HUMAS Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo mengatakan, saat ini kerusakan DAS di Indonesia sudah sangat luar biasa.
Dari 450 DAS di Indonesia, 118 DAS dalam kondisi kritis. Banjir dan longsor yang terjadi selama ini tidak lepas dari imbas kerusakan DAS. Kerusakan bisa ditimbulkan oleh makin banyaknya perumahan, pertanian dan perkebunan yang makin banyak menggunakan area DAS.
Menurut Sutopo di laman BNPB.go.id, 30 tahun lalu, hanya 22 DAS di Indonesia yang kondisinya kritis dan super kritis. Pada tahun 1992 , jumlah DAS yang rusak meningkat menjadi 29 DAS.
Dua tahun kemudian jumlahnya menjadi 39 DAS. Lalu pada 1998 menjadi 42 DAS. Tahun 2000 menjadi 58 DAS, tahun 2002 menjadi 60 DAS, dan tahun 2007 sekitar 80 DAS yang rusak dan kritis.
Kondisinya makin rusak akibat intervensi manusia yang makin masif merusak DAS. Akibat kerusakan DAS membuat lingkungan makin sensitif.
“Saat hujan mudah banjir dan longsor, namun sebaliknya ketika kemarau demikian mudahnya terjadi kekeringan,” ujar Sutopo seperti ditulis BNPB.go.id.
Rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk menyebabkan banjir bandang di Garut, Jawa Barat pekan lalu.
Data yang dihimpun, hingga akhir pekan kemarin, banjir itu mengakibatkan 27 orang tewas, 22 orang hilang, dan korban luka 32 orang. Selain itu, 433 orang terpaksa mengungsi dan ratusan rumah rusak berat.

Untuk DAS Cimanuk sudah kritis sejak 1984. Sutopo menerangkan buruknya DAS ini bisa diukur dengan nilai Koefisien Regim Sungai (KRS). KRS adalah perbandingan antara nilai debit air maksimum alias saat banjir, dengan nilai debit air minimum alias saat kering pada suatu DAS.
Jika suatu DAS dikategorikan baik jika KRS nilainya kurang dari 40 , sedang (40 hingga 80), dan buruk lebih dari 80. “KRS Cimanuk itu 713,” ujar Sutopo seperti dikutip dari Kompas.com. Angka itu adalah DAS paling rendah di pulau Jawa.
Sungai-sungai di Jawa lain nilai KRS-nya juga buruk. Sungai Bengawan Solo , Jawa Tengah (541), . Sungai Ciujung, Banten (189,5), Sungai Cisadane, Tangerang, Banten (143), Sungai Citarum, Bandung, Jawa Barat (92) Sungai Citanduy, Tasikmalaya, Jawa barat (111) , Sungai Serayu, Wonosobo, Jawa Tengah (165), dan sungai Brantas, Malang, Jawa Timur (205).
Keberadaan DAS fungsinya antara lain untuk menahan air hujan dan melepaskannya secara bertahap.
“Untuk menyelamatkan masyarakat indonesia dari ancaman banjir dan longsor yang terus meningkat, perlu mengembalikan fungsi ekosistem di area DAS,” ujar Sutopo.
Sebenarnya, pemerintah sejak tahun 1969 telah menangani masalah DAS ini dengan Proyek Penghijauan Departemen Pertanian 001. Pengelolaan DAS terpadu ini pernah dilaksanakan di beberapa DAS di Pulau Jawa, yaitu di DAS Brantas, Cimanuk, Bengawan Solo dan Citanduy.
Namun teknologi pengelolaan DAS yang masih diterapkan hingga sekarang ini mengandalkan aspek fisik dan mahal, khususnya dengan membangun terasering yang padat tenaga kerja dan mahal.
Masalahnya, menurut Sutopo, tidak adanya pemeliharaannya setelah proyek berakhir. Begitu masa pemberian subsidi dan modal usaha tani habis, maka petani di sekitar DAS tidak mampu lagi menerapkan teknologi konservasi yang mahal. Akibatnya proyek tersebut tidak berkelanjutan dan akhirnya kurang efektif. ***