Hubungi kami di

Catatan Netizen

Kakek Tua dengan Lagu-lagu Tua : di Stasiun Toa

Terbit

|

Ilustrasi, photo : © Sulton Yohana

Kakek tua, mendendangkan lagu-lagu tua. Di Exit C Stasion Toa Payoh, di samping eskalator, ia mendendangkan “You Are My Sunshine”, lagu tua legendaris itu. Berulangkali. Seperti tanpa bosan. Sesekali diselingi lagu “Rasa Sayange” dan “Burung Kakak Tua”.

Oleh : Sulton Yohana

Kakek tua. Bahkan sangat tua. Mencari makan dengan menyanyikan lagu “Burung Kakak Tua”.

Tubuhnya bungkuk, nyaris seperti huruf C ketika berdiri. Usianya mungkin 80an. Ditopang payung yang sekaligus berfungsi sebagai tongkat, tubuh kurus rapuh itu seperti begitu terbebani oleh tas belanjaan yang di dalamnya mecungul kaleng bekas wadah biskuit Khong Ghuan ukuran kecil. Kaleng itu dibiarkan terbuka, agar siapa pun yang menaruh iba, melemparkan sedolar dua dolar uang ke dalamnya.

Aku berdiri sekitar 10 meter dari kakek itu. Di Minggu (30/1) pagi yang riuh itu. Menunggu seorang penjual kamera, yang datang terlambat sekitar setengah jam. Sambil terus telinga ini, “diteror” suara parau dari si kakek tua itu. Teror yang menggerayangi setiap sendi rasa iba yang saya miliki. Yang pasti juga, menggerayangi rasa iba siapa pun orang yang pagi itu lewat dan mendengar suara si kakek itu bernyanyi. Dua orang, sepanjang aku memperhatikan kakek tua itu, datang menghampir, lalu menjatuhkan kertas dolarnya ke dalam kaleng si kakek. Satu perempuan India, satu perempuan China; yang kedua-duanya terlihat bukan datang dari kalangan orang kaya.

BACA JUGA :  HARI TERAKHIR RACHMAWATI DI ISTANA MERDEKA


….
You are my sunshine
My only sunshine
You make me happy
When skies are gray
You’ll never know, dear
How much I love you
Please don’t take my sunshine away
….”

Di luar, langit sedang cerah. Matahari bersinar dengan marah. Orang yang kutunggu datang. Menenteng tas plastik besar, di pinggangnya tersampir kamera besar, berlensa panjang. Usianya mungkin 70an tahun. Kamera yang mahal, pikir saya. Nikon Z9.

“Boleh saya coba kameranya?” tanyaku sesaat setelah transaksi kami beres.
“Oh silahkan,” jawabnya sambil melepaskan tali kamera dari lehernya. Ia kemudian mundur beberapa meter dariku, mengambil pose tertentu agar aku bisa memotretnya. Beberapa jepretan sudah cukup bagiku untuk merasakan dahsyatnya itu kamera.

BACA JUGA :  1 WNI Positif Terjangkit Corona, Identitas Dirahasiakan

“Berapa Anda beli?” tanya saya lagi, tentang harga kamera yang baru saya coba.
“Eight thousand dollars,” jawabnya mantap.

Di saat bersamaan, aku juga melihat dua petugas stasiun, bertubuh tambun, datang menghampiri si kakek tua. Entah apa yang keduanya katakan, si kakek lalu terlihat marah. Tapi tidak bisa apa-apa. Seperti memaki dalam bahasa China. Setelah petugas itu berlalu dari hadapannya, kakek itu pun segera meninggalkan tempatnya. Tubuhnya yang rapuh, terangkat eskalator, dan menghilang ke kejauhan.

Aku sedang membicarakan kamera seharga delapan ribu dolar, dan sementara di depan saya, seorang kakek tua, mendendangkan lagu-lagu tua. Untuk satu dua dolar.

“…You are my sunshine
My only sunshine…”

Aku memaki-maki diriku sendiri!

(*)

Seperti ditulis Sulton Yohana di akun jejaring sosialnya.
Advertisement
Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Sebaran

Facebook