TIDAK terasa puasa Ramadhan 1446 H akan segera berakhir dalam beberapa hari kedepan. Selanjutnya, umat muslim akan menyambut hari kemenangan atau yang biasa disebut lebaran alias Hari Raya Idul Fitri setelah satu bulan berpuasa.
Menjelang lebaran, umat muslim akan sibuk mempersiapkan banyak hal untuk menyambutnya. Mulai dari membuat kue, memasak menu makanan khas dan lezat, hingga menyiapkan uang THR untuk sanak keluarga.
Umumnya, mereka akan menukarkan sejumlah uang dalam bentuk pecahan bernominal lebih kecil. Misalnya, menukar uang pecahan Rp100 ribu menjadi pecahan Rp20 ribu, Rp10 ribu, hingga Rp5 ribu.
Menukar uang menjelang lebaran memang sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh hampir semua umat muslim disemua tempat.
Namun, apakah hukum menukar uang diperbolehkan? Apalagi jika dilihat dari syariat Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN), sudah memberikan fatwa nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Artinya, membeli dan menukar uang saat lebaran boleh dilakukan namun harus dengan prinsip sebagai berikut:
- Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Menukar uang bisa dikatakan sebagai perdagangan uang dengan uang. Meski MUI sudah menurunkan fatwa, namun menurut syariat Islam proses ini masih dalam perdebatan apakah diharamkan atau dihalalkan.
Tradisi perdagangan atau transaksi jual-beli uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.
Dukitip dari suara.com, Dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam (FAI) UM Surabaya, Arin Setyowati menyebut bahwa dalam konteks persoalan pertukaran uang dengan uang sejenis, hukumnya boleh dilakukan asalkan dalam penukaran uang tidak ada penambahan maupun pengurangan uang yang dibayarkan atas pecahan yang baru akan ditukar.
Namun, jika dalam penukatan uang tersebut ada perbedaan jumlah yang diterima, baik ditambah atau dikurangi, maka hukumnya menjadi haram.
Sementara, menurut Zainal Arifin yang merupakan salah seorang pengajar di Madrasah Diniyah Salafiyah Al-Ma’arif Pondok Pesantren Syaichona Moh Cholil Demangan Barat Bangkalan, permasalahan dalam konteks penukaran uang ini terletak pada menyamakan uang kertas dengan emas dan perak atau tidak mennyamakannya sehingga itu menjadi poin ada dan tidak adanya riba di dalamnya.
Zainal Arifin kemudian menyadur beberapa pandangan ulama untuk memperkuat pandangannya yang kemudian ditulis dalam buku berjudul Pandangan Sejumlah Ulama Terkait Hukum Menukar Uang Baru, diantaranya:
1. Boleh, menurut ulama madzhab Syafii, Hanafi dan pendapat yang dalam madzhab Hanbali dengan syarat dilakukan secara kontan bukan secara utang.
2. Tidak boleh, menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Maliki dan sebagian riwayat dalam madzhab Hanbali.
Seseorang bertanya dalam sebuah forum tanya jawab perihal hukum jasa penukaran uang dalam islam. Ia bertanya, bagaimana jika menukar uang sejulah Rp1.000.000 namun yang didapatkan hanya Rp970.000?
Kemudian, jawabannya adalah menukarkan uang menjelang lebaran dengan niat bersedekah uang baru dengan nominal tertentu hukumnya boleh.
Sebab niatnya bersedekah, maka berpotensi menjadi sunah berdasar pada makna hadis “Berilah sedekah yang tebaik pada hari itu (Ied Fitri)”.
Melihat pandangan hukum Islam mengenai membeli atau tukar uang menjelang lebaran seperti penjelasan di atas, maka disarankan untuk meniatkan praktik tersebut sebagai akad ijarah, sehingga kelebihan uang yang diberikan bukan termasuk riba, melainkan sebagai bentuk upah atau jasa yang diberikan kepada pemilik jasa penukaran uang tersebut. (*)