DABO Singkep sebagai ibukota kecamatan Singkep, pernah dikenal sebagai “kota timah” selain Pangkal Pinang di pulau Bangka dan Tanjung Pandan di pulau Belitung.
Kehadiran perusahaan penambangan timah sejak 1812 hingga 1992 (direct atau indirect) telah meninggalkan infrastruktur yang sekarang menjadi aset Pemda setempat dan departemen teknis. Seperti bandara, pelabuhan laut, jalan raya, prasarana listrik, air minum, telekomunikasi, rumah sakit, bangunan bank, perkantoran perusahaan timah, unit-unit bangunan perumahan karyawan, dan sebagainya.
Bandara Dabo dapat didarati pesawat jenis Fokker-27, sedangkan pelabuhan laut telah mengalami renovasi dari anggaran APBN , dengan harapan dapat disinggahi oleh kapal-kapal ukuran menengah dari Jakarta, Bangka menuju Batam atau Tanjung Pinang.
Sementara fasilitas komunikasi dengan kode area 0776 sudah menyediakan kontak Saluran Langsung Jarak Jauh (SLJJ) di sana sejak dulu.
Dibanding 2 ibukota kecamatan lainnya di kabupaten Lingga saat ini, populasi kota Dabo Singkep relatif lebih besar. Walau pernah mengalami penurunan jumlah penduduk akibat “putus hubungan” dengan PT. Timah, namun sejak tahun 1996 jumlah penduduk kota ini terus bertambah. Hal ini mendukung aktivitas perkonomian (economic activity) kecamatan Singkep secara keseluruhan.
Namun begitu, harus diakui, sejak ditinggalkan oleh PT. Timah, aktivitas komersial di kota Dabosingkep menurun drastis. Tidak seperti Tanjung Balai Karimun atau Tanjung Pinang yang memiliki keuntungan karena kedekatan wilayah dengan Singapore, aktivitas perdagangan dan komersial lainnya di kota ini sangat terbatas.
Kini jalur-jalur perdagangan dalam skala terbatas masih dilakukan antara lain dengan Tanjung Pinang dan Jambi. Selain itu kota ini sangat kurang dalam ragam aktivitas ekonomi (lack of economic diversification).
Kejayaan Tambang Masa Lalu
Dalam pelajaran ilmu bumi dulu, Dabo-Singkep, Kepulauan Riau, dikenal di seantero Indonesia sebagai salah satu tambang timah terbesar selain Bangka di Sumatera Selatan. Penambangan telah dimulai sejak 1812 ketika Pemerintah Hindia Belanda masih menguasai Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, PT Timah mengambil alih pengelolaan tambang tersebut. Mereka membangun infrastruktur hingga terbentuk kota baru.
Ketika PT Timah berhenti beroperasi pada 1992, menurut Camat Dabo Abu Hazim, perekonomian di kawasan itu pun ikut merosot. Warga kehilangan sumber mata pencarian.
”Dulu kendaraan ramai melintasi jalan-jalan di Dabo, tetapi sekarang sepi,” ungkap seorang warga. Pelabuhan udara di Dabo yang dulu ramai dengan para petinggi PT Timah dan warga kini lengang.
”Kemampuan warga terbatas, potensi lain tidak ada,” tutur warga lain bernama Ashari, dulu guru di SD milik PT Timah.
Bangunan infrastruktur yang tersisa dipakai untuk puskesmas, perumahan, instalasi air minum, serta jaringan jalan.
Bangunan yang terbengkalai antara lain bangunan pengolahan bijih timah—dekat Pasar Dabo. Bangunan itu keropos dan atap sengnya banyak berlubang.
Warga bernama Abu Hazim mengatakan, ”Sejak PT Timah ditutup, persoalan dasar di Dabo yaitu tidak ada lapangan pekerjaan, dan peninggalan PT Timah yang belum terurus.”
Pulau Singkep mrmang dikenal sebagai Pulau Penghasil Timah dengan reputasi penambangan selama hampir dua abad (1812-1992).
Singkep pernah mengalami masa kejayaan baik di bidang perekonomian dan kesejahteraan dikarenakan adanya pertambangan timah (PT. Timah,atau UPTS ) yang cukup besar yang menopang segala kemajuan di Singkep.
Namun sekitar tahun 1990-an Singkep mengalami masa kemunduran karena tutupnya PT.Timah dan sekian tahun lamanya Singkep berada pada masa-masa transisi yang dipenuhi berbagai masalah. Baik ekonomi, kesejahteraan, krisis kejiwaan karena halusinasi masa-masa kemewahan maupun dampak-dampak negatif yang terus jadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Singkep.
Seperti misalnya penyakit-penyakit malaria yang menyerang karena lobang-lobang (kolong) bekas galian PT.Timah maupun banyaknya permasalah yang datang silih berganti.
Pada saat ini, pulau ini dipenuhi dengan danau-danau bekas galian timah tanpa upaya rehabilitasi secara signifikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan hadirnya Perusahaan Penambangan Pasir Tailing Timah sejak 1993.
Sejarah Penambangan Timah di Singkep
PENAMBANGAN tinah di daerah ini telah dimulai sejak 1812. Di Indonesia sendiri, hanya ada tiga pulau penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep.
Setelah Indonesia merdeka, PT Timah mengambil alih pengelolaan tambang tersebut. Mereka membangun infrastruktur hingga terbentuk kota baru.
Sejarah timah di Pulau Singkep, merupakan rentetan perjalanan sejarah yang sangat panjang.
Sekitar dua abad lalu, masa Sultan Riau-Lingga yaitu Sultan Abdul Rahman Syah ( 1812 – 1832) yang menetap di Lingga, timah di Pulau Singkep sudah didulang secara tradisional.
Ketikaitu, keadaan di Lingga, sebagai pusat Kerajaan Riau – Lingga bertambah ramai karena telah ada tambang timah di Pulau Singkep yang menghasilkan bijih timah.
Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883), yang merupakan Sultan Riau-Lingga pertama yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kebijakan kerajaan adalah memfokuskan program kerjanya untuk meningkatkan penghasilan rakyat .
Selain menggalakkan sagu, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II juga menggalakkan penambangan bijih timah di Pulau Singkep (Daud Kadir, 2008 : 188).
Namundemikian, seiring dengan berkembangnya Lingga sebagai pusat Kesultanan Riau-Lingga dan membaiknya perekonomian kerajaan, Belanda semakin berusaha untuk mengetatkan kendali terhadap perekonomian Kesultanan Riau-Lingga.
Maka pada tanggal 1 Desember 1857 dilaksanakan perjanjian antara sultan dengan Belanda tentang diizinkannya pengusaha Belanda untuk membuka tambang timah (Daud Kadir, 2008:171). Perjanjian tersebut antara lain berbunyi :
………
Fasal yang kesepuluh
Maka berdjandjilah Paduka Sri Sultan dan mentri2nja hendaq ia melebihkan kebadjikan ra’jatnya dan memegang pemerintahan dengan adil dan memeliharakan perusahaan tanah dan segala perusahaan orang dan hal perniagaan dan pelajaran kapal dan perahu didalam keradjaan dan tiada dia hendaq membuat barang suatu aturan yang boleh memberi kesukaran pada segala perkara itu.
Fasal yang kesebelas
Maka berdjandjilah Paduka Sri Sultan dan mentri2nja tiada dia hendaq melepaskan haqnja akan menggali didalam tanah serta beroleh hasil daripada penggaliannya itu kepada orang jang bukan anaq buminya djika tiada dengan mupaqat dan sebitjara dengan wakil Paduka Sri Jang Dipertuan Besar Gubernur Djenderal di Riau supaja penggalian itu diaturkan dengan ditjahari seboleh2nja untung Paduka Sri Sultan dan mentri2nja dan dengan tiada diambil oleh gubernemen sebahagian daripada untung itu hanjalah dengan menilik kepada pergunaan tanah Hindia Nederland jang sedjati serta dengan serta keputusan Baginda Sri Maharadja Nederland jang terputurs pada 24 hari bulan Oktober tahun 1850 ……..
(Arsip Nasional Republik Indonesia, 1970: 96-97)
Penjelasan dari Fasal di atas adalah :
Bahwa inilah titah kita Sri Paduka Baginda Magaradja Willem Ketiga yang bersemajam dengan segala kebesaran dan kemuliaan diatas tachta keradjaan negeri Nederland dan segala rantau ta’luqnja”. Adapun kita telah melakukan aturan jang tersebut dibawah ini
Fasal jang pertama
Adapun diberi idzin akan buka tambang didalam daerah tanah Hindia Nederland kepada sekalian orang Welanda kepada sekalian orang Walanda jang dudu’ dinegeri Nederland atau ditanah Hindia Nederland jang empunja perolehan tjukup akan pekerdjaan itu jaitu atas timbangan gubernemen beserta dengan aturan jang tersebut dibawah ini ja’ni
Fasal jang kedua
Segala perdjandjian hal idzin buka tambang itu akan dibitjarakan dan ditetap dengan Sri Paduka Jang Dipertuan Besar Gubernur Djendral dari tanah Hindia Nederland maka segala permintaan akan membuka tambang itulah akan diatur terus kepada Sri Paduka Jang Dipertuan Besar itu atau kepada Tuan Menister jang melakukan hal pemerintahan segala negri jang ta’luq kepada Nederland
Fasal jang ketiga.
Apabila orang minta’ idzin buka tambang jang belum diperiksa kekajaan tanahnja maka Sri Paduka Jang Dipertuan Besar Gubernur Djenderal akan suruh periksa kekajaan itu beserta dengan haq anaq negeri atas tanah tambang itu supaja tahu berapa patut akan gantinja dan disuruh periksa djuga besarnja modal jang tjukup akan melakukan pembukaan tambang itu dengan patut maka jang hendaq buka tambang itu boleh djuga menjuruh suruhan atas belandjanja sendiri ikut pemeriksaan itu bersama2 jang disuruh oleh gubernemen.
Fasal jang keempat
Pekerdjaan buka tambang itu akan dibantu dan dilindungi oleh Gubernemen dengan segala upaja jang dipikir harus dan dibitjarakan dengan jang beroleh idzin akan pekerdjaan itu. Adapaun segala belandja baharu jang dikeluarkan sebab perbantuan atau lindungan itu akan dibajar oleh jang beroleh idjin itu dan mereka itu akan diberi tanggungan pembajaran itu maka sekali2 gubernemen tiada akan memberi pandjaran.
Fasal jang keenam
Adapun djika jang diberi idzin buka tambang tiada boleh dapat orang2 negeri merdeka akan bekerdja tambang itu dengan perdjandjian jang patut maka gubernemen akan beri idzin kepadanja akan djemput orang bekerdja merdeka daripada negri lain dengan aturan supaja tiada berubah ketetapan di dalam negeri.
Fasal jang ketudjuh
Adapun pekerdjaan buka tambang itu akan melaku dengan seharusnja kepada waktu jang ditentukan didalam surat Perdjanjian..sjahdan apabila pada waktu itu pekerdjaan itu belum berlaku maka segala perdjanjian djadi sia2 tetapi jang diberi idzin buka tambang itu akan ganti djuga segala belandja gubernemen akan pemeriksaan tanah tambang dan idzinnja2.
Fasal jang kedelapan
Apabila diberi idzin buka tambang kepada sehimpunan orang sekutu maka jang djawatan pekerdjaan itu hanjalah orang Welanda yang dudu’ dinegeri Nederland atau ditanah Hindia Nederland dan sebagai lagi jang diberi idzin buka tambang baik seorang sendiri baik sehimpunan orang sekutu ta’ dapat tiada ia angkat seorang djadi wakil muthlaqnja ditanah Hindia Nederland.
Fasal jang kesembilan
Adapun jang telah beroleh idzin buka tambang tiada boleh serahkan haqnja itu baik semata2 baik sebagianja kepada orang lain hanjalah dengan idzin gubernemen Hindia Nederland dan sekali2 haq itu tiada boleh pindah kepada barang siapa hanjalah orang Welanda terberi kepada 24 hari hari bulan Oqtober tahun 1850 bertanda oleh Sri Paduka Maharadja Willew bertanda oleh Tuan Minister jang melakukan hal pemerintahan segala negri jang ta’luq kepada negri Nederland
(Arsip Nasional Republik Indonesia, 1970: 96-97)
Dalam perkembangannya, perusahaan Belanda Pulau Singkep Tin Maatschaappij (SITEM) pada tahun 1934 menggarapnya secara besar-besaran.
Tahun 1959, penambangan timah pun diambil alih pemerintah sampai akhirnya pulau itu ditinggalkan di awal tahun 90-an. Sejarah panjang ini, membuat penuturan warga Pulau Singkep sudah menyatu dengan timah.
Biji timah membuat mereka hidup penuh kelimpah mewahan. Kota Dabo menjadi salah satu kota paling maju di Riau, bahkan lebih maju dari Tanjung Pinang, ibukota kabupatennya saat itu.
Belum lagi kehidupan warga yang dapat menikmati langsung rezeki timah sebagai karyawan.
Menginjak tahun 1985, merupakan tahun dimulai merosotnya kejayaan timah. Ketika itu terjadi peristiwa yang disebut tin crash atau malapetaka timah, yang ditandai dengan ambruknya harga timah di pasaran dunia. Harga timah anjlok dari 16.000 Dolar AS menjadi 8.000 Dolar AS per metrik ton.
Kemerosotan harga itu, membuat usaha penambangan, khususnya di Pulau Singkep menjadi lesu. Eksplorasi berkurang, laba menurun, dan mulailah dampak atas karyawan terasa. Pemutusan hubungan kerja dan lainnya. Seiring itu pula, penambangan timah di Pulau Singkep dan semua akitifitasnya dipindahkan ke Karimun dan Kundur.
Perubahan drastis langsung menerpa mereka yang menggantungkan hidupnya pada PT Timah. Berangsur-angsur, 2.400 karyawannya diberhentikan dan diberi ”uang tolak” alias pesangon.
Sebagian yang diberhentikan, meninggalkan Pulau Singkep. Sedangkan pegawai yang tidak diberhentikan mutasi ke lokasi tambang lain di Bangka, Tanjung Batu dan Tanjungbalai, Karimun.
Pulau Singkep, dan khususnya Kota Dabo mulai terjerembab.
Warganya mulai hengkang, terutama kalangan usahawan, banyak yang pindah ke Tanjungpinang atau Batam. Anak-anak mudanya berhamburan merantau, mencari pekerjaan.
Akibatnya, Dabo Singkep jadi sepi.
(*)