SETIAP tahun masyarakat Jepang dan wisatawan berbondong-bondong menyambut datangnya musim semi untuk menyaksikan mekarnya bunga sakura, yang dikenal dengan sebutan hanami. Namun, ada fenomena aneh dari bunga sakura yang mekar tahun ini.
Bunga sakura Jepang tahun ini mengalami musim mekar yang lebih cepat dari biasanya. Bunga sakura yang biasanya mekar di bulan April sekarang mekar lebih awal, membuat Kyoto berubah warna lebih cepat dari yang diperkirakan.
Kejadian mekarnya bunga sakura yang tak sesuai ini pun menjadi peristiwa mekar paling awal yang terjadi dalam 1200 tahun di Jepang. Bukti itu dikuatkan dengan arsip dokumen festival bunga sakura yang berasal dari tahun 812 Masehi.
Namun, di balik suka cita wisatawan menikmati indahnya sakura, ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik bunga sakura yang mekar lebih awal.
Tanaman dengan bunga berwarna merah muda itu disebut cepat mekar karena perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia.
Para peneliti dari Met Office di Inggris dan Osaka Metropolitan University di Jepang mengatakan krisis iklim dan pemanasan perkotaan telah memicu majunya periode berbunga dari “puncak mekar” sakura selama 11 hari.
Pada 2021, bunga sakura di pusat kota bersejarah Kyoto mencapai puncaknya pada 26 Maret, yang merupakan periode mekar penuh paling awal dalam 1.200 tahun terakhir. Pada tahun ini, bunga sakura bermekaran pada 1 April.
Para ilmuwan menyebut proses mekar bunga sakura saat ini merupakan sesuatu yang umum.
Tren sakura mekar dilaporkan bertepatan dengan kenaikan suhu yang terjadi di sejumlah wilayah Jepang. Suhu rata-rata pada Maret di pusat kota Kyoto disebut meningkat beberapa derajat sejak masa pra-industri. Para ilmuwan menilai hal tersebut dikarenakan pengaruh perubahan iklim dan pemanasan perkotaan.
Mereka mengatakan peningkatan urbanisasi menyebabkan kota cenderung lebih hangat dibandingkan daerah pedesaan di sekitarnya. Itu karena bangunan dan jalan menyerap panas matahari lebih banyak daripada pemandangan alam. Fenomena ini dikenal sebagai efek pulau panas.
Meski begitu, para ilmuwan menyebut alasan utama sakura mekar lebih cepat yakni karena krisis iklim. Krisis iklim disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil yang mengakibatkan suhu di seluruh wilayah dan dunia meningkat.
Menurut studi yang dilakukan Met Office, bila emisi gas rumah kaca terus berlanjut, diperkirakan akhir abad ini bunga sakura Kyoto bisa mulai datang lebih awal yakni sekitar satu minggu lagi.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa tidak hanya perubahan iklim yang disebabkan manusia dan pemanasan perkotaan yang telah berdampak pada musim mekar bunga sakura di Kyoto, tetapi musim mekar yang sangat awal seperti pada tahun 2021, sekarang diperkirakan 15 kali lebih mungkin, dan diperkirakan terjadi setidaknya sekali dalam satu abad,” kata doktor dan penulis utama dan ilmuwan iklim Met Office, Nikos Christidis, seperti dikutip dari CNN, Sabtu (21/5/2022).
“Peristiwa seperti itu diproyeksikan terjadi setiap beberapa tahun pada tahun 2100 ketika mereka tidak lagi dianggap ekstrem.”
Bunga sakura sebelumnya memiliki konsekuensi yang lebih luas bagi ekonomi dan ekologi Jepang. Gejala dari krisis iklim yang lebih besar akibat cepat mekarnya sakura mengancam ekosistem di mana-mana.
Studi Met Office menyebut kenaikan suhu pada kalender alam berdampak pada praktik pertanian dan pengelolaan lahan di negara itu.
Hal tersebut juga berdampak pada tanaman, serangga, dan hewan yang sangat bergantung satu sama lain untuk perkembangan dan siklus hidup mereka. Perubahan siklus ini dapat memulai reaksi berantai yang menyebabkan kerusakan ekosistem.
Misalnya, tanaman merasakan suhu di sekitar mereka yang jika cukup hangat dengan periode konsisten, bunga dan daunnya dapat bermunculan. Begitu pula dengan panas yang lebih tinggi yang dapat menyebabkan pertumbuhan pada serangga dan hewan lainnya menjadi lebih cepat.
Perubahan tanggal berbunga tidak terbatas pada Jepang maupun bunga sakura. Tahun ini, musim semi datang lebih awal di beberapa bagian Inggris.
Perubahan iklim menyebabkan tanaman di seluruh Kepulauan Inggris berbunga, yang rata-rata sebulan lebih awal dari biasanya.
Fenomena yang sama juga telah terjadi pada sejumlah tanaman yang bernilai ekonomi. Hal ini menimbulkan masalah besar bagi ketahanan pangan dan mata pencaharian petani.
(*)
sumber: detik.com