DUA dekade sejak puluhan ribu orang tewas diterjang tsunami Samudra Hindia di 2004 – yang tercatat paling fatal – Indonesia, Thailand dan Malaysia telah mempersiapkan sistem peringatan dini, namun sejumlah aktivis mengatakan bahwa kesiapsiagaan bencana masih kurang.
TSUNAMI melanda setelah gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter di lepas pantai pulau Sumatra pada 26 Desember 2004. Gelombang besarnya menempuh jarak ribuan mil, menimbulkan kehancuran dan menewaskan lebih dari 230.000 orang di 17 negara Asia dan Afrika yang lengah akan bencana tersebut.
Dikenal sebagai Tsunami Samudra Hindia, gempa dahsyat ini menyebabkan kenaikan permukaan laut yang sangat besar dan menyebar dengan cepat melintasi perairan, menghantam lebih dari selusin negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, serta Afrika Timur pada hari itu.
Di Aceh, – yang dekat dengan episentrum gempa di bawah laut –lebih dari 167.000 korban tewas diterjang tsunami, sementara di negara-negara tetangga Thailand dan Malaysia masing-masing melaporkan lebih dari 8.200 dan 75 korban tewas, menurut data dari Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat.
Di sepanjang pantai Aceh, gelombang tsunami mencapai ketinggian 167 kaki (51 meter). Gelombang tersebut dipicu oleh gempa bumi yang episentrumnya berada 19 mil (30,5 km) di bawah dasar laut, dan terjadi pada hari Minggu pagi pada 26 Desember 2004.
Dua puluh tahun kemudian, seorang penyintas Aceh menyerukan agar negara berbuat lebih banyak untuk persiapan bencana.
Irma Lisa, yang desanya kehilangan 90% penduduk, telah mendedikasikan dirinya untuk mengajarkan generasi muda tentang risiko tsunami.
“Pemerintah tidak berbuat cukup banyak untuk mendidik generasi mendatang,” katanya kepada BenarNews. “Beberapa sekolah terletak sangat dekat dengan laut, namun kesiapsiagaan bencana sama sekali tidak ada, tidak hanya dalam kurikulum mereka, tetapi bahkan dalam kegiatan ekstrakurikuler mereka.”
Irma, yang merupakan sekretaris desa Mon Ikeun, mengenang hari ketika ombak raksasa tersebut menghancurkan desanya.
“Kami melihat air laut naik dan berteriak kepada warga di sepanjang jalan untuk lari,” katanya kepada BenarNews.
“Kami tidak tahu bahwa itu adalah tsunami.”
Kendati demikian, pejabat yang mengordinasikan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana dan Tsunami di Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, mengatakan Aceh telah memiliki sistem deteksi yang canggih, namun, dia mengindikasikan bahwa beberapa komponen termasuk pelampung yang memantau perubahan permukaan laut telah rusak.
“Sistem utamanya, termasuk sensor gempa, masih berfungsi dengan baik dan bahkan telah ditingkatkan baru-baru ini,” kata Muksin.
Ia menekankan bahwa teknologi yang paling canggih sekalipun tidak dapat menggantikan penilaian dan tindakan manusia.
“Di sini ada pemahaman umum bahwa kami hidup di daerah rawan gempa dan kesadaran ini telah menghasilkan praktik pembangunan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia,” katanya.
Menurut para pejabat, sistem peringatan dini Indonesia terutama bergantung pada kombinasi sensor termasuk seismometer, instrumen GPS, pengukur pasang surut, dan sensor tekanan dasar laut. Mereka juga mengatakan bahwa pelampung tidak diperlukan, karena bisa rusak atau dicuri oleh nelayan.
Ketika gempa bumi bawah laut terjadi, sistem menggunakan data dari sensor yang ditempatkan di sepanjang dasar laut untuk mendeteksi perubahan permukaan laut yang diakibatkannya. Informasi ini diteruskan ke stasiun pemantauan pusat dimana para ahli menganalisis data untuk menentukan kemungkinan terjadinya tsunami.
Lokasi-lokasi utama untuk sistem ini meliputi wilayah di Sumatera, khususnya Padang, serta wilayah di Jawa Selatan, Bali, dan wilayah pesisir lainnya yang berisiko terkena tsunami.
Jika potensi tsunami terkonfirmasi, peringatan akan dikeluarkan kepada otoritas terkait dan masyarakat, menggunakan berbagai metode komunikasi, termasuk pesan teks, siaran radio, dan sirene.
‘Risiko tetap tinggi’
KEPALA Badan Perencanaan Pembangunan Aceh, Ahmad Dadek, mengatakan wilayah tersebut masih rentan terhadap tsunami.
“Risiko bencana kita masih tinggi, tetapi indeks ketahanan masih rendah,” kata Dadek kepada BenarNews, mengacu pada kapasitas untuk mengatasi dan pulih dari bencana.
Dadek mengatakan bahwa untuk memitigasi bencana, pemerintah Aceh telah mengambil sejumlah langkah untuk memasukkan kawasan-kawasan rawan bencana dalam perencanaan kota.
“Namun, implementasi di lapangan lebih rumit dari yang kami perkirakan,” katanya.
“Wilayah pesisir awalnya direncanakan sebagai kawasan tanpa pemukiman, namun karena berbagai masalah, wilayah-wilayah tersebut sudah menjadi kawasan padat penduduk. Kami harus mengambil langkah-langkah tambahan.”
Untuk seorang penyintas seperti Arif Munandar, 55, kesiapsiagaan bencana adalah hal yang penting. Dia kehilangan 27 anggota keluarga akibat bencana tersebut. Arif adalah teknisi di badan pengelolaan bencana Aceh yang mengelola sistem peringatan dini dan memimpin program edukasi masyarakat.
“Pemerintah memanfaatkan berbagai media, seperti video dan YouTube, untuk mendidik masyarakat tentang tsunami,” katanya kepada BenarNews. “Media berfungsi sebagai alat yang efektif untuk menyampaikan informasi dan melibatkan masyarakat dalam simulasi bencana.”
Di tempat lain, pemerintah Thailand telah memasang dua stasiun deteksi tsunami –pada tahun 2006 sekitar 965 km (600 mil dari) Phuket dan pada tahun 2017 sekitar 340 km (211 mil) dari Phuket dan di dalam zona ekonomi eksklusif.
Seorang senator Thailand menyatakan kekhawatiran bahwa peringatan dari detektor tersebut dapat diabaikan.
“Aspek yang paling menakutkan adalah kurangnya kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat. Bahkan dengan adanya pelampung peringatan, peringatan dini tergantung pada masyarakat, apakah mereka memahami kapan harus bersiap terhadap sinyal peringatan yang potensial,” kata Ratchaneekorn Thongthip kepada BenarNews.
“Di Thailand, kami lebih menekankan pada pemulihan pascabencana daripada pencegahan. Kami mengalokasikan anggaran yang besar untuk upaya pemulihan, tetapi tidak pernah mengalokasikan dana yang sama untuk pencegahan dan kesiapsiagaan,” kata Senator Ratchaneekorn, pendiri Museum Tsunami Internasional di Phang Nga, provinsi Thailand di Laut Andaman yang paling terdampak akibat tsunami tahun 2004.
Ratchaneekorn menyerukan pergeseran fokus “karena kesiapsiagaan akan mengurangi kerusakan akibat bencana apa pun.”
Jaringan sirine Malaysia
SEMENTARA itu di Malaysia, departemen meteorologi (METMalaysia) mendirikan Sistem Peringatan Dini Tsunami Nasional, yang telah diintegrasikan ke dalam berbagai sistem termasuk Pusat Peringatan Tsunami Pasifik yang dikelola AS di Hawaii dan Badan Meteorologi Jepang.
Mohd Hisham Mohd Anip, direktur jenderal METMalaysia mengatakan sistem mereka memiliki 83 sirene yang dipasang di seluruh negeri yang aktif bersamaan dengan layanan pesan singkat (SMS) dan peringatan media saat ancaman teridentifikasi, dan latihan tanggap tsunami telah dilakukan sejak 2006.
“Malaysia menyadari bahwa publik harus sadar akan resiko tsunami,” katanya kepada BenarNews. “Kesadaran sangat penting karena menjadi faktor penentu dalam mitigasi resiko tsunami kepada publik.”
Pihak berwenang di ketiga negara tidak menyediakan jumlah yang detil mengenai berapa kali sistem peringatan itu telah teraktivasi.
Di Amerika Serikat, NOAA mengakui bahwa “tragedi Samudra Hindia merupakan peringatan bagi dunia tentang bahaya tsunami,” seraya menambahkan bahwa mereka telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk meningkatkan deteksi di Pusat Peringatan Tsunami Pasifik di Hawaii dan lokasi lainnya. Pada tanggal 26 Desember 2004, lembaga tersebut telah mendeteksi gempa bumi di lepas pantai Sumatra dan mencoba membantu memperingatkan negara-negara di Samudra Hindia tentang tsunami yang mendekat.
Langkah-langkah tersebut meliputi: meningkatkan jumlah pelampung Penilaian dan Pelaporan Tsunami Laut Dalam (DART) dari enam menjadi 39; memasang atau meningkatkan 188 stasiun pantai untuk mendukung operasi peringatan; meningkatkan jaringan untuk mengirimkan 100% data seismik secara real-time; dan mengembangkan model prakiraan.
Tsunami: Fenomena lama
PARA peneliti di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sedang terus berupaya mengungkap sejarah geologi wilayah tersebut, yang mengungkap adanya pola kehancuran.
“Kami telah menemukan bukti tsunami yang terjadi sejak 7.400 tahun lalu,” kata peneliti Nazli Ismail kepada BenarNews. “Dan polanya tidak teratur – ada kelompok tsunami yang lebih kecil diikuti oleh tsunami besar, dan kemudian periode tenang yang panjang.”
Pola yang tidak terprediksi seperti itu menunjukkan pentingnya kewaspadaan.
“Kita tidak bisa berasumsi bahwa hanya karena tsunami besar telah terjadi di 2004, kita aman selama 200 tahun ke depan,” kata Nazli. “Penelitian kami menunjukkan bahwa tsunami dapat terjadi dengan interval hanya 50 tahun, atau bahkan ribuan tahun.”
Di Thailand, senator Ratchaneekorn memberikan peringatan.
“Karena kita tidak tahu kapan [tsunami] akan terjadi, banyak yang berpikir, ‘Itu tidak akan terjadi selama masa hidup saya,’ atau bahwa itu adalah sesuatu yang jauh di masa depan.”
Uzair Thamrin di Banda Aceh dan Iman Muttaqin Yusof di Kuala Lumpur ikut berkontribusi dalam laporan ini.