PESAWAT Lion Air JT610 rute Jakarta-Pangkalpinang yang membawa 189 orang jatuh setelah sempat mengudara selama 13 menit dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Senin (29/10/2018).
Peristiwa itu menambah daftar panjang kecelakaan yang melibatkan maskapai Lion Air. Dalam lima tahun belakangan, maskapai yang didirikan Rusdi Kirana itu mengalami lima kali kecelakaan.
Tidak hanya kecelakaan, Lion Air juga kerap terlibat pelanggaran mulai dari keterlambatan (delay), kelalaian, hingga kasus pilot menggunakan narkoba.
Desakan untuk menjatuhkan sanksi tegas kepada maskapai berlambang singa itu pun banyak dilontarkan khalayak kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Budi memastikan sanksi tetap akan diberikan kepada Lion Air karena sudah diatur dalam Undang-undang dan Peraturan Menteri Perhubungan. Namun ia masih belum bisa menyatakan sanksi apa yang diberikan kepada Lion Air terkait jatuhnya pesawat JT610 tersebut.
Namun, ia melanjutkan, pemerintah masih menunggu hasil investigasi dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Tanpa hasil tersebut, Budi mengaku tak mau mengambil langkah apapun.
“Kita akan lakukan satu klarifikasi yang dipimpin KNKT. Inspeksi ini sebenarnya juga sanksi. Kita menginspeksi pesawat-pesawat itu untuk keperlukan klarifikasi apakah pesawat itu cukup baik atau punya masalah,” ujar Budi dalam konferensi pers, Kamis (1/11).
Pencopotan Direktur Teknik Lion Air, Muhammad Asif, menjadi buntut dari insiden jatuhnya pesawat dengan jenis Boeing 737 Max 8 tersebut. Pencopotan itu diminta langsung Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kepada pihak perusahaan.
Mungkinkah Dapat Sanksi?
Jatuhnya pesawat Lion Air JT610 Senin lalu dinilai sebagai insiden terburuk dalam sejarah kecelakaan penerbangan Indonesia selama dalam 20 tahun terakhir.
Penilaian terburuk ini karena jumlah korban yang mencapai 189 jiwa.
Selain memberhentikan pejabat yang bertanggung jawab dari kecelakaan tersebut, Kementerian Perhubungan juga berwenang untuk membekukan izin terbang maskapai yang sudah mengalami dua kali kecelakaan dalam setahun.
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 103 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri 38/2017.
Dalam Peraturan Menteri 38/2017 juga dibahas, Direktur Jenderal Kementerian Perhubungan dapat membekukan sertifikat operator pesawat udara sampai dengan adanya pergantian personil yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan tersebut, apabila pejabat tersebut tidak diberikan sanksi administratif oleh perusahaan yang bersangkutan.
Sebagai informasi, sepanjang tahun 2018 Maskapai Lion Air sudah mengalami dua kali kecelakaan. Pada 29 April 2018 Penerbangan, Boeing 737-800 rute Makassar-Gorontalo tergelincir saat mendarat di Bandara Jalaluddin Gorontalo. Pesawat dengan rute Makassar-Gorontalo yang membawa 174 penumpang dalam kejadian tersebut tidak ada korban jiwa
Dosen Hukum Udara dan Direktur Pusat Kajian Hukum Udara dan Angkasa Universitas Airlangga, Adhy Riady Arafah, mengatakan langkah pemerintah merekomendasikan pembebasantugas direksi Lion Air sudah cukup tepat.
Ia merekomendasikan pemerintah dan otoritas saat ini untuk fokus pada proses evakuasi korban jatuhnya pesawat.
“Pendekatan sanksi tidak pernah bisa menyelesaikan masalah, maka pendekatannya adalah mencari apa yang salah dulu,” ujar Adhy seperti dikutip dari Beritagar Kamis (2/11).
Ia mengimbau, pemberian sanksi kepada Lion Air harus dilakukan secara hati-hati dan jangan sampai merugikan konsumen. Pasalnya, saat ini Lion Air merupakan maskapai berbiaya murah (Low Cost Carrier/LCC) yang paling diminati oleh masyarakat.
Tahun lalu, Lion Air tercatat sebagai maskapai yang paling banyak mengangkut penumpang domestik. Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub mencatat pada tahun 2017 jumlah penumpang pesawat udara tujuan domestik mencapai 109 juta orang. Jumlah ini meningkat 9,6 persen dari tahun 2016.
Dari total 109 juta penumpang tersebut, lebih dari 33 juta penumpang mengandalkan Lion Air untuk bepergian. Lion Air menguasai sebanyak 34 persen pangsa pasar penerbangan domestik nasional.
Sejak November 2016 hingga September 2018, jumlah penerbangan Lion Air selalu lebih banyak dibandingkan enam maskapai penerbangan lainnya. Per April 2018, jumlah penerbangan Lion Air adalah 20.996 penerbangan.
Apabila pemerintah membekukan izin operasional Lion Air, itupun harus dikalkulasikan secara matang. Menurut Adhy, pemerintah harus menempuh proses hukum yang cukup panjang apabila ingin membekukan izin sebuah maskapai.
Dibanding sanksi administratif, ia menilai sanksi sosial akan diterima Lion Air, jika perusahaan tidak kunjung memperbaiki kinerja manajemennya
“Tidak ada perusahaan maskapai yang bangkrut karena harus mengganti rugi kecelakaan, tapi bangkrut karena kehilangan kepercayaan dari penumpang,” ujarnya.
Deretan sanksi
Menurut Adhy, pelanggaran yang dilakukan oleh Lion Air kerap berulang. Namun sanksi yang diberikan oleh pemerintah tidak pernah serius menjerat maskapai hingga akhirnya kecelakaan besar di perairan Tanjung Karawang terjadi.
Beritagar.id merangkum daftar insiden dan sanksi yang diberikan kepada Lion Air dalam tiga tahun terakhir.
2015: Ratusan penumpang terlantar di Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta akibat pesawat Lion Air mengalami delay hingga berjam-jam di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang pada Kamis (19/2/2015). Padahal saat itu merupakan puncak dari musim libur Tahun Baru Imlek.
Imbas dari keterlambatan tersebut, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjatuhkan sanksi untuk maskapai penerbangan berlambang singa ini.
Penghentian rute baru untuk Lion Air menjadi sanksi awal yang diberikan oleh Kemenhub. Meskipun sanksi ini dinilai terlalu ringan oleh banyak pihak, Kemenhub berujar bahwa sanksi ini untuk langkah awal untuk Lion Air agar memperbaiki komitmen SOP pelayanan penumpang dengan baik.
2016: Pada bulan Mei 2016 maskapai Lion Air mendapatakan sanksi dari Kementerian Perhubungan yaitu pelarangan membuka rute baru selama enam bulan. Sanksi ini disebabkan karena pilot Lion Air melakukan aksi mogok pada 10 Mei 2016 hingga menyebabkan keterlambatan atau delaypanjang pada hari itu.
Pada hari yang sama juga muncul insiden bus penumpang salah masuk terminal. Saat itu bus penumpang Lion Air yang mengangkut penumpang dari Singapura salah masuk ke Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta yang diperuntukkan perjalanan domestik. Harusnya bus tersebut masuk ke Terminal 2 untuk perjalanan internasional.
Akibat kelalaian tersebut, sejumlah penumpang Warga Negara Asing (WNA) lolos dari pemeriksaan imigrasi Bandara Soekarno-Hatta.
Kemenhub memberikan sanksi yakni pembekuan izin layanan pengangkutan darat atau ground handling Lion Air di Bandara Cengkareng. Namun Lion Air tak tinggal diam, maskapai tersebut justru melaporkan balik Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub ke Polri dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Usai Lion Air melapor ke DPR, Kemenhub malah tak jadi memberikan sanksi pembekuan ground handling yang seharusnya mulai berlaku 25 Mei 2016. Alasannya, proses investigasi telah selesai dan hasilnya telah keluar sebelum masa sanksi berlaku jatuh tempo pada 25 Mei 2016
2017: Pada tahun ini, dua insiden kembali menimpa maskapai Lion Air. Bahan bakar pesawat tumpah (overfill) di Bandara Juanda serta adanya penundaan jadwal penerbangan di beberapa bandara, termasuk Pontianak dan bandara Soekarno-Hatta.
Imbas dari kejadian ini, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub yang menjabat saat itu, Agus Santoso, hanya memberi waktu dua bulan kepada Lion Air untuk segera memperbaiki manajemen operasional.
Sumber : Beritagar / katadata / okezone / detik