PERKEBUNAN karet di Pulau Kepala Jeri merupakan salah satu fragmen dalam sejarah Kepulauan Riau di masa lalu. Ada kisah tentang para pekerja yang didatangkan dari pulau Jawa ke pulau itu. Secara umum, wilayah Kepulauan Riau di masa Kolonial Belanda, pernah menjadi lokasi primadona perkebunan karet untuk kepentingan industri masa lalu.
Awal abad ke-20 muncul booming karet di daerah luar Pulau Jawa, termasuk di
Keresidenan Riau. Namun, karena minimnya tenaga kerja, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan pekerja perkebunan dari Kepulauan Riau, umumnya berasal dari pulau Jawa.
Ekspansi dalam industri karet makin cepat tahun 1920-an. Booming ekonomi Amerika Serikat memperbesar permintaan karet untuk industri otomotif. Pada tahun 1925, harga karet dunia naik yang berdampak memberikan sepertiga pemasukan ekspor dari Kepulauan Indonesia (Poesponegoro, 2019).
Pada periode 1911–1923, Keresidenan Riau memiliki berbagai sumber daya alam, di antaranya hasil ekspor minyak NV Bataafsche Petroleum Maatschappij N.V.
(BPM) dari Pulau Sambu (Batam).
Hasil tambang timah di Pulau Singkep menjadi hasil ekspor selain karet dan minyak. Di Keresidenan Riau, daerah dataran yang memiliki peran penting dalam pertanian karet adalah Indragiri. Sekitar 56 persen hasil ekspor karet dari Keresidenan Riau dihasilkan dari daerah ini. Indragiri menjadi daerah penghasil karet yang utama di Sumatera, selain Palembang, Jambi, dan daerah Deli (Town, 2001).
Di pulau Kepala Jeri, sebuah pulau kecil dekat selat Singapura, pemerintah kolonial Belanda menaruh perhatian besar pada potensi ekonominya di awal abad 20. Pulau yang sekarang masuk dalam tata pemerintahan kota Batam itu, dianggap cocok untuk budidaya karet, komoditas primadona pada masa itu.
Pulau Kepala Jeri, saat ini masuk dalam wilayah Kelurahan Kasu, Kecamatan, Belakang Padang, Kota Batam. Pulau ini terletak dalam gugus pulau-pulau kecil yang berdekatan dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia. Lokasinya berada di jalur selat internasional, selat Philip yang memisahkan negara Singapura dan Indonesia serta terhubung ke selat Malaka. Walau begitu, tidak banyak yang mendiami pulau itu sejak zaman dahulu.
Pada masa lalu, sebelum ditanami karet oleh Pemerintah Kolonial Belanda, pulau -yang berbatasan dengan Singapura- ini belum dihuni manusia. Pada awal abad ke-20, kaum penjajah mendatangkan puluhan pasangan suami istri serta lelaki bujangan dari Jawa untuk membuka perkebunan karet di pulau tak berpenghuni tersebut.
Para pekerja tinggal di barak-barak kayu yang berderet-deret membentuk setengah lingkaran. Di tengah kompleks, terdapat tanah lapang yang menjadi lokasi para pekerja berbaris untuk didata, baik sebelum maupun seusai bekerja di kebun-kebun karet. Bekas-bekas bangunan perkebunan, seperti rumah-rumah panggung kayu yang memanjang, masih terdapat di pulau Kepala Jeri.
Sebagian besar dari puluhan barak ini masih utuh sampai sekarang. Di sekitar kompleks, terdapat perkebunan warga. Sementara bekas barak-barak bekas para pekerja di masa lalu, mulai ditutupi semak-belukar.
Penduduk pulau Kepala Jeri saat ini, umumnya bermata pencarian sebagai nelayan dan juga penoreh getah karet. Banyak dari mereka yang tinggal di pulau tersebut saat ini, merupakan keturunan warga yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dari pulau Jawa di masa lalu.
Karet, Primadona di Banyak Pulau Kepri
PADA dekade awal abad 20, perkebunan karet telah ada di sejumlah wilayah di Kepulauan Riau. Tidak hanya ada di Pulau Kepala Jeri. Namun hingga ke pulau-pulau yang lebih besar seperti Bintan dan Karimun, termasuk pulau Batam.
Di Pulau Bulan, pulau lain dekat Pulau Batam, aktifitas perkebunan karet bisa diketahui dari jejak yang terdapat dalam surat kabar berbahasa Belanda, terbit tahun 1937.
Dalam surat kabar Deli Courant terbitan 9 November 1937, ada iklan lowongan kerja untuk perkebunan karet yang ada di Pulau Bulan (Riouw). Mengutip situs Kemendikbud RI, iklan tersebut berisi pemberitahuan tentang kebutuhan tenaga perawat laki-laki (mantri), diutamakan yang sudah menikah. Gaji yang ditawarkan sebesar $ 40 (Straits Dolar) per bulan.
Perkebunan karet di Kepri sudah dibudidayakan sejak awal abad 20, sama halnya daerah lain di nusantara. Informasi tentang keberadaan perkebunan karet awal abad 20 hingga tahun 1940 bisa dilihat dalam pemberitaan surat kabar yang terbit zaman itu.
Surat kabar Algemeen Handelsblad tanggal 27 Februari 1911 memberitakan, Residen Riau memberikan izin konsesi kepada tiga perusahaan untuk perkebunan karet. Pada awal 1911, sebuah pabrik karet dibangun di Pulau Bintan.
Di Bintan saat itu sudah mulai ditanam karet dalam umur yang masih muda. Karet belum produksi, pemeliharaan dan perluasan areal tanam terus dilakukan. Sementara di Pulau Galang (Batam), perusahaan telah menghasilkan 2.813 pon karet tujuan ekspor.
Koran Het Niuews Van den Dag tanggal 16 Agustus 1910 juga memuat berita tentang kebun karet. Tulisannya berjudul: Karet di Kepulauan Riau. Isinya tentang laporan ke Residen Riau tentang kondisi perkebunan karet yang telah mendapatkan izin konsesi di Pulau Sugi dan Karimun.
Di sana pekerjanya adalah Orang Melayu. Kondisi perkebunan karetnya bagus dan terlihat ada kemajuan. Di Karimun juga dibangun pabrik karet untuk mengolah karet dan getah jelutung. Pada akhir 1915, pabrik ini tutup sementara. Pabrik yang ada di Karimun itu mengekstraksi getah jelutung yang merupakan produk hasil hutan.
Koran Bataviaasch Niuuwsblad tanggal 7 Juni 1916 memuat berita iklan dijual tentang penjualan kebun karet di Pulau Bintan. Luas lahan 4.000 hektar, sementara yang sudah ditanam 1200 hektar. Di lokasi tidak ada bangunan dan mesin. Bagi yang berminat bisa mengontak pemilik kebun.
Sementara di wilayah Kepulauan Tujuh (Anambas, pen.) keberadaan kebun karet di sana, dimuat dalam berita koran De Indische Courant tanggal 4 Desember 1936.
Beritanya berjudul: Berkunjung ke Tarempah.
Dalam artikel ini digambarkan Anambas sebagai kepulauan terpencil yang produk ekspor utamanya ada tiga, yakni kopra, karet dan kayu. Produksi kopra per bulan 40.000 pikul dan karet 10-25 ribu kilogram. Dari laut, perkebunan karet ini berada di tengah-tengah pepohonan lainnya dan tidak bisa dibedakan.
Kebun karet pada masa itu dinilai lebih menjanjikan. Sementara, budidaya padi, sulit karena tanah yang berbatu-batu khususnya di daerah Tarempa. Tarempa saat itu juga penduduknya cukup ramai. Setiap pekan datang kapal K.P Steamer dan kapal Cina bersandar di Tarempa.
Pulau Batam di masa lalu, juga sempat dijadikan wilayah perkebunan karet di beberapa lokasi. Seperti Duriangkang dan wilayah Sagulung. Perkebunan karet di wilayah Duriangkang masih tersisa hingga akhir dekade 1980-an, sebelum wilayah itu ditenggelamkan untuk proyek waduk Duriangkang oleh Badan Otorita Batam (BP Batam, pen. saat ini).
Wilayah lain di Batam yang sempat dijadikan perkebunan karet adalah di Sagulung. Hingga dekade 1960-an, Sagulung merupakan wilayah perkebunan karet yang dikelola oleh dua perusahaan perkebunan yakni PT. Tolo dan PT Waheng.
Dalam catatan sejarah, wilayah kampung Nongsa dan Batu Besar juga sempat ditanami pohon karet oleh warga di masa lalu.
Sejarah Perkembangan Tanaman Karet di Indonesia
TANAMAN karet jenis Hevea Brasiliansis, sebenarnya berasal dari Brasil, Amerika Selatan, biasa ditemukan di hutan-hutan tropis wilayah itu. Pohon ini dapat tumbuh tinggi dengan batang yang cukup besar. Kemudian dapat memproduksi getah yang banyak memiliki manfaat. Pada masa kolonial Belanda tanaman karet tumbuh menjadi tanaman populer untuk dikembangkan.
Budi daya tanaman karet di Indonesia dalam bentuk perkebunan, dimulai tahun 1890-an dan dimulai dari Bogor. Budi daya tanaman karet tersebut muncul kemudian sesudah budi daya tanaman teh dan kopi. Awalnya hal ini dilakukan melalui percobaan budi daya tanaman di Kebun Raya (botanical garden) Bogor. Penelitian dan eksperimen tentang tanaman karet dilakukan oleh lembaga atau badan, yakni Algemeen Landbouw Syndikaat (ALS) (Inagurasi, 2014).
Produk utama tanaman karet yang diproduksi ialah lateks, yakni getah yang dihasilkan batang pohonnya. Lateks mudah diperdagangkan oleh masyarakat karena memiliki nilai ekonomis yang rendah. Lateks dibuat menjadi ban karet mentah yang bisa digunakan untuk bahan industri sehingga tanaman karet banyak di ekspor ke berbagai mancanegara.
Kemajuan tanaman karet berawal dari pemerintah Belanda yang ingin memperkuat masuknya komoditas karet di Indonesia. Pada masa kolonial Belanda, sempat terjadi ketidakstabilan ekonomi yang dirasakan oleh perusahaan pemerintah Belanda pada perkebunan teh, kopi dan tembakau.
Melihat dari potensi yang ada, tanaman karet menjadi solusi utama oleh Belanda sebagai bahan dalam kegiatan produksi. Alasan lain yang mampu membawa komoditas karet ke Indonesia, tanaman karet termasuk ke dalam harga yang tergolong ekonomis untuk dibudidayakan.
Pada tahun 1922, kegiatan pembatasan penanaman Karet Internasional dilakukan oleh Stevenson. Dengan membawa keuntungan kegiatan produksi tanaman karet Indonesia. Sebab, pembatasan ini hanya berlaku untuk Malaysia, negara jajahan Inggris. Pada masa sekitar tahun 1930, Indonesia memproduksi hampir setengah dari pasokan karet dunia. Lahan yang seharusnya untuk tanaman perkebunan lain dikelola oleh pohon karet.
Dalam kegiatan budidaya penanaman karet, Indonesia harus mempunyai lahan perkebunan yang cukup luas. Perkebunan besar karet diawali pada daerah Sumatra Timur yang menghasilkan 5.000 pohon karet di daerah Langkat.
Kemudian, diperluas sehingga memiliki sekitar 21.000 jenis. Perkebunan karet semakin diperluas karena penanaman karet di Sumatra Timur sangat cocok dengan iklim dan tanahnya.
Menurut Ann Laura Stoler dalam bukunya yang berjudul Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870 – 1979 (2005 : 142 ) bahwa luas karet telah meningkat dari 188.000 menjadi 255.500 hektare. Pada dasarnya perkebunan karet juga meningkat di daerah lain seperti di Aceh tepatnya daerah Langsa, Kalimantan Barat, Riau dan Pulau Jawa. Luasnya perkebunan karet dan terus meningkatnya hasil yang diperoleh, menjadikan stabilnya perekonomian pada masa kolonial Belanda.
(ham)
Referensi Sumber:
Dedi Arman, PERKEBUNAN KARET DAN KEBANGKITAN EKONOMI DI AFDEELING INDRAGIRI TAHUN 1920-AN Rubber Plantations and Economic Revival in Afdeeling Indragiri in the 1920’s
Ann Laura Stoler, "Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra, 1870 - 1979 (2005 : 142 )
Poesponegoro, Marwati Djoenoed Poesponegoro. 2019. Sejarah Nasional Indonesia V. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka
Touwen, Jeroen. 2001. Extremes In The Archipelago. Trade and Economic Development
in The Outer Islands of Indonesia 1900--1942. Leiden: KITLV Press.
Purwanto, Bambang. 1997. “Migrasi dan Kesempatan Kerja: Persoalan Tenaga Kerja dalam Perkebunan Karet Rakyat di Sumatera Bagian Selatan pada Akhir Masa Kolonial”. Dalam Laporan Kongres Nasional Sejarah (KNS) 1996 Subtema
"Dinamika Sosial Ekonomi". Jakarta: CV Putra Sejati Raya.
Inagurasi, Libra Hari. 2014. “Pola Pemukiman Kawasan Perkebunan Karet Masa Hindia
Belanda Di Bogor”. Amerta 32.