Hubungi kami di

Catatan Netizen

Pak Jantan, Suku Laut dari Tanjung Gundap

Terbit

|

Pak Jantan, warga suku laut di Tanjung Gundap, Batam. Photo : © Imbalo Iman Sakti

Namanya Jantan, umur nya tak pasti entah berapa. Main agak agak saja. Kadang dia sebut 80 tahunan kadang 70 tahunan. Maklum dia suku laut, dulu waktu kecil, dia ke Temasik dari tempatnya nomaden tak payah pakai pasport. Itu acap diingatnya, dan diceritakannya tempat tempat di Singapura yang pernah dan acap dikunjunginya.

————

Oleh : Imbalo Iman Sakti

ANAKNYA ada berapa pun dia lupa, menyebutnya. Tetapi cicitnya sudah besar remaja. Bukan cucu sekali lagi cicitnya, cucu dari anaknya.

Orang memanggilnya tok Jantan, suku laut, sememangnya dia dulu lahir di sampan, sekitar tahun 80 an dia anak beranak dan kerabatnya menetap tinggal di tepi pantai Tanjung Gundap.

Di samping nelayan, mereka menjadi penyedia kayu bakau untuk dapur arang. Aku mengenalnya sekitar belasan tahun yang lalu. Badannya masih gagah lagi waktu itu. Dua tiga bulan lalu, dia sakit, nasi tak lalu di tenggorokannya, dia terbaring lemah melungker di ruang tengah rumah anak perempuannya.

“Tak mau aku dibawak ke rumah sakit besar”, katanya.

Puskesmas itu rumah sakit kecil baginya. Aku datang menjenguk, tak bisa bangkit matanya saja mencelik macam nak keluar dari rongga matanya, karena pak Jantan tambah kurus.

Kuberikan sarung pemberian dari mang Taba Iskandar, dipakaikan cucunya.

Kulihat dia hanya berseluar pendek yang acap dipakainya kelaut. Kukatakan padanya :

“Cepat sembuh, nanti kita jalan jalan ke Batam”, kataku.

Kalau kita bilang “Alhamdulillah”, mereka pula bilang “puji tuhan”.

Photo : © Imbalo Iman Sakti

Pak Jantan sudah bisa jalan di pelantar goyang ke rumahnya perlahan lahan. Sudah sembuh. Pak Jantan dan semua anak anaknya sejak pindah ke Gundap, diajak jadi kristen, dan hingga sekarang pun sebagian besar mereka masih kristen.

BACA JUGA :  USULAN BENTUK PENGELOLAAN AIR SETELAH KONSESI BERAKHIR

Petang selepas jumatan kemarin (27/8/2021) lalu, aku mampir ke rumahnya, dia masih pakai seluar pendek di atas dengkul sampai pusat yang selalu acap dipakainya.

Tak berbaju.Kulit kulit di sekitar perut dan dadanya bergelayur, demikian pula pipinya.

“Ya, pak jantan kurus kali sekarang”, kata anak lelaki pak jantan yang bernama Adan.

Ada juga di situ cucunya bernama Anil. Adan yang sekarang merawat ayahnya yang sudah tak ke laut lagi.

Tengah hari kuajak pak jantan keliling Batam. Sesuai janji kalau sudah sehat. Berempat kami berangkat dari Tanjung Gundap. Santo dan Sunil yang rencana ikut tak jadi berangkat.

Sengaja kubawa mobil Toyoya Rush, agar muat tujuh orang. Mampir di sekolahan Hang Tuah di Bengkong kami makan siang, keliling sekolah, banyak tanaman yang dilihat pak jantan di halaman sekolah kami.

Menjelang sholat asyar, aku mampir ke masjid depan Top 100, mereka bertiga ; atok anak dan cucu tiga generasi ini semua kristen.

“Tak mungkin pulak nak kuajak, Aku sholat dulu ya”, kataku.

Adan sejak tadi banyak bertanya tentang Islam, kujawab sebisaku. Anaknya pula yang sudah lebih besar dan tinggi dari tok dan bapaknya ini, berkata seandainya bapaknya nak islam dia pun ikut.

“Apa Adan nak masuk Islam?” kataku.

Iya tersenyum.

“Aku tak pandai sembahyang”, katanya menjawab.

“Awal-awal ikut gerakan orang sembahyang dulu lah”, kataku.

BACA JUGA :  Pemko Batam Surati Pengembang Untuk Serahkan Lahan Fasum

Sembari buka pintu mobil bersiap keluar melangkah ke tempat wuduk.

“Mau ikut?, ajakku.

Adan mengangguk. Anil anaknya nak ikut tetapi celana panjangnya koyak sengaja dikoyak dekat paha. Maklum pesen anak muda jaman sekarang, rambutnya pirang baru dicatnya.

Photo : © Imbalo Iman Sakti

Kuberikan sebuah sarung ke Anil, dia tak pandai memakainya. Maklum sejak kecil hingga berusia nak 20 tahun dia tak pernah pakai sarung.

Kupakaikan sarungnya, kubuka songkok yang kupakai yang baru saja dibelikan oleh Ali di kedai masjid Raya Batam center.

Tertutuplah celana sobek sobeknya dan rambut panjang pirangnya. Meskipun orang suku laut beragama kristen, tapi mereka yang lelaki rata rata disunat sejak kecil. Adan Anil pun sudah disunat.

Kami ke ruang wuduk.

“Anil tengok atok wuduknya”, kataku.

Kulihat dia memasukkan air ke mulutnya. dan ke hidung dan mukanya. Adan dulu waktu kecil pernah melihat orang wuduk, pria yang sudah 40 an tahun ini tak begitu sulit mengajarinya.

Aku masuk masjid sholat dua rakaat. Adan dan Anil berdiri ikut disamping kiri kananku. Pak jantan masih di mobil sengaja AC mobil kuhidupkan. Dia tersenyum setelah kami sholat asyar.

“Nantilah bersabar”, ujarnya saat kunaikkan alis mataku. Ada permen di laci mobil dikunyahnya.

Kami balik ke Gundap setelah keliling nagoya dan mampir minum es dawet ayu.

“Boleh merokok?” kata mereka bertiga. Rupanya sejak dari Gundap hingga lepas makan keinginan merokok tak tersalurkan.

“Merokok lah”, ujarku.

(*)

Seperti ditulis Imbalo Iman Sakti di akun jejaringnya dan dikirimkan ke GoWest Indonesia
Advertisement
Berikan Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Sebaran

Facebook