Cerita di Balik Terbitnya Supersemar
Karena membubarkan PKI di Jawa Barat, nasib Ibrahim Adjie sama dengan Soeharto, dimarahi Panglima Tertinggi.
13 Maret 1966. Hari itu, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie baru saja tiba di kediaman Mayor Jenderal Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta. Maksud hati ingin bertemu dengan panglima Kostrad tersebut, namun di ruangan tamu dia justru menemukan Wakil Perdana Menteri II J. Leimena.
“Babe (Bapak) cerita, dia kaget. Lalu bertanya apa yang dilakukan Pak Leimena di rumah Pak Harto?” ungkap Kikie Adjie, salah satu putra Ibrahim Adjie.
Tanpa diminta, Leimena menuturkan jika dia ditugaskan Presiden Sukarno untuk memberikan surat susulan, terkait Surat Perintah Sebelas Maret yang dua hari sebelumnya sudah dikeluarkan Bung Besar (panggilan akrab Sukaro di lingkungan terdekatnya).
Surat susulan itu sendiri berisi perintah ‘Untuk kembali kepada pelaksanaan Surat Perintah Presiden/ Panglima Tertinggi/Mandataris MPR/ Pemimpin Besar Revolusi, dengan arti: melaksanakan secara teknis saja serta tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bidang teknis.’
“Bung Karno marah besar karena dengan Supersemar itu, hal pertama yang dilakukan Soeharto adalah membubarkan PKI,” ujar Leimena.
“Kenapa harus marah? Siapa yang membubarkan PKI?” tanya Adjie seperti dikisahkan dalam Pikiran Rakyat, 7 Oktober 1989.
“Ya Jenderal Soeharto,” jawab Leimena.
“Lha bagaimana? Betul Soeharto yang membubarkan PKI, tapi kan dia melakukannya berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret,” kata Panglima Kodam Siliwangi itu.
Ibrahim Adjie Bubarkan PKI
Adjie bisa memahami tindakan yang dilakukan Soeharto. Empat bulan sebelumnya, dia malah sudah terlebih dahulu membekukan kegiatan PKI di Jawa Barat. Pembekuan tersebut tentunya bukan tanpa alasan yang kuat, terutama dari sisi keselamatan jiwa orang-orang PKI.
Usai meletusnya peristiwa 30 September 1965, di Jakarta mulai marak aksi-aksi pengganyangan terhadap PKI. Pada 10 Oktober 1965, kantor CC PKI yang beralamat di Jalan Kramat Raya no.81 dibakar massa anti-komunis. Orang-orangnya diburu, disiksa dan bahkan dibunuhi.
Hal yang sama terjadi pula di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Dalam waktu yang sangat singkat, tiba-tiba saja jutaan pengikut komunis di Indonesia menjadi musuh masyarakat nomor satu.
Situasi tersebut tentu saja membuat Ibrahim Adjie dan Gubernur Mashudi waswas. Baru saja pada 1962, masyarakat Jawa Barat lepas dari perang saudara dengan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), apakah harus lagi berhadapan dengan kekerasan? Demikian pikir Adjie dan Mashudi saat itu.
Merasa tidak tega lagi memberikan situasi yang berdarah-darah kepada masyarakat Jawa Barat, Adjie dan Mashudi lantas membuat keputusan yang sangat krusial: membubarkan PKI di Jawa Barat.
“Melalui briefing di Aula Kodam VI pada 17 November 1965, Pangdam VI/Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie di hadapan para wakil partai politik dan organisasiorganisasi massa mengumumkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya,” tulis buku Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya (disusun oleh Pusat Sejarah TNI).
Kemarahan Sukarno
Akibat keputusan itu, Ibrahim Adjie mengalami nasib yang sama seperti Soeharto. Dia lantas dipanggil Presiden Sukarno ke Istana Bogor. Di hadapan ‘anak kesayangannya’ itu, Bung Besar menumpahkan rasa kecewa dan marahnya.
“Itu hak prerogatif presiden, bukan wewenangmu, Djie!” ujar Sukarno.
“Tapi saya bertanggungjawab terhadap rakyat Jawa Barat, Pak. Dengan membubarkan PKI, maka saya dapat ‘melindungi’ para anggotanya dari amukan masyarakat,” jawab Adjie.
Bung Karno tetap tak terima. Dia kembali menyatakan bahwa ‘kesalahan segelintir pimpinan PKI, tidak berarti menjadikan partai-nya menjadi salah’.
Sebaliknya, Adjie pun ngotot merasa telah berbuat benar. Perdebatan pun tak menemui ujung. Mereka berdua akhirnya berpisah dalam situasi yang tidak mengenakan.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Adjie kemudian naik pangkat menjadi letnan jenderal. Namun kenaikan itu dibarengi penugasan dari presiden untuk menjadi duta besar di Inggris. Sebagai tentara, tanpa banyak pertimbangan, Adjie menerima tugas itu dengan lapang dada.
(*)
Seperti dikutip dari artikel di merdeka.com dengan judul : "Setuju Pembubaran PKI, Ibrahim Adjie Dimarahi Bung Karno"