Hubungi kami di

Histori

Tak Ada Beras, Gandum pun Jadi

Awal mula orang Indonesia mengonsumsi makanan berbahan baku gandum seperti roti dan mi instan. Ada peran Soeharto dan Amerika Serikat.

Terbit

|

Liem Sioe Liong (tengah) bersama Sudwikatmono (kiri) dan Presiden Soeharto yang meresmikan pabrik Bogasari tahun 1971. F. Dok. Repro Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto

KENAIKAN harga gandum karena perubahan iklim dan perang Rusia-Ukraina membuat harga mi instan merangkak naik. Bahkan, sempat disebut bakal naik tiga kali lipat. Kabar ini menjadi perhatian publik karena mi instan merupakan makanan populer orang Indonesia.

Popularitas mi instan tak dapat dilepaskan dari awal mula perkenalan masyarakat Indonesia dengan gandum di masa awal Orde Baru.

Pada 1960-an, krisis ekonomi menghantam Indonesia. Inflasi yang menembus 650% menyebabkan kesejahteraan rakyat merosot . Kondisi itu memicu gelombang unjuk rasa mahasiswa yang menyuarakan Tritura (tiga tuntutan rakyat): bubarkan PKI, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.

Jenderal TNI Soeharto yang menggulingkan Sukarno menyadari pentingnya beras bagi rakyat Indonesia. Namun, persediaannya tidak memadai. Dia pun meminta bantuan dari Amerika Serikat.

Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto, negara-negara Barat yang dipimpin Amerika Serikat menyadari pentingnya menyalurkan bantuan makanan untuk menopang kebutuhan pangan masyarakat Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto yang anti-komunis. Setelah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik, Wakil Presiden Amerika Serikat Hubert Humphrey menyurati Presiden Amerika Serikat Lyndon Baines Johnson.

“Indonesia membutuhkan banyak sekali beras dan sedang berupaya mendapatkan beras tidak hanya dari AS… Meski begitu, mereka membutuhkan jauh lebih banyak dari AS… Saya menyarankan peningkatan penggunaan gandum dan bulgur (gandum tumbuk)…,” tulis Humphrey.

Amerika bisa memenuhi sebagian permintaan beras, tapi Soeharto terus meminta lebih banyak, mengingat ketergantungan orang Indonesia pada beras. Di sisi lain, Amerika ingin mempromosikan gandum yang melimpah.

Penasihat Keamanan Nasional Amerika Walter Rostow melaporkan bahwa Amerika berharap Indonesia seperti India bersedia belajar mengonsumsi gandum. Amerika kekurangan beras dan berniat meningkatkan areal tanaman padi seluas 20 atau 30 persen, tapi Amerika bisa mengirim gandum saat ini juga. Presiden Johnson yakin masyarakat Indonesia akan menyukai gandum ketika sudah terbiasa mengonsumsinya.

BACA JUGA :  45 Tahun MUI ; Lahir di Zaman Soeharto Berkuasa

“Seiring waktu, Soeharto mengisyaratkan bahwa gandum boleh juga kalau beras tidak bisa ditambah lagi,” tulis Borsuk dan Chng.

Akhirnya, pemerintah Indonesia menerima bantuan gandum dari Amerika meski kebanyakan rakyat Indonesia belum terbiasa mengonsumsi makanan olahan gandum seperti roti. Pada 1967, hanya kalangan menengah atas yang telah terbiasa mengonsumsi roti, makanan orang Eropa di zaman kolonial.

Gandum bantuan Amerika digiling di Singapura karena Indonesia belum memiliki pabrik penggilingannya. Saat mi instan hadir pertama kali di Indonesia pada 1968, PT Lima Satu Sankyu, perusahaan yang memproduksi Supermi, harus mengimpor bahan bakunya tepung terigu.

Pabrik penggilingan tepung terigu pertama di Indonesia didirikan oleh The Gang of Four, julukan untuk Liem Sioe Liong, Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono, saudara sepupu Soeharto. Pada 1969, mereka mendaftarkan PT Boga Sari dengan modal awal Rp500 juta. Ketika Soeharto menyetujui proyek tersebut, namanya diubah menjadi Bogasari Flour Mills.

Borsuk dan Chng menyebut sejak awal sudah jelas manfaat yang bisa diraup Soeharto dari pembangunan Bogasari. Anggaran Dasarnya pada 1970 menyatakan bahwa 26 persen keuntungan diberikan kepada Yayasan Harapan Kita yang diketuai Ibu Tien Soeharto, dan Yayasan Dharma Putra milik Kostrad. Soeharto adalah Panglima Kostrad pada 1965.

Soeharto meresmikan pabrik Bogasari di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, pada 29 November 1971. Dalam sambutannya, Soeharto mendorong masyarakat agar terbiasa mengonsumsi makanan-makanan berbahan olahan gandum.

BACA JUGA :  Satelit Palapa ; "Mainan" Soeharto dan Kebanggaan Orde Baru

“Kalau dahulu roti dan kue-kue dari tepung terigu hanya merupakan makanan golongan yang berpunya saja, sekarang telah menjadi bahan makanan masyarakat yang lebih luas dan tampaknya juga lebih praktis. Lagi pula bahan makanan dari tepung terigu termasuk bernilai gizi yang tinggi,” kata Soeharto dalam Berita Industri tahun 1972.

Bisnisnya berkembang membuat Bogasari menambah pabrik pengolahan gandum di kawasan Tanjung Perak, Surabaya. Dalam Jatuh Bangun Keluarga Salim Membesarkan Bogasari terbitan Tempo Publishing disebutkan, pabrik pengolahan gandum di Tanjung Priok telah berkali-kali diperluas. Pabrik itu mampu menghasilkan 500.000 ton terigu setahun. Guna meningkatkan produksi, pabrik pengolahan gandum yang berada di Tanjung Perak juga turut diperluas agar dapat memproduksi gandum dalam jumlah yang besar.

Sebagai penghasil tepung terigu, Bogasari menyasar pabrik-pabrik mi instan sebagai konsumennya. Seiring berjalannya waktu, Liem juga membangun pabrik mi instan dengan merek Sarimi. Sarimi kemudian merger dengan Indomie dan mengambil alih Supermi. Salim Group pun mendominasi pasar mi instan dengan tiga merek, terutama Indomie.

Menurut Borsuk dan Chng, pada masa-masa awal Bogasari, Salim tidak mendapatkan pemasukan besar karena konsumsi tepung relatif kecil. Namun, bisnis ini disiapkan untuk tumbuh berkembang karena dilindungi oleh penguasa dari persaingan. Di samping itu, ketika gagal panen mengakibatkan kelangkaan beras, pemerintah Soeharto menganjurkan konsumsi makanan berbasis tepung, yaitu roti dan mi.

“Setelah Salim menjadi raksasa mi instan, gandum menjadi bagian menu makanan orang Indonesia,” tulis Borsuk dan Chng. “Indonesia melompat menduduki tempat kedua konsumsi mi instan global setelah Tiongkok.”

(*)

Sumber: historia.id

Advertisement
Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Sebaran

Facebook