AURA Tionghoa sangat terasa di kota ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Meranti beberapa tahun lalu menyebut, jumlah vihara (kelenteng) di Meranti bahkan mencapai 55 buah. Sekitar 30-an vihara/kelenteng berada di Selatpanjang.
Oleh : Bintoro Suryo
“Sekarang ada 58 kelenteng. Termasuk yang di Rangsang”, kata Tukimin, seorang tokoh masyarakat Tionghoa di sini yang sempat kami temui.
Tukimin yang juga aktif di organisasi Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) Selatpanjang ini menyebut, etnis Tionghoa sudah lama bermukim di wilayah ini. Paling tidak sejak ratusan tahun lalu.
“Kami sudah membaur dengan masyarakat asli di sini. Kami orang Indonesia juga yang setia pada Pancasila”, katanya.
Tukimin tak salah. Di bandar kecil yang sudah ramai sejak dulu ini, rata-rata memang dihuni warga etnis Tionghoa di wilayah perkotaannya. Kediaman mereka mendominasi di jalan-jalan utama. Rata-rata masih mempertahankan bentuk lama bangunan yang dibangun sejak zaman leluhur mereka.
Kami juga sempat mengunjungi sebuah kelenteng tua yang ada di sini. Kelenteng Hoo An Kiong. Dibangun sejak 1885, kelenteng atau vihara ini tercatat sebagai yang tertua yang masih berdiri di sini. Lokasinya berada di jalan Ahmad Yani yang merupakan pusat kota dan keramaian di Selatpanjang. Dulunya, orang mengenal ruas jalan ini sebagai jalan Melayu.
Ikhwal kedatangan warga etnis Tionghoa ke tanah Jantan ini, ada yang menyebut bahwa sekitar abad ke-18, tahun 1850-an, para pedagang Tionghoa banyak yang mencari kayu di wilayah pulau Tebingtinggi ini. Mereka mengumpulkannya dan mengirimkan ke pulau Temasek atau Singapura yang mulai berkembang sebagai bandar transit yang ramai. Kondisi itu menyebabkan migrasi banyak masyarakat Tionghoa ke Selatpanjang dan membentuk pemukiman. Jalan Melayu ini adalah titik pusat pemukiman orang Tionghoa pada masa awalnya.
“Dari sejak saya belum lahir, dah ada vihara ni, berarti dah lama lah tu”, kata pak Ujang, pengemudi becak motor yang setia menemani kami berkeliling di tanah jantan ini.
Dua teman muda saya, Rizka dan Domu, kemudian mencoba masuk ke dalam area peribadatan warga Tionghoa itu.
“Permisi, boleh kami masuk ke dalam?” Tanya Domu pada salah satu pengurus vihara. Ia kemudian membawa kami ke seorang pria tua yang menjadi penanggungjawab pengelolaan rumah ibadah ini.
Namanya Antoni. Pria berusia 69 tahun itu dengan ramah mempersilahkan kami untuk masuk lebih ke dalam area vihara. Ia kemudian banyak bercerita tentang sejarah dan aktifitas yang ada di rumah ibadah itu.
“Bangunan aslinya yang sudah ada sejak awal itu yang di sana. Bentuk dan kayu-kayunya juga masih asli. Kalau yang besar ini merupakan bangunan baru. Dibangun beberapa tahun lalu”, jelas Antoni ke Rizka.
Antoni menunjuk gerbang masuk ke vihara ini sebagai bagian dari peninggalan masa lalu dari kelenteng Hoo An Kiong atau dikenal juga sebagai vihara Sejahtera Sakti.
Ada sebuah prasasti yang mencatat proyek pemugaran pertama di kelenteng ini. Dari prasasti yang berisi nama para donatur tersebut, kelenteng Hoo Ann Kiong selesai dipugar pertama kali pada masa Kaisar Guangxu (光绪) tahun bulan Gui Mao (癸卯), atau tanggal 8 bulan 6 tahun 1903 dalam kalender Tionghoa. Jika dikonversi ke kalender masehi, proyek renovasi pertama itu selesai pada 31 Juli 1903.

SEPEDA motor yang dikendarai Ridwan Hoodi alias Acai melaju begitu kencang, membelah jalan-jalan kecil di kota ini.
“Jangan ngebut-ngebut, bang. Santai aja. Nabrak pula nanti”, kata saya padanya. Rasanya agak takut juga.
Pria Tionghoa, keturunan terakhir seorang saudagar China yang begitu berpengaruh di Selatpanjang pada era kolonial. Cuma dia keturunannya yang masih tinggal di sini. Ia memandu saya dan begitu cekatan di belakang setang kemudi Honda Beat-nya. Domu dan Rizka mengikuti di belakang menggunakan becak motor. Tapi, rasanya mereka sudah jauh tertinggal.
Acai ingin menunjukkan makam para leluhurnya di sini.
Kakeknya, Lim She Thung adalah seorang pendatang dari daratan Tiongkok lebih seratusan tahun silam. Ia sempat mengelola banyak usaha di sini. Mulai perkebunan sagu, pabrik tepung hingga membangun rumah-rumah untuk warga, terutama para migran Tionghoa yang memutuskan tinggal di bandar kecil ini pada masa silam.
Jika kita menyempatkan diri berkeliling di kota kecil ini, kita bisa mendapati bangunan-bangunan lama, rumah tinggal warga etnis Tionghoa, bentuknya hampir serupa. Bangunan-bangunan tua itu masih tetap dipertahankan oleh para penghuninya, kini.
Di antaranya, ada yang merupakan hasil karya buyut Acai, Lim She Thung.
Acai adalah generasi ketiga dari Lim She Thung dan merupakan bungsu dari dua saudara sekandungnya yang lain. Buyutnya itu juga memiliki beberapa anak lainnya yang juga melahirkan keturunan di Selatpanjang ini.
Tapi, cuma ia satu-satunya keturunan yang tersisa dan menetap di bandar kecil ini. Yang lain, ada yang memilih hijrah ke Pekanbaru dan Tanjungpinang. Paman dan keturunannya dari jalur sang kakek, bahkan ada yang menetap di Batam, Singapura hingga di Sidney – Australia.
“Aku lah penjaga keluarga besar di sini, bang. Tak ada lagi selain aku”, katanya sambil masih tetap mempertahankan kecepatan tinggi sepeda motor yang dikendarainya.
Lazimnya, ruas-ruas jalan di kota ini hanya didominasi oleh para pengendara roda dua, atau kendaraan umum jenis becak motor. Jarang menemui kendaraan roda empat berlalu lalang di jalan, kecuali milik pemerintah.
“Udah sampai, bang. Ayo”, ajak Acai begitu turun dari sepeda motor.
Sepintas, suara dan logat bicaranya mengingatkan saya pada mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sulit membedakan intonasi dan logat keduanya jika mendengarkan berbicara dengan mata terpejam. Ini Ahok atau Acai?

“Buyut aku meninggal tahun 1938. Banyak usahanya di sini, dia orang kaya, sejak muda sudah merantau dari daratan Tiongkok sana ke Selatpanjang ini. Kalau yang ini makam kakek aku. Sebelahnya nenek aku”, kata Acai menjelaskan deretan makam tua khas warga Tionghoa di salah satu komplek pemakaman di Selatpanjang.
Di batu nisan tertera namanya, Wong Pu Ting. Tanggal kematian sang nenek, 27 April 1941. Di sebelahnya ada makam sang kakek, Lim Kim Seng.
“Nah, kakek aku ini yang habis-habiskan harta buyut. Dia tak meneruskan usaha. Depresi berat sejak isterinya (nenek Acai, pen) meninggal saat melahirkan bapak aku”, jelas Acai bersemangat.
Kakek Acai sempat menikah dua kali lagi setelah pernikahan pertama dan melahirkan keturunan yang lain. Namun, kesedihan atas kematian isteri pertamanya, terus dibawa hingga kematiannya pada tahun 1973 silam.

Keluarga dan anak-anak keturunannya harus bertahan hidup lagi dari nol di tanah rantau ini. Ayah Acai misalnya. Ia sudah kerja serabutan apa saja sejak belia hingga merintis usaha toko alat-alat tulis sejak awal dekade 60-an di sini.
Toko Sanwa namanya. Ia sering bolak-balik Jakarta – Selatpanjang untuk mendatangkan barang-barang kebutuhan warga di sini. Walau kini sudah tiada, toko usahanya masih ada. Acai yang meneruskannya.
Pamannya dari pernikahan kakeknya dengan wanita yang lain, Lim Qi Hui, lebih dramatis lagi. Sempat bekerja serabutan di usia belia dan membantu bapak Acai di toko alat-alat tulisnya, ia sempat terjun di bisnis usaha sembako antar pulau hingga kayu log di dekade 70-an.
Bukan hanya di usaha perdagangan, sang paman juga merambah di usaha kayu olahan dengan mengeksplorasi satu hutan di pulau Cawan pada era 1970-an. Untuk itu, ia harus menjalani hidup dengan bolak-balik Selatpanjang, pulau Cawan, Singapura dan Jakarta demi keluarga. Sang paman akhirnya lebih memantapkan bisnis dan usaha di pulau Batam sejak lebih 30 tahun lalu.
Di pulau Industri itu, Lim Qi Hui dikenal sebagai perintis bisnis properti dan perhotelan modern. Ia berhasil mengikuti jejak leluhurnya di negeri ini dengan upaya sendiri. Di kalangan pebisnis nasional, ia lebih dikenal sebagai Muljadi. Sampai akhir hayatnya, Muljadi dikenang sebagai perintis bisnis properti di Batam dan merupakan founding father The Central Grup.
Bisnis properti yang dimulainya dulu, sudah mengepakkan sayap, bahkan hingga ibukota Jakarta dan dikelola oleh anak-anaknya.
“Itu paman aku, kami para sepupu masih berhubungan baik sampai sekarang, walau terpisah tempat tinggal”, kata Acai bercerita.
(*)
Bersambung
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com