Catatan Netizen
Nek Penuh Suku Laut dari Pulau Bertam | “Kulitnya Melepuh Seperti Terkena Air Panas”

Kini di Rumah Sakit Otorita Batam.
Aku dibisikin Andi staf Kelurahan Pecung yang ikut bersama kami dalam mobil Ambulance LAZ Batam, bahwa nek Penuh yang sedang sakit kulit melepuh sekujur tubuhnya seperti tersiram air panas itu, belum makan lagi sejak pagi.
————-
Oleh : Imbalo Iman Sakti
“Tadi dimasakin bubur, tapi dia tak nak makan.”
“Ya Allah semoga selera makan nek Penuh tak hilang, agar daya tahan tubuhnya kuat,” doaku dalam hati.
Sepanjang jalan dari Senggulung ke RSOB, mobil Ambulance LAZ Batam yang dikendarai Rudolf, mahasiswa semester lima Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam, volunter di LAZ Batam itu lancar tiada hambatan.
Seorang pengendara sepeda motor, entah siapa, berjalan mendahului mobil kami. Ia menyuruh orang menepi, agar mobil yang terus membunyikan sirene dan klakson itu bisa diberi jalan.
Layaknya, ia polisi pengawal.
Tiba di ruang Emergensi RSOB, dua orang petugas medis dari Puskesmas Belakang Padang telah menanti. Kuminta pak Jaga membeli roti agar dimakan nek Penuh yang belum makan.
Rekan wartawan sedang bersoal jawab dengan security rumah sakit itu. Tak boleh ambil gambar nek Penuh yang sedang diturunkan dan dimasukkan ke ruang emergensi.
“Berita nenek Penuh ini sudah viral sampai ke kementrian di Jakarta sana”, ujarnya pada kami.
“Entahlah, mana keluarganya”, ujar petugas medis di emergensi itu.
Pak Jaga kusuruh masuk, kelihatan dia takut atau apa, petugas dari puskesmas ikut mendampinginya.
Standar pemeriksaan, nek penuh tetap berbaring miring. Aku masuk, kukatakan pada perawat di situ bahwa nenek ini belum makan sejak pagi.

Pak Jaga rada pekak. Biasa, nelayan tua seperti itu agak banyak menyelam atau apa.
“Sus, pak ini ngomong ke dia agak kuat sedikit”, kataku ke suster yang menjaga.
Suster itu melirikku. Dia bertanya, apakah nenek ini ada kelainan genetik sebelumnya.
“Mana lah tau, suku laut tak bisa tulis baca, apa itu kelainan genetik”, sergahku pada perawat itu.
Kulitnya seperti ini baru sekitar dua bulan ini. Biasanya yang kasih dia obat ibu bidan. Rupanya petugas puskesmas Belakang Padang itu seorang Bidan bernama Sari.
“Sejak nikah lebih empat puluh tahun, nenek ini tak pernah sakit seperti ini. selama ini tak pernah di rongent atau check apa pun”, kataku. Pak Jaga melirikku.
“Dia kena minyak panas, jadi melepuh”, katanya.
Terus begini penjelasannya berulang ulang sejak kemarin. Setaunya, kulit bini dia itu melepuh kena minyak panas.
Seperti kayap, gelembung kulit di dalamnya ada air. Nah seperti itu agaknya.
“Kalau kena minyak panas, manalah pulak merambat ke sekujur tubuh. Itulah sebab dibawak ke rumah sakit. Kami kan bukan dokter”, kataku.
“Apakah di sini ada dokter kulitnya?” tanyaku lagi pada perawat itu.
“Ada beberapa orang,” jawabnya.
“Nah rujuklah ke situ”, saranku.
Petugas puskemas yang satu lagi, ngomong padaku, kalau sudah tiga hari makan obat tak ada perobahan, seyogianya dievaluasi obatnya.
“Bu Bidan itu bilang sudah disuruh ke puskesmas, tapi mereka tidak ke sana”, kata si perawat.
“Lah, kan sudah dikasih tau untuk makan saja susah, boro-boro sewa boat atau beli minyak mau ke puskesmas Belakang Padang yang mengeluarkan duit 500 ribu rupiah”, kataku.
Perawat ruang emergenci itu bertanya lagi,
“Gatal ya bu?”
Matanya tertuju ke nek Penuh. Erangan nenek itu sudah agak reda. Tak mengerang lagi suaranya. Bajunya sudah terlepas. Sebagian lagi masih terguling miring di atas dipan itu. Ia tak merespon pertanyaan si perawat. Si perawat itu menoleh ke pak Jaga.
“Gatal ya pak, kata ibunya?”
Pak Jaga pun senyap.
“Pak Jaga jangan diam saja, cerita lah pak, apa saja yang terjadi tentang nek Penuh”, ujarku pada pak Jaga agak keras.
“Apa nenek ini, dia bilang badannya terasa miang?”
Pak Jaga mengangguk,
“Iya miang terus”, katanya.
Kukatakan sekali lagi pada perawat itu, mereka ini suku laut, orang Melayu. Jangan tanya dengan bahasa yang tinggi-tinggi. Genetik lah, apa lah.
Gatal sebenarnya agak beda dengan miang, Miang itu semacam bulu-bulu yang ada di batang bambu dan terasa gatal bila terkena kulit. Tapi, mereka lebih familiar dengan miang dari pada menyebut : gatal.
Tak tahu aku apakah perawat itu agak kurang senang, kupesankan sekali sambil aku pamit pulang. Perawat itu pun keluar. Mungkin agar sebisanya nenek Penuh ditangani dan diperiksa oleh yang ahli kulit.
Aku pamitan pada nek Penuh dan pak Jaga, serta bu bidan Sari. Soalnya, Rodolf nak berangkat kuliah lagi.

Hari sudah Ashar. Pak Andi, staf kelurahan Pecung itu, ikut bersama kami pulang naik Ambulance. Dia turun di simpang Tanjung Riau. Boat pancungnya sudah menunggu di pelabuhan.
Hatiku lega, sujud syukur-ku padaMU, ya Allah, Alhamdulillah. Semoga nenek Penuh bisa ditangani dan segera sembuh.
(*)
Seperti ditulis Imbalo Iman Sakti di akun jejaring sosialnya.