Histori
Serangan Umum 1 Maret | Buktikan Bahwa Indonesia Masih Ada

ENAM jam kota Yogyakarta berhasil direbut TNI dan rakyat Indonesia dari Belanda dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Peristiwa itu merupakan pembuktian kepada dunia jika Indonesia masih berdaulat, sekaligus mematahkan klaim Belanda jika pemerintah Indonesia sudah tidak ada dan tak efektif.
Serangan Umum 1 Maret adalah bentuk kolaborasi masyarakat sipil dan militer. Serangan ini dirancang Sultan Hamengkubuwono IX dan Panglima Jenderal Sudirman, dan dilaksanakan dengan apik oleh TNI dibawah pimpinan Letkol Soeharto, dan laskar rakyat di lapangan.
Terbukti, serangan tersebut menjadi langkah strategis untuk mematahkan argumentasi internasional sekaligus pembuktian bahwa Indonesia masih ada.
Sultan yang mendengar akan diselenggarakan rapat Dewan Keamanan PBB soal Indonesia dan Belanda, langsung berkirim surat kepada Panglima Sudirman.
Isinya meminta agar Panglima Sudirman melakukan Serangan Umum untuk mengusir Belanda dari Yogyakarta yang ketika itu menjadi Ibu Kota Negara.
TNI dan laskar rakyat berhasil merebut Yogyakarta selama enam jam. Meski singkat, peristiwa itu terasa hingga berpuluh-puluh tahun.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Hilmar Farid menyampaikan, pada tahun 1949 Indonesia sedang berada di bawah tekanan.
Penyebabnya karena kolonial melancarkan agresi militer secara beruntun dengan tujuan utama menghilangkan Indonesia dari peta.
“Para pejuang pada masa itu menyadari betul, salah satu kunci keberhasilan untuk mempertahankan republik adalah dengan menyatakan kehadirannya di tingkat internasional,” kata Hilmar menjelaskan dalam sebuah seminar.
Serangan itu menurut Hilmar berdampak sangat besar, baik secara militer maupun secara politik. Meski kerugian materiil tentu terjadi di kedua belah pihak, tetapi tujuan utama untuk menyatakan kehadiran Republik Indonesia secara internasional, amat berhasil.
“Tujuan utama untuk menyatakan kehadiran republik secara internasional sangat berhasil. Dalam sidang umum PBB yang berlangsung kemudian diputuskan agar Indonesia dan Belanda kembali ke meja perundingan (Konferensi Meja Bundar),” ucap Hilmar.
Dalam peristiwa tersebut menurut Hilmar ada hikmah yang bisa dipetik, yakni tekad untuk merdeka dan menegakkan kedaulatan lebih dari segalanya.
Selain itu daya juang rakyat Indonesia, khususnya para pemimpin sangat menentukan jalannya sejarah.
“Kita mendapat pelajaran berharga, mendapat begitu banyak tantangan dari pandemi dan juga berbagai macam bentuk tantangan lain. Dan daya juang yang sama inilah yang diharapkan ada pada kita yang hidup hari ini untuk mengisi, mempertahankan kemerdekaan, dan juga membangun negeri ini menjadi maju seperti yang tertera di dalam Pembukaan UUD 1945,” kata dia.
Pasukan Gerilyawan Bikin Belanda Kocar-Kacir
SERANGAN Umum 1 Maret dilatarbelakangi Agresi Militer Belanda II pada akhir 1948. Setelah Agresi Militer I pada 21 Juli 1947 gagal, Belanda kembali melakukan Agresi Militer II pada 19 hingga 20 Desember 1948.
Ketika itu Belanda menduduki Yogyakarta. Namun dua bulan kemudian, Indonesia kembali merebut Yogyakarta dari pendudukan Belanda.
Pemerintah Indonesia secara resmi mengadukan Belanda ke PBB karena Agresi Militer I di nilai telah melanggar Perjanjian Linggarjati, yang merupakan bagian dari suatu perjanjian Internasional.
Langkah Indonesia mengadu ke PBB terbukti efekti, karena Belanda mendapatkan reaksi keras dari dunia internasional. Inggris, juga tak lagi setuju penyelesaian konflik secara militer.
India dan Australia pada 31 Juli 1947 meminta masalah agresi militer Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB. PBB merespon dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Saat itu PBB mengakui eksistensi RI dengan menyebut nama Indonesia, bukan Netherlands Indies atau Hindia Belanda, dalam setiap keputusan resminya.
Namun Belanda yang tidak puas dengan keputusan PBB malah melancarkan Agresi Militer II. Tujuannya untuk melemahkan kedudukan Pemerintah Indonesia di dunia internasional.
Setelah menduduki Yogyakarta, Belanda mengumumkan kepada dunia, jika Indonesia sudah hancur. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah anggota kabinet ditahan dan diasingkan.
Namun, Jenderal Sudirman tidak mau menyerah dan memilih menyusun kekuatan.
Satu bulan setelahnya, TNI mulai menyusun rencana untuk memukul balik pasukan Belanda. Di bawah kepemimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman, militer bersama warga sipil melakukan Operasi Gerilya Rakyat Semesta.
Pasukan ini terdiri dari pasukan organik dan non organik, termasuk laskar dan rakyat bersenjata. Mereka melakukan perang gerilya dengan menyingkir bukit, lembah dan pelosok untuk melakukan serangan balik.
Pasukan tersebut menyabotase jaringan telepon, merusak rel kereta api, hingga menyerang konvoi Belanda. Serangan itu membuat Belanda membangun pos-pos keamanan di berbagai area yang menjadi blunder. Kekuatan Belanda terpecah-pecah, sehingga pasukan gerilyawan dapat dengan mudah melancarkan serangan.
Dua bulan strategi bergerilya, Jenderal Sudirman mengintruksikan melakukan serangan balik untuk membuktikan bahwa Indonesia masih berdaulat.
Serangan besar-besaran pun dilakukan terhadap Kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949.
(*/diaz)
Sumber: Republika.co.id