AWALNYA, kami cuma mau menebarkan bibit-bibit pohon di hutan. Pagi-pagi berangkat, mobil dipaksa masuk, sampai sebatas mampunya menerobos hutan. Kami bawa dua kresek besar bibit pohon Bintaro dari pekarangan rumah. Namanya mirip nama saya, ya?
Oleh : Bintoro Suryo
KATA almarhum bapak, nama depan saya adalah perpaduan dari tanah kelahirannya yang berawal dari sebuah kampung kecil bernama Bintoro di Jawa Tengah, kemudian membesar menjadi sebuah kesultanan bernama Demak Bintoro. Nama itu juga untuk menandakan tempat kelahiran saya di pulau Bintan, kepulauan Riau. Bapak menyebut, nama Bintoro idiom dengan nama pulau Bintan.
“Bintoro itu ya juga berarti Bintan, pulau tempat kamu lahir”, kata alm. Bapak saat saya masih SD dan tinggal di Tanjungpinang, pulau Bintan, era 1980-an silam.
Walau agak bingung dengan jawabannya saat itu, saya manggut-manggut saja, “iya ya, sama-sama ‘Bin’ awalannya”, pikir saya.
Pohon Bintaro ini, sering juga disebut sebagai sea mango karena memiliki buah yang mirip seperti mangga apel. Termasuk dalam jenis tanaman mangrove. Tapi bukan jenis tanaman mangrove asli nusantara secara umum, walau ada satu jenis yang sudah ditemukan sejak zaman dahulu di wilayah laut China Selatan, termasuk semenanjung Malaya.
Dalam beberapa penyebutan, orang mengenalnya dengan nama yang berbeda-beda. Seperti leva, toto, vaza, mangga laut, plam kasuari (Cassowary Plum), dan Bentan. Bentan?
Ya, orang semenanjung Melayu mengenali pohon bernama genus cerbera itu dengan sebutan pokok Bentan. Umumnya tumbuh di wilayah pantai dan daerah payau. Namun bisa tumbuh baik juga di daratan yang lebih tinggi. Ada satu kelompok pohon cerbera ini yang tumbuh subur di kawasan Kepulauan Riau hingga perairan di kepulauan laut Cina selatan secara umum. Namanya Cerbera Manghas atau Bentan.
Pada sumber catatan di Wikipedia tentang pohon Bentan’ yang bersumber dari Journal of The Malayan Branch of The Royal Asiatic Society, volume 25 terbitan tahun 1952, disebutkan bahwa ‘pokok Bentan’ merupakan tanaman yang banyak terdapat di semenanjung Malaya. Di Singapura, jenis ini disebut sebagai pohon Pongpong .
Melihat topografi pulau Bintan, terutama di bagian pesisirnya yang juga banyak didominasi oleh hutan-hutan bakau pada masa silam, juga merupakan tempat yang cocok untuk pertumbuhan tanaman cerbera ini. Apalagi, cerbera merupakan bagian kelompok tanaman mangrove juga. Saya akhirnya tahu, kenapa bapak menyebut nama saya berasal dari nama pulau tempat saya dilahirkan; pulau Bintan.
Apakah nama pulau Bintan yang dahulunya lebih sering disebut; ‘Bentan’, berasal dari pohon cerbera manghas yang memang banyak tumbuh di sana?
Penamaan nama sebuah wilayah atau pulau di Kepulauan Riau yang diambil dari nama tumbuhan atau pohon khas yang tumbuh di sekitarnya, sebenarnya merupakan hal yang lazim pada masa dahulu.
Seperti juga pulau Pecong, sebuah pulau kecil di sisi pulau Bulan yang diambil dari nama tumbuhan bernama pohon Pucung. Sejenis tanaman beracun , mulai dari batang, akar, daun hingga buahnya, seperti halnya pokok Bentan. Atau penamaan sebuah pulau kecil berhampiran kampung Bagan di Batam yang bernama Traling. Pulau kecil itu dinamai Traling, bersumber dari tanaman pohon Teralin yang banyak ditemui di sana pada masa lalu (baca : Traling, pulau Kecil yang Ditinggalkan Penduduknya)
Secara umum, jenis pohon ini memang biasa dijumpai di sepanjang wilayah pantai atau hutan bakau. Di Indonesia saat ini, pohon cerbera mulai banyak dibudidaya sebagai tanaman peneduh jalan karena kemampuannya untuk hidup di dataran yang lebih tinggi selain di kawasan pantai.
Walau memiliki buah mirip mangga, tapi itu tidak bisa dimakan. Ada racun yang bisa menyebabkan kematian. Getah dari daun dan buahnya itu disebut mengandung bahan yang bisa mempengaruhi jantung. Sejenis glikosida yang disebut cerberin. Sangat beracun jika termakan. Sumber lain bahkan menyebut getahnya sejak dulu juga sering dipakai sebagai racun panah/tulup untuk berburu dan sangat mematikan.
“Kita sebar aja bibitnya di hutan, bah”, kata isteri memberi ide saat melihat banyaknya buah Bintaro di pekarangan rumah yang jatuh dan berubah jadi bibit.
Mobil kami bisa masuk hingga hampir 2 km di dalam hutan Duriangkang, kemudian, kami parkirkan begitu saja di pinggir jalan setapaknya.
“Kok berhenti di sana, mas? Mobilnya bisa terus kok”, tegur seorang pria yang mengendarai sepeda motor saat bertemu kami yang sedang berjalan kaki di dalam hutan. Namanya mas Roso.
Ia ternyata merupakan petani penggarap kebun di dalam hutan ini. Hampir 3 km ke dalam hutan, kami memang menemukan areal perkebunan yang cukup luas. Ada beberapa warga juga yang tinggal di sana.
Mas Roso tidak tinggal di dalam hutan ini. Tapi, hampir tiap hari, ia selalu masuk ke hutan ini, menggarap kebun sayurnya.
“Biar di sana saja, kami mau jalan kaki. Mau nyebarin bibit-bibit pohon ini”, kata saya padanya.
“Kalau mau mampir, di sana ada teman-teman, ada mushala juga”, ujarnya ramah.
Sejauh mata memandang kemudian, yang terlihat hamparan kebun sayur. Aneka sayur ditanam di sini. Kami baru berhenti di sebuah pondokan kecil, ketika kaki mulai lelah. Ada sepasang suami istri yang ramah. Awalnya, saya mengira mereka berasal dari pulau Jawa.
“Saya dari Medan, pak. Sumatra Utara”, kata sang pria yang bernama pak Isu.
Serasa sedang tidak berada di Batam. Gak terasa, berjam-jam kami di sana. Ikut memanen sayuran, berinteraksi dengan mereka, orang-orang baik yang masih bersahaja.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel dan video ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com