Penulis : Hasan Aspahani
SAYA masih kelas 3 atau 4 SD rasanya ketika menemukan buku ilmu pengetahuan alam milik paman saya yang sekolah guru di kota. Buku itu tersimpan bersama banyak buku lain dalam peti buku bekas di rumah kakek paternal saya.
Di buku itulah saya dengan mudah memahami apa itu metode ilmiah, bagaimana caranya berpikir ilmiah. Soal itu dijelaskan dengan sebuah cerita yang amat dekat dengan kehidupan saya.
Ada seorang petani muda melihat rumput di sekitar kandang sapinya subur. Ia mengamati kandang sapi lain. Ia menemukan keadaan yang sama. Ia bertanya, kenapa ya? Apa yang membuat rumput di sekitar kandang sapi subur?
Ia menyusun dugaan. Apa yang ada di sekitar kandang sapi yang tak ada di tempat lain yang ditumbuhi rumput yang sama? Si petani muda memperluas pengamatannya. Ia melihat di lapangan penggembalaan sapi, ada bekas kotoran sapi. Di situ rumput jenis lain tumbuh lebih subur dari rumput di tempat lain yang tak ada kotoran sapi.
Petani muda itu membuat kesimpulan sementara: kotoran sapi membuat rumput tumbuh subur. Atau ada sesuatu dalam kotoran sapi yang membuat tanaman tumbuh lebih subur. Jasad renikkah? Atau kandungan hara? Ia menguji kesimpulannya. Ia membuat percobaan. Ia ambil sedikit kotoran lalu ia taburkan di sekitar pokok pisang. Ia amati pertumbuhan pohon pisang itu dibandingkan dengan pohon pisang lain yang tak ia beri kotoran sapi. Dari percobaan itu ia simpulkan: kotoran sapi yang sudah berumur lama bisa menjadi pupuk bagi tanaman.
Dari buku itu saya belajar dua hal: pertama, metode ilmiah, langkah-langkah mengamati sesuatu fenomena dalam kehidupan sehari-hari, hingga sampai pada satu kesimpulan logis. Kedua, saya belajar bahwa cerita sangat efektif menjadi kendaraan untuk menjelaskan sesuatu yang rumit. Anak kecil seumur saya kala itu, dengan mudah memahami dan mengingat konsep metode ilmiah karena disampaikan lewat cerita, dengan tokoh yang dekat dengan kehidupan saya pada waktu itu.
Saya sejak saat itu selalu mengandalkan pengambilan keputusan sesederhana apapun dengan langkah-langkah yang saya coba memenuhi kaidah metode ilmiah. Mengamati, memahami fenomena, membandingkan, membuat dugaan, menguji dugaan, baru menyimpulkan.
Saya juga karena itu sejak itu semakin percaya pada kekuatan cerita. Bukankah sebagian besar ajaran dalam kitab suci pun disampaikan dalam bentuk cerita?
Saya teringat Ben Okri yang mengatakan, “untuk meracuni suatu bangsa, racuni cerita-ceritanya. Sebuah negara yang terdemoralisasi menceritakan kisah-kisah yang terdemoralisasi untuk dirinya sendiri.”
Mari, bercerita. Mari menyampaikan gagasan lewat cerita. Mari menyebarkan cerita yang tak meracuni pembaca kita, meracuni bangsa kita sendiri.
(*)
Seperti ditulis oleh Hasan Aspahani di blog pribadinya