INDEKS Dow Jones anjlok hingga 808 poin pada perdagangan saham di bursa efek New York, Amerika Serikat (AS), Rabu (14/8/2019) waktu setempat. Kejatuhan indeks Dow Jones dipicu oleh gelagat resesi ekonomi dari pasar obligasi.
Dari pasar surat utang, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun kini melebihi yield obligasi tenor 10 tahun. Sementara yield obligasi tenor 10 tahun turun 1,6 persen.
Artinya terjadi inversi yield, sebuah fenomena imbal hasil obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Menurut CNN.com, ini adalah inversi yield pertama sejak 2007 ketika imbal hasil obligasi tenor 10 tahun jatuh di bawah tenor 2 tahun.
Biasanya, investor akan mendapat keuntungan lebih banyak jika mereka menanamkan uangnya dalam obligasi tenor 10 tahun. Namun ketika terjadi inversi yield, investor justru lebih untung dengan menanamkan dananya pada obligasi tenor pendek.
Obligasi pemerintah AS selama ini disebut “safe-haven” alias portofolio investasi paling aman dan menguntungkan meski situasi ekonomi sedang goyang. Sebaliknya dengan pasar saham yang mudah digoyang oleh gonjang-ganjing ekonomi.
Tak pelak, kalangan investor menilai resesi ekonomi segera terjadi. Kalangan investor pun memindahkan dananya dari pasar saham ke obligasi.
Akibatnya, indeks Dow Jones jatuh hampir 3,1 persen ke 25.479,42 poin –terendah dalam sebulan terakhir. Sementara indeks S&P 500 turun 2,9 persen dan Nasdaq terjun 3 persen pada perdagangan hari Rabu (14/8). Ini adalah hari perdagangan saham terburuk di AS sepanjang 2019.
Bagi para investor, ini merupakan gelagat lanjutan setelah perekonomian Jerman –terbesar di Eropa– menyusut pada triwulan kedua 2019. Lantas perang dagang antara AS dengan Tiongkok makin serius menyusul penurunan nilai (devaluasi) mata uang Yuan.
Lantas, Tiongkok sebagai satu dari dua ekonomi terbesar di dunia juga mengalami penurunan pertumbuhan industri paling buruk dalam 17 tahun terakhir pada Juli lalu. Menurut para analis yang digalang Reuters (h/t CNN.com), pertumbuhan industri Tiongkok turun 5.8 persen dibanding 6,3 persen pada Juni 2019.
Perekonomian pada 2019 memang sudah diprediksi melambat, bahkan resesi, karena berbagai indikator tadi menurun. Dan pemindahan dana para investor ke pasar obligasi bisa memukul kalangan dunia usaha yang berada di pasar saham.
“Inversi yield menandakan resesi akan terjadi dan para investor ramai-ramai hijrah dari bursa saham. Perusahaan bisa kehilangan keuntungan dari pasar saham hingga 20 persen,” ujar Kepala Ekonom MUFG Union Bank Chris Rupkey dikutip New York Post, Rabu (14/8).
Meski begitu, Analis Senior LPL Financial Ryan Detrick dalam siaran persnya menyatakan resesi belum tentu segera datang karena rerata terjadi 21 bulan setelah inversi yield awal. Detrick belajar dari resesi ekonomi dunia pada 1969.
“Inversi yield memang mengkhawatirkan, tapi jangan lupa bahwa ini bukan sinyal waktu yang sempurna karena rerata resesi justru terjadi 21 bulan setelah inversi awal,” katanya.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump melalui Twitter menyalahkan Direktur Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell yang melakukan inversi yield.
“Masalahnya ada pada The Fed. Mereka menaikkan yield terlalu banyak dan terlalu cepat. Sekarang terlalu lambat untuk memotongnya…negara-negara lain mengucapkan terima kasih kepada Powell dan Federal Reserve,” tukas Trump.
Sumber : CNN / Yield / Reuters / Beritagar