ANDA yang pernah menjalani masa-masa sebelum reformasi, terutama pria, sangat patut diduga tahu dengan karya penulis yang satu ini. Karyanya sensual dan erotis.
Di tiap karyanya yang biasanya tak lebih dari seratus halaman itu, hanya tercantum nama : Enny Arrow dengan penerbit yang disebut sebagai “Penerbit Mawar”. Tanpa alamat, tanpa kontak lain yang bisa dijadikan referensi tentang keberadaan penulis dan penerbitnya.
Karyanya tidak dipajang dan dijual di toko-toko buku biasa. Untuk mendapatkannya, pembaca setia sang penulis, biasanya sudah tahu tempat yang dituju.
Ya, karya yang sering disebut stensilan itu, biasanya dijual di kaki-kaki lima, di meja-meja para loper koran dan majalah. Terselip di antara barang bacaan lainnya.
Enny Arrow, adalah nama yang begitu melekat dalam dunia penulisan Indonesia pada rentang tahun 1977-1992. Karya-karyanya adalah yang paling banyak dibaca generasi muda Indonesia di zaman edarnya.
Di laman Goodread, Enny Arrow disebutkan terlahir dengan nama Enny Sukaesih Probowidagdo, lahir di Desa Hambalang, Bogor tahun 1924.
Enny memulai karirnya sebagai wartawan pada masa pendudukan Jepang. Belajar Steno di Yamataka Agency, kemudian direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Enny Arrow bekerja sebagai wartawan Republikein yang mengamati jalannya pertempuran di seputar wilayah Bekasi.
Pada tahun 1965, Enny Sukaesih juga disebutkan Goodread sempat menulis karangan dengan judul “Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta”. Karangannya inilah yang kemudian jadi benang merah untuk membuka sosok Enny selanjutnya yang terkenal dengan tulisan-tulisan erotis dan sensual.
Saat itu, Enny Sukaesih Probowidagdo mengenalkan nama samarannya sebagai “Enny Arrow”. Kata Arrow ia dapatkan sesuai dengan nama toko penjahit di dekat Kalimalang yang bernama Tukang Djahit “Arrow”.
Di toko tempat penjahit itulah Enny Sukaesih disebutkan pernah bekerja sebagai penjahit pakaian.

Setelah Gestapu 1965, suasana politik tidak menentu, Enny Arrow kemudian berkelana ke Filipina pada bulan Desember 1965. Dari Manila ia pergi ke Hong Kong dan kemudian ia mendarat di Seattle Amerika Serikat pada bulan April 1967.
Di Amerika Serikat Enny Arrow belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck. Setelah menemukan irama Steinbeck, Enny Arrow mencoba menuliskan beberapa karyanya di koran-koran terkenal Amerika Serikat. Salah satu karya Enny Arrow adalah novel dengan judul : “Mirror Mirror”.
Jika anda pernah baca karya stensil Enny, modelnya mungkin hampir mirip dengan penulis erotis asal negeri Paman Sam bernama Nick Carter. Sempat ada ujar-ujar di kalangan anak muda zaman karya Enny Arrow booming :
“Jika Amerika punya Nick Charter, Indonesia punya Enny Arrow”.
Pada tahun 1974, Enny kembali ke Jakarta dan bekerja di salah satu perusahaan asing sebagai copy writer atas kontrak-kontrak bisnis. Semasa kerjanya ini Enny Arrow rajin menuliskan karya sastra yang amat bermutu. Karya sastranya yang disebut-sebut mengalahkan popularitas Ali Topan Anak Jalanan adalah “Kisah Tante Sonya”.
Pada tahun 1980 karya Enny Arrow mendapatkan sambutan yang luar biasa di banyak penerbit-penerbit rakyat di sekitaran Pasar Senen.
Enny Arrow bukan saja penulis yang berkibar karena karya-karyanya, ia juga merupakan penantang atas sastra-sastra yang berpihak pada kaum pemodal. Sampai pada kematian Enny Arrow pada tahun 1995, tak satupun orang Indonesia tau siapa Enny Arrow. Dia juga menolak bukunya dijual di toko-toko buku besar.
Laman Goodread menyebut Enny Arrow adalah mutiara terbesar Indonesia pada era Orde Baru. Anda setuju?
Penelusuran Citizen
SAMPAI bertahun-tahun setelah kematiannya, identitas Enny Arrow masih menjadi misteri.
Seorang warganet bernama Hari Gib, yang pernah menghabiskan masa studinya di Universitas Brawijaya Malang, pernah melakukan penelitian sederhana tentang Enny Arrow. Penelusurannya diceritakan di laman citizen Liputan6 tahun 2016 lalu.
Senada di Goodread , Hari Gib juga menyebut Enny Arrow adalah nama samaran dari penulis aslinya.
“Semacam nama pena-lah,” katanya.
Bisa dibilang, novel-novel karya Enny Arrow setara dengan VCD atau situs-situs porno internet di zaman sekarang. Tak muluk kiranya, hanya dengan novel Enny Arrow-lah remaja ke atas pada saat itu mengenal pornografi untuk pertama kali.
Pada masanya, karya Enny Arrow meledak keras di pasaran. Seri terbarunya sangat ditunggu-tunggu para pembaca. Isinya luar biasa vulgar. Bercerita tentang sepasang manusia sedang bercinta. Lengkap dengan deskripsi yang rinci dan hiperbola. “Saya kira kekuatannya memang pada deskripsinya. Sangat detail. Imajinasi orang pasti sudah ke mana-mana,” ujar Hari.

Cover novel Enny Arrow juga terbilang berani. Tak ada satu pun buku bergambar wanita berpose panas pada saat itu, kecuali karya-karyanya. Dibalut dengan judul yang metaforis seperti, Selembut Sutera, Malam Kelabu, Gairah Cinta, Noda-Noda Merah dan lain sebagainya.
“Rata-rata kalau tidak sembunyi saat membaca, ya disobek covernya agar tidak ketahuan,” ujar Hari lagi.
“Kecenderungan Eni, dia orangnya anti-mainstream. Tidak memikirkan royalti contohnya. Dia ingin menelurkan karya yang segar, itu saja. Dan setiap orang berhak membaca. Bahkan kelas menengah ke bawah sekali pun,” katanya lagi.
Jika dicermati, karya Enny Arrow sebenarnya mengajarkan kebaikan juga. Namun dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, Eni selalu membuat cerita tokoh dalam bukunya happy ending. Seburuk apa pun yang telah dilakukan tokoh itu, pada akhirnya si tokoh akan mendapatkan ganjaran yang setimpal lalu bertobat.
“Walau sebenarnya berisiko, itu yang membuat Enny Arrow tak pernah ditinggalkan pembacanya,” kata Hari meyakinkan.
Sastra atau Stensilan?
“Itu bacaan porno. Semua anak SMA pada masa itu tahu. Buku-bukunya dikoleksi, jadi bagian dari gaya hidup anak muda waktu itu–popular cultureIndonesia. Isinya hanya tentang bagaimana karakter-karakter ceritanya melakukan hubungan seksual. Betul-betul fiksi porno,” kata mantan pemimpin redaksi Majalah Playboy, Erwin Arnada.
Maksud dari “sensitif” itu tentu saja berbau pornografi. Dan ini mengarah pada pertanyaan berikutnya: apakah pornografi sama dengan erotika?
Secara literal, erotika memiliki arti “karya sastra bertema atau bersifat keberahian.” Sementara pornografi ialah “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi.”
Di laman Kumparan Juli 2017 lalu, Erwin blak-blakan tak sepakat tulisan Enny Arrow disebut sastra. Bagi Erwin, sebutan “sastra erotika” terlalu muluk-muluk untuk sebuah bacaan cabul.
“Saya merasa janggal dengan terminologi sastra erotika. (Novel Enny Arrow) itu porno. Itu konyol. Fiksi porno kok masuk kategori karya sastra. Itu konyol. Sastra mestinya punya nilai. Cerita fiksi tentang orang melakukan hubungan seksual. Di mana nilainya? Itu cuma stensilan.”
Lebih lanjut, Erwin bahkan meyakini sosok Enny Arrow sesungguhnya tak ada. Alias tidak ada orang dengan nama Enny Arrow, dan tak ada pula sosok individu di balik “Enny Arrow”.
“Dulu, saat saya menjadi wartawan di Majalah Editor, tahun 1990, saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa di satu kampus yang dibayar untuk membuat cerita (Enny Arrow). Satu cerita dibayar Rp 15.000-20.000, diserahkan ke penerbit di Senen. Jadi Enny Arrow bukan orang, itu penerbit,” ujar Erwin.
“Saya ketemu mereka (mahasiswa-mahasiswa penulis novel Enny Arrow) tahun 1990. Tapi Enny Arrow lebih terkenal tahun 1980-an,” imbuhnya.
Khatibul Umam, dosen penulisan kreatif Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, di laman yang sama, punya penjelasan sendiri atas temuan Erwin.
“Semula dia (Enny Arrow) menulis sendiri. Namun dalam konteks industri perbukuan, semua orang bisa menulis, dan akhirnya Enny Arrow jadi merek dagang, di mana setiap orang atas pesanan penerbit bisa memakai nama ‘Enny Arrow’ atau ‘Fredy S.’ untuk produk-produk mereka (yang dibuat menyerupai karya sang penulis asli).”
Peneliti yang berada di wilayah ilmiah, ujar Khatibul, mencoba melacak mana yang betul-betul tulisan Anny Arrow, dan mana yang tiruan.
Namun riset atas itu terkendala karena buku-buku Anny Arrow kini sukar ditemukan.
“Akses terhadap buku sulit karena buku-bukunya sekarang jadi buruan kolektor, jadi memorabilia yang diborong,” kata Khatibul.
Teori Khatibul, bahwa Enny Arrow benar ada meski akhirnya nama dia menjadi merek dagang, bisa jadi benar.
Sebab sejumlah penggemar setianya mengatakan dapat membedakan antara novel yang asli dan palsu.
Memang, pada akhirnya, setiap tulisan pasti akan menemukan pembacanya masing-masing. Tak terkecuali karya-karya Enny Arrow.
Biar bagaimana pun orang memaknainya, ia pernah meramaikan khazanah kesastraan Indonesia. Walau sosoknya tak pernah dikenal orang apalagi diceritakan di buku-buku pelajaran, Enny Arrow tetap punya tempat di hati para penggemarnya hingga sekarang.
Hingga saat ini, karya-karya Enny Arrow pun masih sering dicari di toko-toko online, kendati langka dan mahal harganya.
(dha/*)