buku The Automotive Industry in Indonesia.
“Ini adalah konsumen dengan pola pikir global yang sering bepergian ke luar negeri dan sudah familiar dengan EV,” ujarnya.
Meskipun kendaraan listrik hanya menyumbang 5% dari total penjualan mobil di Indonesia tahun ini, para analis melihat potensi yang sangat besar di pasar yang berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa di mana kesadaran ramah lingkungan akan terus meningkat.
“Secara umum penerimaan masyarakat Indonesia terhadap teknologi mobil listrik semakin lama masyarakat semakin menerima,” ujar Muhammad Nur Yuniarto, direktur eksekutif Pusat Sistem Kontrol Otomotif di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Dulunya, dikhawatirkan baterainya cepat habis, kemudian takut rusak tapi ternyata mobil listrik tidak mempunyai sifat seperti itu, kemudian masyarakat bisa aman, nyaman memakai mobil listrik,” kata dia kepada BenarNews.
Meskipun Toyota dan Daihatsu masih memegang posisi teratas, merek-merek China terus melakukan berbagai terobosan.
BYD melonjak ke posisi keenam di Oktober dengan 2.488 unit terjual, menurut data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).
Gaikindo menyatakan penjualan mencapai lebih dari 11.000 kendaraan di Indonesia sejak Juli. Sementara itu, Wuling Motors melaporkan telah menjual 9.000 kendaraan listrik tahun lalu.
“Keberhasilan BYD di Indonesia sebagai pemimpin pasar merupakan bukti komitmen kami untuk menyediakan kendaraan listrik berkualitas tinggi dan terjangkau yang memenuhi kebutuhan dan preferensi konsumen Indonesia,” ujar Eagle Zhao, presiden direktur BYD Motor Indonesia, dalam sebuah pernyataan bulan lalu.
Kebangkitan produsen mobil China sangat mencolok mengingat awal mula mereka yang sulit di Indonesia. Kehadiran mereka di tahun 2000-an harus berhadapan dengan persepsi kualitas yang buruk, sehingga merek-merek seperti Chery dan Geely menarik diri.
Namun pada 2017, perusahaan seperti Wuling Motors telah kembali dengan kualitas yang lebih baik, layanan purnajual yang kuat, dan investasi yang besar, termasuk pabrik senilai $700 juta (Rp11 triliun). di Jabotabek.
Sekarang, BYD sedang membangun pabrik senilai $1,3 miliar di Jawa Barat, yang diharapkan dapat memproduksi 150.000 unit per tahun.
Pabrikan China juga telah mendapatkan keuntungan dari insentif pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik. Kebijakan yang diperkenalkan pada tahun 2023, termasuk pengurangan pajak barang mewah dan bea masuk, telah membuat EV lebih mudah diakses.
Tahun ini, pemerintah mengeluarkan peraturan yang membebaskan bea masuk untuk kendaraan listrik yang dibuat secara utuh, yang mendorong peningkatan impor sebesar 347% tahun ini, menurut Gaikindo.
Produsen mobil China telah memanfaatkan perubahan kebijakan ini. Mereka kini menguasai 80% pangsa pasar mobil listrik di Indonesia, didukung oleh fitur-fitur canggih seperti sistem penghindaran tabrakan dan garansi seumur hidup untuk baterai dan motor listrik.
Namun, pemerintah bertujuan untuk melokalkan produksi, dengan mewajibkan 40 persen komponen dalam negeri untuk mobil listrik pada tahun 2026 dan 80 persen pada tahun 2030.
Para pejabat mengatakan bahwa pergeseran ini sangat penting untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ekonomi lokal.
Syakur Usman, menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan China telah memprioritaskan masuk ke pasar lebih awal, memanfaatkan kemampuan manufaktur mereka yang luas untuk mendominasi industri yang masih dalam tahap pembentukan.
“Mereka tidak terhambat oleh teknologi lama atau ragu-ragu,” kata Syakur kepada BenarNews, membandingkan hal ini dengan pendekatan merek-merek Jepang, yang lebih lambat dalam merangkul kendaraan listrik.
Merek-merek Jepang seperti Toyota dan Honda masih fokus pada kendaraan konvensional dan hibrida, yang menggabungkan mesin pembakaran internal dengan baterai.
Sementara infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia – termasuk stasiun pengisian daya – masih belum berkembang, kelas menengah ke atas di Indonesia tidak terlalu terpengaruh oleh tantangan-tantangan seperti itu, kata Syakur.
“Mereka adalah konsumen yang berpikiran global yang sering bepergian ke luar negeri dan sudah terbiasa dengan mobil listrik,” katanya.
Sementara itu, pemerintah merencanakan serangkaian insentif pajak pada tahun 2025 dengan fokus khusus pada kendaraan hibrida dan jenis kendaraan lainnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pada Jumat.
“Sebagai contoh, kami baru-baru ini membahas insentif atau stimulus untuk sektor otomotif. Kebijakan-kebijakan seperti pajak penjualan barang mewah dan pembebasan PPN akan diterapkan tidak hanya untuk kendaraan listrik namun juga untuk kendaraan hibrida dan jenis-jenis lainnya,” kata Agus kepada para wartawan.
Airlangga Hartanto, menteri ekonomi Indonesia, mendesak para produsen mobil untuk menerapkan harga yang lebih kompetitif untuk meningkatkan tingkat adopsi.
“Harga harus menjadi lebih kompetitif agar pasar dapat menyerapnya,” ujar Airlangga bulan ini.
Bagi konsumen Indonesia, biaya tetap menjadi faktor pendorong.
Model-model seperti Wuling Air EV, dengan harga sekitar 200 juta rupiah, menjangkau kelas menengah, sementara pilihan seperti BYD Dolphin dengan harga $22.812 dan Chery Omoda E5 dengan harga $26.250 untuk menarik kalangan pembeli kelas atas.
Sebaliknya, penawaran premium seperti Toyota bZ4X dan merek-merek Eropa seperti BMW tetap sangat mahal.
Bany Akbar, pekerja kantoran berusia 45 tahun di Jakarta yang telah memiliki Air EV selama satu setengah tahun terakhir, mengatakan bahwa ia membeli mobil ini dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus: mengantar dan menjemput anak sekolah, bepergian di hari kerja, dan menavigasi jalanan kota Jakarta yang terkenal padat.
“Ini adalah mobil kedua saya. Harganya masuk akal dan sesuai dengan kebutuhan kami,” katanya kepada BenarNews.
“Dulu saya menghabiskan sekitar dua juta rupiah ($ 130) per bulan untuk bahan bakar,” katanya. “Sekarang, biaya pengisian daya Wuling hanya Rp500.000 ($33) untuk penggunaan harian.”
Yuniar Restanto, banker berusia, 49 tahun, mengatakan bahwa dia memilih mobil listrik karena biaya bensin untuk mobil Mitsubishi Outlander yang dia pakai sejak 2016 sangat boros dan biayanya besar untuk isi bensin sampai full tank. “Biayanya tidak masuk akal.”
Yuniar beralih menggunakan Wuling sejak Agustus tahun ini karena selain untuk menurunkan biaya operasional kendaraan, juga ada berbagai insentif dari pemerintah seperti bebas dari peraturan pembatasan plat mobil ganjil genap.
“Jadi lebih tambah irit juga karena tidak perlu punya mobil kedua sebagai alternatif dan bisa dipakai bersama istri dan keluarga tanpa kena batasan ganjil genap, kata dia kepada BenarNews.
Tria Dianti, Ismira Lutfia dan Arie Firdaus di Jakarta berkontribusi dalam laporan ini.