PEMERHATI Anak Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Erry Syahrial, mengungkapkan kasus kekerasan terhadap anak masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dan pemangku kebijakan terkait di wilayah Kepri.
Apalagi, Erry menyebutkan, kasus kekerasan anak yang paling menonjol di Provinsi Kepri saat ini ialah masalah seksual atau pencabulan anak. Bahkan akhir-akhir ini, cukup banyak kasus pencabulan terhadap anak terjadi, khususnya di Kota Batam.
Sayangnya, lanjut dia, sejak dua tahun terakhir Kepri tidak memiliki Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD). Padahal, KPPAD sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pengawasan penanganan kasus kekerasan terhadap anak.
“KPPAD Kepri sudah tak ada lagi sejak dua tahun terakhir, seiring berakhirnya masa jabatan komisioner sebelumnya,” kata Erry di Tanjungpinang, dikutip dari Antara, Rabu (27/7/2022).
Menurut dia, hal ini menjadi langkah mundur bagi Kepri, apalagi di tengah maraknya kasus kekerasan anak yang terjadi belakangan ini. Seperti baru-baru ini terjadi di Kota Batam, di mana seorang pemilik pondok tahfidz Al-Qur’an diduga melakukan kekerasan seksual terhadap santriwati.
Menurutnya, KPPAD Kepri pernah menjadi barometer perlindungan anak di Indonesia, namun kini justru vakum karena tak ada dukungan dari pemerintah daerah.
Padahal, kata dia, pembentukan KPPAD juga sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak yang telah disahkan DPRD Kepri.
“Artinya, Pemprov Kepri sekarang tak menjalankan Perda yang mereka buat,” ujarnya.
Erry yang pernah menjabat sebagai Ketua KPPAD Kepri periode 2015-2020 itu menyampaikan keberadaan lembaga tersebut sangat penting guna melakukan pengawasan terhadap penanganan hukum atas kasus kekerasan anak yang terjadi di masyarakat.
KPPAD dapat menegur atau mengingatkan aparat penegak hukum jika ada penyimpangan dan kesalahan dalam penanganan laporan kasus kekerasan yang melibatkan anak.
“Dalam dua tahun ke belakang, memang tak ada pengawasan terkait penanganan kasus kekerasan anak. Semuanya diserahkan langsung ke masyarakat atau penegak hukum, jadi kita tidak tahu apakah prosesnya berjalan maksimal atau tersendat,” tuturnya.
Ia juga mengutarakan KPPAD menjadi wadah konsultasi hingga advokasi bagi para penegak hukum dan pihak-pihak terkait lainnya dalam hal penanganan kasus kekerasan anak, baik anak sebagai pelaku maupun korban.
“KPPAD juga jadi tempat masyarakat mengadu, sekaligus rumah yang nyaman bagi anak-anak berhadapan dengan hukum,” ucapnya.
Erry mengaku sudah mengusulkan ke Pemprov Kepri supaya tetap mempertahankan lembaga KPPAD untuk memaksimalkan pengawasan sekaligus perlindungan terhadap anak.
Namun demikian, katanya, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Pemprov Kepri tidak menginginkan adanya KPPAD, karena ingin memaksimalkan peran Unit Pelayanan Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
“Pemprov sepertinya kurang paham peran dan fungsi perlindungan anak. UPTD PPA itu lembaga teknis, sementara KPPAD lembaga pengawasan, ini dua hal yang berbeda,” ujar dia.
Dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional 2022, Erry berharap Pemprov Kepri kembali mengaktifkan lagi lembaga KPPAD sebagai salah satu upaya mewujudkan Kepri ramah anak sekaligus mengawasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak menuju generasi emas Indonesia 2045.
(*)