RESESI global 2023 menjadi tantangan baru bagi komunitas perekonomian dunia yang mau tidak mau harus dilewati. Sebagai bagian dari rantai pasok global, Batam juga diperkirakan akan mengalami dampak dari resesi.
Tapi di tengah ketidakpastian akibat isu tersebut, Himpunan Kawasan Industri (HKI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan Batam masih memiliki peluang untuk bertahan, bahkan dapat juga mengambil keuntungan.
Ketua Bidang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas HKI, Tjaw Hioeng mengatakan Batam dapat mengambil kesempatan dari tensi perang dagang yang masih berlanjut antara Amerika dan China.
“Masih ada peluang yang Batam dapat optimalkan, meskipun ancaman resesi memang buat khawatir dunia usaha,” kata Tjaw, Jumat (18/11).
Selain perang dagang, kedua negara adidaya itu juga tengah menjalani perang teknologi, dimana Amerika tengah membatasi ekspor dan impor semikonduktor untuk kebutuhan industri teknologi untuk China.
Bahkan, Amerika juga ingin membatasi ekspor mesin pembuatan chip untuk menghambat perkembangan industri teknologi di China.
Karena hal tersebut, perusahaan teknologi di China akan mencari tempat relokasi baru. Sehingga potensi Batam sangat besar untuk mendapatkan keuntungan dari persoalan tersebut.
Meskipun begitu, tentu saja negara lain di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Malaysia mengincar kesempatan yang sama dengan Batam.
“Pemerintah harus memastikan Batam itu kompetitif, caranya yakni dengan mempermudah proses perizinan, memberikan insentif fiskal dan non fiskal, dan fasilitas menarik lainnya,” jelasnya.
Cara tersebut pasti juga ditiru negara-negara pesaing, sehingga akan lebih baik jika pemerintah menambah fasilitas yang sudah ada, dan tentu saja harus lebih menarik.
Tjaw kemudian membeberkan bahwa saat ini sejumlah perusahaan Tiongkok tengah melirik Batam, sebabnya karena produk manufaktur Batam yang mudah masuk Amerika. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya impor bahan baku dari China, dan meningkatkan ekspor Batam ke Amerika. Namun, hal tersebut masih butuh realisasi panjang.
Selanjutnya, Tjaw berbicara mengenai perlambatan ekspor Kepri di September 2022. Menurutnya, hal tersebut merupakan sinyal resesi sebagai dampak menurunnya permintaan global terhadap Batam. Industri di Batam berkontribusi seebsar 76,6 persen dari total ekspor Kepri.
Untuk menjaga kestabilan ekspor Batam di tengah resesi, agar tidak terganggu dengan kondisi global nanti, salah satu caranya yakni memperkuat fasilitas Inland Free Trade Area (FTA), yang regulasinya terdapat dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13/2015 tentang Kebijakan Fasilitas Perdagangan Bebas di Dalam Negeri.
Untuk saat ini, Inland FTA belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh industri di Batam. Sebabnya, karena kewajiban untuk memenuhi Tingkat Kandungan Dalan Negeri (TKDN) sebesar 40 persen dari sektor penerima fasilitas tersebut, masih sulit untuk diimplementasikan.
Sejumlah produk industri Batam yang tak memenuhi syarat, harus dikenakan bea masuk sebesar 10 persen, tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2,5 persen dan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.
Dengan begitu, maka produk Batam tidak akan mampu bersaing dengan produk yang dari negara lain.
“Jangan sampai produk yang sama diproduksi di Batam, tapi kalah saing dari sisi taxnya dengan produk yang disupply dari negara tetangga kita. Masih ada waktu untuk merivisi aturan inland FTA ini,” jelasnya.
Kembangkan Industri Semikonduktor
Sementara itu Ketua Apindo Batam, Rafki Rasyid mengatakan isu resesi membuat khawatir dunia usaha di Batam. Pasalnya, baik itu Singapura, Amerika dan China yang merupakan mitra utama dagang Batam juga terancam resesi, sehingga sangat mungkin menyebabkan terjadi penurunan permintaan produk industri manufaktur di Batam.
Sebagai langkah awal, Batam harus bisa memperluas jangkauan ekspornya dengan mengembangkan industri semikonduktor. Saat ini, krisis chip masih terjadi di seluruh dunia sehingga kehadiran industri model tersebut akan membuat Batam memiliki negara baru sebagai mitra dagang.
Peluang lainnya yang bisa dimanfaatkan yakni industri yang berbasis energi terbarukan, seperti produsen mobil listrik. Indonesia saat ini memang tengah mendorong penggunaan mobil listrik dimulai dari sektor pemerintahan, untuk menyongsong penggunaan energi terbarukan di segala lini.
“Saat ini sudah ada beberapa investor yang masuk mengembangkan industri energi baru dan terbarukan. Ini akan lebih lengkap jika Batam bisa menghadirkan pabrik mobil listrik,” paparnya.
Berbicara mengenai langkah antisipasi menghadapi resesi, Rafki melihat dunia usaha di Batam sudah bersiap dengan sejumlah solusi, mulai dari menahan diri tidak menambah bahan baku ataupun merekrut tenaga kerja, sembari melihat perkembangan kondisi ekonomi global.
“Ini tentunya akan membuat melambatnya permintaan terhadap tenaga kerja di Batam. Kita berharap jangan sampai terjadi PHK tentunya,” katanya.
Namun Apindo berharap penurunan permintaan global tidak begitu drastis. Sehingga pelaku usaha di Batam dapat tetap mengekspor produknya ke berbagai negara yang menjadi mitra Batam.
Rafki juga berharap pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan apabila memang nanti terjadi resesi global yang mengancam keberlangsungan usaha di Batam.
“Mungkin beberapa insentif dalam bentuk keringanan pajak dan restrukturisasi kredit bisa diberikan kepada perusahaan perusahaan di Batam,” ujarnya.
Apindo berharap BP Batam terus bekerja membenahi infrastruktur investasi terutama pelabuhan dan berusaha untuk mengisi lahan kosong di Batam dengan investor baru. Apindo akan terus bekerja sama dan memberikan masukan yang konstruktif kepada BP Batam agar Batam bisa lebih maju lagi bersaing dengan kawasan ekonomi khusus lain di negara-negara di kawasan ASEAN (leo).