KEPALA babi yang terpenggal. Bangkai tikus. Ancaman pembunuhan daring. Serangkaian teror yang menargetkan Tempo, salah satu media investigasi paling berpengaruh di Indonesia, telah memicu kecaman dari Komnas HAM yang menyebutnya sebagai upaya sistematis untuk mengintimidasi jurnalis.
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Kamis memperingatkan bahwa serangan tersebut tidak hanya membahayakan kebebasan pers, tetapi juga mendorong jurnalis untuk melakukan penyensoran sendiri (self-censorship).
Teror dimulai pada 19 Maret 2025, ketika sebuah paket berisi kepala babi dengan kedua telinganya terpotong tiba di kantor Tempo di Jakarta. Paket itu ditujukan kepada Fransisca Christy Rosana, atau “Cica,” seorang wartawan desk politik dan pembawa acara podcast Bocor Alus Tempo.
Dua hari kemudian, paket lain ditemukan—berisi enam bangkai tikus tanpa kepala, dibungkus kertas kado bermotif bunga mawar merah.
“Pola serangannya sistematis, dugaannya untuk meneror atau mengancam serta mengintimidasi Tempo dan secara spesifik menargetkan seluruh jurnalis Tempo dan keluarganya,” kata Abdul Haris Semendawai, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM.
Serangan tersebut tidak hanya menimbulkan ketakutan, tetapi juga berdampak psikologis terhadap jurnalis yang menjadi target.
“Ada ancaman seperti kata-kata dihabisi dan lain-lain,” ujar Abdul Haris.
Indonesia selama dua dekade terakhir dikenal memiliki kebebasan pers yang lebih baik dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Namun, jurnalis yang meliput isu-isu sensitif sering kali menjadi sasaran tekanan.
Tempo, yang didirikan pada 1971, dikenal dengan liputan investigatifnya yang kritis terhadap pemerintah dan militer.
Di masa Orde Baru, majalah ini sempat dibredel oleh pemerintahan Soeharto. Setelah reformasi 1998, tekanan terhadap media menurun, tetapi ancaman terhadap jurnalis tetap ada.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 89 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2023, angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Laporan AJI menunjukkan bahwa kekerasan paling sering dialami oleh jurnalis yang meliput isu-isu akuntabilitas dan korupsi (33 kasus), kejahatan dan sosial (25 kasus), serta lingkungan dan konflik agraria (14 kasus).

Kepolisian menyatakan bahwa penyelidikan atas kasus ini masih berlangsung.
“Masih dalam penyelidikan. Kegiatan penyidik meliputi datang ke lokasi kejadian, koordinasi dan pendataan terhadap saksi-saksi,” kata Juru Bicara Mabes Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai teror terhadap Tempo sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers. LPSK telah menerima permohonan perlindungan dari satu wartawan dan satu petugas keamanan Tempo.
“LPSK sedang melakukan asesmen terhadap tingkat ancaman serta identifikasi kebutuhan terkait perlindungan kepada para reporter,” ujar Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati.
“Dari asesmen tersebut akan dapat diketahui langkah-langkah perlindungan yang dapat diberikan, termasuk perlindungan fisik, hukum, hingga relokasi jika diperlukan,” tambahnya.
Selain ancaman fisik, jurnalis Tempo juga menghadapi kekerasan digital seperti peretasan, serangan daring, serta doksing atau penyebaran informasi pribadi. Bahkan, keluarga mereka turut menjadi target ancaman, termasuk menerima paket mencurigakan dan panggilan telepon intimidatif.
“Mekanisme respons cepat pembela HAM telah dirancang bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Langkah-langkah preventif seperti pengamanan fisik, pemenuhan hak prosedural, dan relokasi akan diterapkan guna menjamin keselamatan jurnalis dan keluarganya,” kata Sri.

Teror terhadap Tempo hanyalah salah satu bentuk ancaman terhadap pekerja media. Dalam beberapa tahun terakhir, jurnalis yang meliput isu-isu kontroversial semakin sering menjadi sasaran kekerasan.
Pada Oktober 2023, sebuah bom molotov dilemparkan ke kantor redaksi Jubi di Jayapura, mengakibatkan kerusakan pada dua mobil yang terparkir.
Polisi menyelidiki kasus tersebut, tetapi hingga kini belum ada pelaku yang ditemukan. Kelompok HAM mencatat bahwa serangan terhadap media di Papua sering kali tidak ditindaklanjuti.
Di Sumatra Utara, seorang jurnalis tewas dibunuh setelah melaporkan kasus perjudian ilegal. Di Surabaya, jurnalis Tempo diserang saat meliput dugaan korupsi. Kasus kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi di Halmahera Selatan, terutama yang berkaitan dengan konflik lahan dan industri besar.
Meski Indonesia sering dianggap memiliki kebebasan pers yang lebih baik dibanding negara-negara tetangganya, sistem hukum sering gagal memberikan keadilan bagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan.
Laporan AJI menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku kekerasan adalah aktor negara (36 kasus), disusul aktor non-negara (29 kasus), dan tidak teridentifikasi (24 kasus).
Anggota Komnas HAM lainnya, Anis Hidayah mengatakan serangan terhadap jurnalis merupakan ancaman terhadap kebebasan pers.
“Ini berdampak pada pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi,” ujarnya.. “Selain itu melanggar hak berpendapat dan berekspresi, dalam konvensi ini hak untuk menyatakan sikap melalui tulisan dan lisan melalui media cetak yang juga hak sipil.”