KEJUTAN kembali terjadi dalam Piala Dunia 2022 di Qatar. Setelah Arab Saudi mengukir sejarah dengan mengalahkan Argentina 2-1, giliran Jepang menumbangkan Jerman dengan skor yang sama, 2-1.
Jepang merupakan salah satu tim tersukses di Asia. Jepang berhasil menjuarai empat kali Piala Asia (1992, 2000, 2004, 2011), runners-up Piala Konfederasi FIFA (2001), dan tujuh kali tampil di Piala Dunia. Pertama kali tampil di Piala Dunia 1998 di Prancis membuat Jepang menempati rangking sembilan FIFA. Penampilan terbaik Jepang di Piala Dunia lolos ke babak 16 besar pada 2002, 2010, dan 2018.
Kemajuan Jepang dalam waktu singkat menjadi inspirasi dan contoh bagaimana mengelola sepakbola. Sepakbola Jepang baru sepenuhnya profesional pada 1990-an setelah belajar kepada sepakbola Indonesia. Ironisnya, prestasi sepakbola Jepang kemudian meninggalkan jauh sepakbola Indonesia. Kalau perlu, Indonesia balik berguru pada Jepang selaku salah satu raksasa Asia saat ini.
Pada 1991, Jepang pernah berguru ke Indonesia saat membenahi liganya yang saat itu masih semi-profesional. “Semi profesional karena pemain klub, misal Matsushita (maksudnya Gamba Osaka, red.), ya pemainnya diambil dari pegawai Matsushita, bukan orang luar yang memang dikontak karena skill-nya,” ujar Ricky Yacob, pemain legendaris yang menjadi pemain Indonesia pertama dikontrak klub Jepang, kepada Historia.ID beberapa waktu lalu.
Jepang mempelajari betul Galatama (Liga Sepakbola Utama), kompetisi profesional Indonesia yang lahir pada 1979. “Itu awalnya melihat dan mendapatkan konsep (liga) bahwa yang paling bagus model Galatama. Jadi tim-timnya bukan terkait dengan instansi pemerintah tapi dengan perusahaan besar. Tapi justru setelah itu di Indonesia malah terkait dengan pemerintahannya seperti itu. Karena banyak skandal suap juga di Galatama. Namun bukannya dicari solusinya, malah akarnya dicabut (Galatama bubar),” kata Timo Scheunemann, mantan pelatih dan eks Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI, kepada Historia.ID beberapa waktu lalu.
Jepang pada akhirnya bukan sekadar mampu membuat liga profesional, namun mengembangkannya lebih jauh sehingga laku dijual. Soal pendidikan pelatih dan pembentukan sejumlah akademi di bawah klub-klub profesionalnya juga menjadi inti pembenahan oleh JFA (Federasi Sepakbola Jepang).
Hasilnya, pada 1993 Jepang sudah punya kompetisi profesional, J-League. Sejumlah pemain Jepang kemudian dilirik klub top Eropa. Kazuyoshi Miura mempelopori pesepakbola profesional Jepang ke liga Eropa ketika dia dikontrak klub Serie A Genoa. Namun, bintangnya tak seterang Hidetoshi Nakata yang mengikuti jejaknya beberapa tahun kemudian dengan klub Perugia.
Di perantauan, mental para pemain Jepang ditempa dan itu terbawa saat mereka pulang untuk membela timnas Jepang. Hasilnya, sejak 1995 Jepang tak pernah absen masuk Piala Dunia Junior dan sejak 1998 juga senantiasa lolos ke Piala Dunia.
Kemauan Jepang belajar dan melewati fase-fase pembelajaran itu mestinya ditiru Indonesia. Sayang, hal itu justru hilang dari persepakbolaan Indonesia tiga dekade belakangan.
“Kalau memang dikatakan (Indonesia) tidak tertinggal, tentu akan terlihat di timnas senior. Tapi nyatanya kita masih tertinggal jauh. Enggak bisa mengejar kalau pendidikan pelatih tidak digencarkan, kemudian akademi-akademi yang ada diperbaiki dan diseriusi lagi, tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan,” kata Timo.
Senada dengan Timo, Ricky mengatakan, salah satu prasyarat yang harus dilalui untuk memperbaiki persepakbolaan Indonesia adalah kompetisi tingkat junior.
“Yang di bawah ini mesti dibenahi dulu, disediakan wadah kompetisi. Di situ kita bisa lihat mana anak yang benar-benar bagus sehingga kita punya database. Jadi, enggak terjadi lagi PSSI mau cari pemain usia sekian, 800 orang mesti diseleksi selama tiga hari. Bagaimana menyeleksinya?” ujar Ricky.
Pembinaan di akademi memang bukan investasi yang “basah”. Namun, itu harus dilalui jika ingin persepakbolaan Indonesia maju. Hasil dari proses panjang itu bisa dilihat dalam prestasi Jepang, China, dan India yang mulai seirus membangun pembinaan pemain usia mudanya.
“Mesti dilakukan secara profesional demi Indonesia juga. Karena timnas itu hasil liga profesional yang bagus. Liga yang bagus bahan bakunya ya dari akademi. Kita enggak bisa selalu bicara tentang duit seperti di Eropa,” tutup Timo.
(*)
Sumber: historia.id