Khas
Skema Pajak Berlapis Di Industri Rokok

Terbit
6 tahun yang lalu|
Oleh:
Mike Wibisono
PEMERINTAH berencana mengutip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok sebesar sepuluh persen saat produk tersebut keluar dari pabrik.
Dilansir dari JPNN, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, rencana kebijakan itu masih ditambah sepuluh persen lagi saat pedagang besar menjual rokok ke pengecer atau masyarakat.
Skema ini diambil pemerintah agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat meningkatkan basis data perpajakan melalui nomor pokok wajib pajak (NPWP) perusahaan-perusahaan pendukung industri rokok.
Menurutnya, sistem tersebut sudah dikomunikasikan ke industri tembakau. Industri, lanjut Suahasil, siap tapi butuh waktu dari sisi rantai produksinya agar semuanya taat pajak.
Berbeda dengan pemerintah,, industri rokok telah menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Kebijakan tersebut dinilai sebagai inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang sudah diterapkan dan disepakati sebelumnya.
Salah satunya dari Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi). Sekretaris Jenderal Formasi Suharjo dilansir JPNN mengatakan, sejatinya pengenaan PPN sepuluh persen itu baru akan diterapkan pada 2018 mendatang.
Pasalnya tahun ini PPN rokok sudah dinaikkan dari sebelumnya 8,4 persen di 2015 menjadi 8,7 persen di Januari 2016.
Pada 2017 nanti, PPN rokok dijadwalkan naik menjadi 8,9 persen. Pada tahun selanjutnya baru naik menjadi 9,1 persen.
Menurutnya kebijakan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan tersebut diambil setelah adanya kesepakatan dengan pelaku industri rokok.
Namun kini Kementerian keuangan ingin mempercepat jadwal kenaikan tersebut menjadi langsung sepuluh persen.
“Dengan BKF (Badan Kebijakan Fiskal) yang membidangi pajak disebutkan bahwa tahun depan ini sebetulnya di angka 8,9 persen. Jadi tahapan yang hasil pembicaraan dengan asosiasi itu dilanggar sendiri oleh pemerintah,” ujarnya.
Ia menilai, percepatan kenaikan PPN ini dikarenakan pemerintah panik target pemasukan pajak sulit tercapai yang berpotensi terjadinya shortfall yang besar. “Efeknya merugikan pelaku industri,” katanya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah tetap konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
“Kesepakatan itu ada kronologi dan history-nya. Jadi sebaiknya sesuai jadwal saja, jangan mengingkari,” ujarnya.
Selain itu, jika dipercepat, pelaku industri rokok juga belum siap. Terutama yang paling terkena adalah para distributor rokok.
“Dengan pengenaan sepuluh persen ini akan merepotkan dari sisi distribusinya. Situasi ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Apalagi, selain kenaikan PPN, di saat yang sama Kementerian Keuangan melalui Direktorat Bea dan Cukai juga berencana untuk menaikkan tarif cukai rokok. Sehingga ia khawatir kenaikan PPN akan mengganggu penerimaan cukai.
“Ego sektoral masih terasa. Yang satu pimpinan ingin punya prestasi, begitu juga pimpinan lainnya. Jadi masing-masing direktorat ingin menonjol, itu kan konyol namanya,” keluh Suhardjo.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti.
Dia menyatakan keberatan rencana perubahan tarif PPN dari single stage tax (final) saat sekarang ke multi stage tax (umum).
Pertama, perubahan ini membuat efisiensi proses penjualan menjadi menurun. “Kalau kita menggunakan sistem umum itu berarti setiap kali ada transaksi termasuk transaksi salesman kita jual ke retailer atau pengecer, dia harus membuat faktur pajak. Itu ribet sekali,” katanya.

Foto : © rmol.co
Kedua, ada kekhawatiran para agen karena proses yang berbelit.
“Sebelumnya, dia jual saja, satu atau dua slop. Tapi nanti dia juga harus mengeluarkan faktur pajak. Ribet kan dia. Dikhawatirkan para agen berpikir untuk tidak menjual rokok karena berbelit,” ujarnya.
Ketiga, perubahan sistem akan memakan waktu yang cukup lama. Pasalnya, saat ini perusahaan dengan sistem pembayaran PPN yang sudah berjalan harus mengubah kembali.
“Ini memakan waktu karena tidak gampang begitu saja. Membangun sistem, training kepada usernya dan sosialisai. memakan waktu tidak bisa setahun mungkin sampai dua tahun,” paparnya.
Keempat, pemberlakuan sistem multi stage akan melibatkan miliaran faktur pajak.
“Rantai penjualan dari pabrik ke distributor, lanjut salesman jumlah yang banyak begitu juga jumlah toko. Katakanlah penjualnya 1000, kalau jualan outlet satu juta seluruh Indonesia berarti untuk menyelesaikan kunjungan 1.000 kali satu juta jadi satu miliar. Berarti satu miliar faktur pajak,” jelasnya.
Karena itu, Moefti berharap pemerintah tetap menerapkan sistem single stage. Rencananya, dalam kurun waktu dekat pelaku industri akan kembali melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah. ***



Harap-Harap Cemas Pencari Kerja di Batam

Pasokan Solar di Kepri Aman hingga Akhir Tahun | Pertamina Atur Ulang Pola Pendistribusian

Rudi Ingin Sektor Kesehatan di Batam Makin Mumpuni

Jenderal Polisi Divonis Mati

Satu Hektare Lahan di Bintan Terbakar | Diduga Sengaja Dibakar

Mabuk, Perwira Polda Kepri Babak Belur Dihajar Anggota Lanal Batam di Lobi Hotel Planet

Mengadili Jenderal Polisi

6 Tersangka Pelaku Pengiriman PMI Ilegal Ditangkap di Batam Centre

Menikmati Boba Kekinian, Kombinasi Soda dan Soya di Dyflava

DPRD Batam Setujui Pemko Batam Tambah Penyertaan Modal 300 M di Bank Riau Kepri

Sebaran
- PETUGAS polisi Sektor Pelabuhan Khusus Batam (KKP) mengamankan enam orang tersangka pelaku pengirima350 Sebaran
- BERDASARKAN validasi tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) pada tahun 2015, Provinsi Kep270 Sebaran
- OPERASIONAL kapal angkutan penumpang yang melayani pelayaran antarpulau di wilayah Provinsi Kepulaua330 Sebaran
- WALI Kota Batam, Muhammad Rudi, mengatakan seluruh sektor potensial di Batam sedang gencar-gencarnya240 Sebaran
- PERTUMBUHAN ekonomi Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) pada triwulan II tahun 2022 tumbuh sebesar 5,01240 Sebaran