Sebaiknya Tahu
Tetap Waspada! Kenali Gejala Demam Babi Afrika Yang Ditemukan di Kepri

BARU-baru ini, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) melaporkan temuan adanya wabah demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) di Indonesia, Selasa (9/5/2023).
Wabah demam babi tersebut ditemukan di sebuah peternakan di Kepulauan Riau (Kepri) yang kerap mengekspor babi ke Singapura. Pulau tersebut merupakan pemasok daging babi terbesar di Indonesia.
Penyakit tersebut diketahui telah membunuh 35.297 ekor babi dalam kawanan 285.034 yang ada di Pulau Bulan. Karena kejadian ini, ekspor daging babi ke Singapura harus dihentikan untuk sementara.
Kementerian Pertanian pun kini sedang menginvestigasi jalur masuknya ASF di pulau tersebut. Peternakan babi di pulau tersebut juga telah diuji secara berkala ke Laboaratorium Veteriner Balai Veteriner Bukittinggi, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Lantas, seperti apa demam babi Afrika?
Dikutip dari Food and Drug Administratotion AS, demam babi Afrika merupakan penyakit babi yang sangat menular dan mematikan. Virus ini pertama kali terdeteksi di Afrika Timur pada 1900-an dan menyebar ke Eropa pada akhir 1950-an.
Virus ini dapat menyerang babi, baik di peternakan maupun babi liar. Disebutkan bahwa virus ini dapat ditularkan dengan mudah melalui kontak langsung dengan cairan tubuh babi yang terinfeksi.
Tak hanya itu, virus ASF juga memiliki ketahanan hidup yang kuat di lingkungan dan cenderung kebal terhadap disinfektan.
Praktik pemberian pakan sisa makanan mentah ke babi juga dapat menularkan virus jika sisa makanan yang diberikan mengandung produk daging babi yang terkontaminasi.
Sejauh ini, ASF telah menyebabkan kerugian babi yang signifikan di seluruh dunia, seperti Afrika sub-Sahara, Cina, Mongolia, Vietnam, serta di beberapa bagian Uni Eropa.
Untungnya, ASF tidak dapat ditularkan dari babi ke manusia, baik kontak langsung maupun memakan daging babi yang terinfeksi.
Begini Gejala ASF
Dikutip dari American Society for Microbiology, ASF dapat menimbulkan beberapa gejala akut hingga kronis, tergantung pada virulensi strain yang menyebabkan infeksi dan status kekebalan babi.
Dalam kasus penyakit akut, yang disebabkan oleh strain yang sangat ganas, babi biasanya mati dalam waktu 4-20 hari setelah infeksi.
Tingkat kematiannya pun sangat tinggi, yakni 95-100 persen. Gejalanya meliputi demam, diikuti hilangnya nafsu makan, depresi, perdarahan yang menyebabkan kulit menghitam dan batuk.
Strain yang kurang ganas dapat menyebabkan penyakit kronis, dengan gejala meliputi penurunan pertumbuhan, lesi kulit, pembengkakan, dan infeksi sekunder.
Tingkat kematian biasanya lebih rendah dalam kasus seperti itu (30-70 persen).
Populasi babi hutan dan babi liar biasanya memiliki infeksi tanpa gejala, menjadikannya sebagai reservoir liar virus.
(*/pir)