SARS-CoV-2, virus corona penyebab Covid-19, diyakini terus bermutasi di berbagai negara termasuk Indonesia. Ahli kanker dan imunologi dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), Marselina I. Tan, mengatakan, kini diketahui kelompok GH yang mendominasi jenis SARS-CoV-2 di Indonesia.
“Pulau Jawa banyak dikuasai kelompok GH,” katanya dalam webinar tentang setahun pandemi Covid-19 pada Rabu, 24 Februari 2021.
Marselina mengatakan kalau datanya berasal dari dari berbagai sumber tentang whole genome sequencing atau pengurutan seluruh genom virus. Salah satunya dari GISAID, organisasi nirlaba dunia yang menghimpun data virus termasuk SARS-CoV-2 dari berbagai negara.
“Data yang masuk dari Indonesia ke GISAID ada 432, sementara pasien Covid-19 berjumlah 1,2 juta lebih,” katanya. Data terbanyak berasal dari Pulau Jawa seperti DKI Jakarta yaitu 75 data, dan 74 asal Jawa Barat, kemudian berturut-turut Jawa Timur, Banten, Yogyakarta.
Marselina berharap data genom virus SARS-CoV-2 di Indonesia bisa lebih meningkat lagi. Dia mencontohkan Inggris yang sangat aktif mengumpulkan hingga sekitar 200 ribuan data.
Dari jumlah data genom di Indonesia itu, hampir setahun pandemi ini ditemukan beberapa fakta terkait mutasi atau variasi genetik virus SARS-CoV-2. Virus kelompok L yang diketahui berasal dari Wuhan di awal pandemi, menurutnya, telah menyusut jumlahnya atau mulai hilang pada Agustus 2020.
Setelah itu muncul kelompok virus SARS-CoV-2 lain di Indonesia yang meningkat tinggi yaitu GR dan GH, dan sedikit dari kelompok O.
GISAID mengelompokkan virus SARS-CoV-2 seluruhnya menjadi GR, GH, G, GV, O, S, L, dan V.
“Institusi lain ada yang mengelompokkan juga dengan nama yang berbeda tapi tipenya sama,” ujarnya.
Dari sebaran virus corona itu ada mutasi-mutasi dengan dinamika yang menarik. Pada periode Maret 2020 hingga Januari 2021 disebutnya ada peningkatan frekuensi mutasi pada gen pengkode di protein S dan N. Selain itu ada mutasi pada gen S, nsp 12, ORF3a, pengkode bagian N, dan nsp 3.
“Banyak mutasi yang frekuensinya meningkat pada virus corona yang tersebar di Desember 2020 dan Januari 2021,” katanya.
Efeknya seperti mutasi D614G yang mengkode protein S. Berdasarkan hasil riset, mutasi itu memudahkan SARS-CoV-2 masuk atau menginfeksi sel target di dalam tubuh orang. Selanjutnya virus akan bereplikasi.
Mutasi D614G itu, menurut Marselina, merupakan ciri khas pada kelompok virus G, GR, GH, dan GV yang baru.
Mutasi virus SARS-CoV-2 akan meningkat seiring transmisi yang tinggi. Virus yang masuk ke dalam sel tubuh manusia juga kemungkinan bermutasi.
Namun pengelompokan virus dan mutasinya itu, kata Marselina, tidak sepenuhnya menyebabkan reaksi atau gejala yang berbeda pada orang terinfeksi Covid-19.
Dalam kondisi seperti itu, Marselina menegaskan, upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 menjadi penting. Caranya dengan disiplin memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas dan interaksi langsung.
“Tujuannya agar virus tidak menyebar dan bermutasi, jangan sampai virus dapat kesempatan untuk melakukan perubahan-perubahan,” ujar Marselina.
Beberapa varian SARS CoV-2 yang ditemukan di Brasil dan Afrika Selatan terbukti di laboratorium menurunkan kemampuan antibodi tubuh untuk melakukan reaksi perlawanan terhadap virus varian baru.
Sejauh ini menurut Marselina, temuan serupa belum ada di Indonesia. Namun, sistem imunitas tubuh perlu dibangun sambil menjaga gaya hidup seperti cukup tidur.
“Sistem imun yang menjadi garda depan untuk melindungi penyakit apa pun,” katanya.
Terkait dengan imunisasi yang tengah diberikan di Indonesia, vaksin dinilainya masih berguna. “Vaksin masih tetap efektif terhadap varian virus corona yang ditemukan di Indonesia, kalau yang (varian) baru belum tahu,” kata dia. Menurutnya perlu penelitian soal efektivitas vaksin terhadap virus SARS-CoV-2 dari varian baru.
(*)
Sumber : Tempo.co