DAKWAAN pada Menteri Transportasi Singapura, S. Iswaran tidak gawat-gawat amat. Dari 27 dakwaan, beberapa di antaranya termasuk dakwaan receh, jika ukurannya korupsi di Indonesia.
Oleh : Sultan Yohana
IA dituduh menerima suap berupa tiket pertandingan bola, tiket konser musik, penerbangan dengan pesawat pribadi orang yang menyuap (pengusahaaaa Ong Beng Seng), tiket Formula 1. Itu juga, Pak Menteri menolak semua dakwaan dan masih merasa tidak bersalah.
Dari laporan Reuters, 18 Januari lalu, Biro Investigasi Korupsi (KPK-nya Singapura) mendakwa Iswaran menerima suap senilai S$384.340,98 dari seorang pengusaha properti Ong Beng Seng. Suap itu, seperti yang saya jelaskan di paragraf pertama, di antaranya berupa tiket pertandingan bola, tiket konser, tiket F1, dls. Bukan murni bergepok-gepok duit sebagaimana koruptor Indonesia ditangkap tangan. Nilai korupsi itu juga terbilang kecil, mengingat gaji Iswaran sekitar S$1 juta per tahun. Tiket dan sebangsanya itu, dalam budaya Indonesia, tidak hanya dinilai wajar, bahkan sebagian pejabat merasa BERHAK mendapatkannya.
Iswaran merasa tidak bersalah. Sidang juga sedang berlangsung. Tapi bagaimanapun, demi harga diri, demi rasa malu, dia telah mengundurkan diri! Dari jabatan apa pun yang diembannya. Harga diri dan rasa malu itulah yang kini sudah langka ada di para politisi dan penyelenggara negara Indonesia.
Kita, sebagian besar masyarakat Indonesia, begitu dalam mengajarkan agama pada anak-anak kita! Membawa mereka ke pesantren atau sekolah-sekolah mahal, ikhtiar yang kita yakini membawa mereka pada masa depan cerah. Ikut penataran dan pendidikan moral. Datang ke pengajian dan majelis-majelis intelektual. Tapi dari semua ikhtiar itu, kenapa harga diri dan rasa malu itu seolah hilang di tengah-tengah masyarakat kita yang dulu justru terkenal dengan harga diri dan rasa malu yang mumpuni?
Saya ingat ibu saya selalu menyelipkan sekoin Rp100 perak setiap kali saya pergi sholat Jumat. Angka yang cukup besar ketika saya usia sekolah dasar. Ketika itu, sepotong kue gudir atau pisang goreng di kantin sekolah ada yang seharga Rp10 perak). Sambil menyelipkan uang ke kantong saya, ibu selalu berpesan sederhana, itu uang sebagai “tabungan akhirat” saya. Itu saja. Tidak ada pesan lain. Tidak pula dibumbui ancaman atau peringatan apa pun (biasanya berupa neraka) seandainya saya curang, tidak menyumbangkan uang itu ke masjid.
Rp100 perak adalah angka yang besar untuk saya ketika itu. Dan sejujurnya, selalu ada keinginan-keinginan yang kuat untuk menyelewengkannya. Memakainya untuk membeli bakso Cak Fatihah yang lezat itu. Atau membeli mercon kretengan yang menyenangkan itu. Uang itu, seperti ujian yang sangat berat untuk integritas saya.
Tapi, alhamdulillah, saya bisa mengatasi ujian itu.
Saya mengingat adegan itu hingga kini. Adegan yang mungkin biasa, namun sangat membekas di hati. Adegan yang kemudian tertanam erat, dan mungkin saya bawa hingga mati. Adegan yang selalu menerbitkan rasa malu dan harga diri yang tinggi, ketika sebagian hati ini ingin mencurangi sesuatu. Setiap kali ada godaan untuk berbuat curang, adegan itu seolah menjelma menjadi bisikan-bisikan peringatan; “masak ibu saya yang ndak sekolah dan ‘bodoh’ itu bisa sedemikian besar harga dirinya, sementara saya yang bersekolah tinggi dan gemar baca buku filsafat ini tak bisa melakukannya?”
Rasa malu dan harga diri itu, memang sulit diajarkan! Tapi bisa dengan mudah diteladankan!
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id
Rubrik : Catatan Netizen jadi platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi para netizen yang gemar menulis, tentang apa saja hal positif yang bisa dibagikan melalui wadah GoWest.ID. Kirim artikel/ konten/ esai anda secara mandiri lewat cara ini ya.