SEJAK awal Batam dibangun dan dikembangkan oleh Otorita Batam yang kemudian ganti nama jadi BP Batam, pariwisata sudah dijadikan salah satu misinya. Ada empat aspek pengembangan Batam, yakni industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata.
Dalam masterplannya, ada pembangunan zona wisata seperti Nongsa dan Marina Teluk Senimba yang direncanakan menjadi destinasi utama. Di dua kawasan ini, ada pelabuhan ferry langsung ke Singapura. Itulah sebabnya, di dua kawasan ini, Marina dan Nongsa, berdiri beberapa hotel seperti Haris Resort, Holiday Inn di Marina city. Sedangkan di kawasan Nongsa ada hotel Batam View, Nongsa Point Marina, Turi Beach, Purajaya, Montigo Resort dan yang paling anyar Nuvasa Bay.
Kini, lihatlah apa yang terjadi. Kawasan wisata Marina mati suri. Dulu ada snow city lalu terbakar dan sampai sekarang tinggal puing. Harris Resort dan Holiday Inn mulai sepi dan kekurangan tamu. Pengelola kawasan wisata terpadu ini, kakak beradik warga Singapura yang saling gugat ke pengadilan. Sejak itu, kawasan Marina tak berkembang.
Di kawasan wisata Nongsa, hotel Purajaya yang pernah dijadikan lokasi kasino, tutup total selama bertahun-tahun. Nongsa Point Marina dan Batam View masih bertahan hingga saat ini. Kehadiran Motinggo Resort dan Nuvasa Bay diharapkan menjadi katalisator kunjungan wisatawan ke Batam. Apalagi, didukung oleh pelabuhan ferry internasional Nongsa Pura.
Jika kawasan ini berkembang dan penuh, juga disiapkan solusi sebagai ekspansi kawasan wisata ke Rempang dan Galang Baru. Sementara, kawasan Rempang Galang masih status quo sampai sekarang. Sudah enam presiden berganti, masalah ini tak kunjung ada solusi.
Dulu, untuk mendukung sektor pariwisata, BP Batam punya Batam Tourist Promotion Board (BTPB). Seiring dengan otonomi daerah, urusan pariwisata diserahkan ke Pemko Batam dan belakangan BTPB berubah menjadi Badan Promosi Pariwisata Daerah yang juga tidak jalan.

Waktu berlalu, tahun berganti. Sektor pariwisata Batam jalan ditempat. Meski Pemko Batam punya Dinas Pariwisata, anggaran yang minim sehingga mereka tidak bisa berbuat banyak. Otorita Batam yang kemudian menjadi BP Batam, juga tidak menyentuh sektor pariwisata.Setelah BP Batam diketuai Lukita Dinarsyah Tuwo, BP Batam menggelar beberapa even seperti car free night dan Batam Menari. Kegiatan ini menjadi perdebatan, terutama di kalangan petinggi Pemko Batam. Mereka merasa, tumpang tindih kewenangan terjadi lagi.
Mengapa dalam era economic sharing saat ini, BP Batam dan Pemko Batam tidak bersinergi membangun dan mengembangkan sektor pariwisata di Batam? Apakah BP Batam membuka peluang dan menempatkan pejabat setingkat direktur untuk mengurus pariwisata dalam struktur organisasinya? Sebab, regulasi tanpa budget tidak ada artinya.
Secara nasional, portofolio produk pariwisata antara lain, wisata alam 35 persen, seperti wisata bahari, eko wisata dan wisata petualangan. Wisata budaya 60 persen seperti warisan budaya dan sejarah, wisata belanja dan kuliner serta wisata kota dan desa. Wisata buatan manusia 5 persen seperti wisata MICE dan event, wisata olah raga dan wisata terpadu.
Anehnya, sarana promosi wisata berupa gedung bernama Sumatera Promotion Centre yang dibangun oleh tujuh propinsi untuk promosi bersama, kini berubah menjadi mal pelayanan publik. ***
Sumber : Go Batam